Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 24 - DAMAI

Chapter 24 - DAMAI

Tanpa terasa, Elis sudah mendekati akhir masa bekerjanya. Ia

sudah menghitung uang gaji dan bonus yang ia dapatkan selama duapuluh dua bulan

bekerja di tempat Marissa. Gadis itu memilah-milah uang, mana yang akan ia

simpan sendiri untuk biaya pernikahannya dengan Yoga dan mana uang yang akan

dia berikan pada ibunya dan juga mana yang untuk dia gunakan membayar utang

bapaknya pada juragan.

Semua ia simpan di tempat yang berpisah, untuk berjaga-jaga.

Khawatir jika bapaknya tahu kalau ia masih memiliki uang banyak, malah kian

menjadi saja judinya. Bagaimana kabarnya Elis juga tidak tahu. Karena dia juga

tidak pernah menghubungi salah satu dari mereka sekalipun.

Bulan depan, aku sudah tidak akan bekerja lagi di sini. Aku

mending mulai meminta maaf sama Diana. Walau bagaimana pun aku juga banyak

salah darinya. Elis pun keluar dari kamarnya. Beruntung saja dia tidak asal

melangkah. Tenyata di depan kamar Diana meletakkan tali melintang di depan

pintu. Jika sampai ia tidak hati-hati, pasti sudah akan jatuh.

"Oh, Dasar, anak setan itu masih saja jailin aku. Baru saja

aku mau minta maaf," gumam Elis Seorang diri. Sambil menyinkirkan lati

tersebut.

Di belakang rumah, Dia mendengar suara Diana tengah

berbicara pada pak Jupri. Entah apa. Tapi, kelihatannya serius banget.

Diam-diam Elis sembunyi di balik pohon palem dan berusaha mengupingnya.

"Ayo lah Pak, pliiis aku mohon satu kali saja. Taruh ini

bangkai tikus dan uler di kamar Elis. Aku kasih duit buat tutup mulut, deh,"

Rengek Diana.

Mendengar hal itu Elis pun tersenyum dan pergi ke toilet.

Dengan tawa tertahan, Elis memasukan ujung balon ke dalam kran dan mengisinya

dengan air, lalu mengikatnya dengan raffia.

Setelah itu, dia mengisi ember dengan air sebanyak setengah

dan mengatur kejutan untuk Diana dan ia meninggalkan kamarnya, keadaan tak

terkuci ke halaman depan untuk menyirami tanaman.

Sementaran Diana di halaman belakang masih bingung dengan pak

Jupri, satpam rumah urusan soal ulet dan bangkai tikus yang akan siletakan di

kamar Elis.

"Ayolah, Pak. Plis, aku minta tolong taruh ini uleh di

kasurnya, dan bangkai tikus ini di kolong, biar dia mabuk!" rayu Diana pada

satpam rumahnya tanpa menyerah, walau hasilnya pun juga sama.

"Saya gak berani, Non. Mbak Elis itu serem, yang ada saya

dikerjain balik nanti," jawab Pak Jupri yang sudah trauma berkali-kali dikerjai

oleh Elis, karena selalu membantu Diana. Mulai dari kopi garam, makanan hambar, terlalu manis dan kebanyakan

lada. Bahkan yang paling parah gadis itu meletakkan permen karet pada kursi

yang akan di duduki pak Jupri, alhasil celana pria paruh baya tersebut pun jadi

lengket.

Merasa geram dengan satpamnya yang tidak mau diajak kerja

sama lagi, Akhirnya Diana pun memilih untuk turun tangan sendiri.

Ya sudah, ataruh uler ini di dalam ember sini dan bangkai

tikusnya di kantong kresek kalau begitu," cetus gadis itu dengan jengkel.

"Baik, Non.Maaf banget kalau gak bisa bantu. Saya

benar-benar takut berurusan dengan mbak Elis itu." Pak Jupri pun menaruh

beberapa ulat bulu itu pada ember dan bangkai tikus di kresek yang sudah disediakan

oleh anak majikannya yang juga tak kalah resek.

Dengan langkah berjinjit dan berhati-hati, Elis memandangi

sekitar. Setelah memastikan kalau Elis tidak ada di dalam kamar dan sekitarnya,

Diana pun bersemangat menarik ganggang pintu kamar Elis. Begitu pintu terbuka,

sebuah ember yang sudah diletakkan di atas pintu oleh elis terjatuh dan isinya

pun tumpah mengguyurnya.

"EEEEEEEELLLLLIIIIIIIIIISS… SIALAN KAU! DASAR ANAK IBLIS," jerit Diana.

Mendengar Diana yang menjerit Elis hanya tertawa

diri dan berguman seorang diri, "Sukurin kau, salah sendiri jail terus. Kan,

kalau dah kena batunya sendiri baru, tahu rasa."

Ulat bulu yang akan ia letakkan dikasur Elis pun malah

menempel dibajunya, Hanya saja Diana belum menyadari. Dengan susah payah Gadis

itu berusaha berdiri. Tapi, siapa sangka saat ia pertama berdiri sebuah balon

berisis air berayun dari tali raffia menerjang bebas di mukanya hingga pecah.

"Astaga… Si abu! Sengaja kau, ya?" gerutu Diana. Kemudian, ia

baru merasa kalau badannya mulai terasa gatal-gatal akibat ulat bulu yang

menempel di bajunya tadi,  dan terkena

air, jadi menyebar kemana-mana.

"Aduh, kok gatal, sih? Hah, ulernya mana? Dih, pasti ini

ngenai aku." Diana pun pergi ke kamarnya mengambil handuk dan pakaian yang

bersih dan mandi lagi. Tapi, sayang sampai makan malam ia malah masih

gatal-gatal dan kulitnya bentol merah merata di kulit mulusnya.

"Diana. Kamu kenapa kok kaya gitu?" tanya pak Doni heran.

"Anu, tadi Diana ikut-ikut bantu pak Jupri beres-beres kebun

belakang, Pih. Mungkin juga terkena uler,"

"Hati-hati dong lain kali, sudah diobatin?" tanya pak Doni.

Sedangkan Marissa yang mengerti anaknya berbohong dan sudah

bisa menebak kalau itu hasil perang dinginnya dengan Elis hanya diam saja.

"Iya, Pih. Uda dikasih obat tapi tetap saja. Semoga saja

besok dah gak bentol merah, dan gatal lagi."

Usai makan malam semua orang pada masuk ke kandangnya

sendiri-sendiri. Maksutnya, kamar masing-masing. Elis yang teringat betapa

menderitanya wajah diana tadi ia berlari ke belakang, membakar banyak-banyak kardus

dan ranting-ranting untuk diambil abunya.

Setelah abunya tidak begitu panas, gadis itu meletakkan pada

kain berbahan kaus tebal dan mengikatnya, kemudian membawanya masuk.

Dengan bungkusan abu di tangannya ia berjalan menuju kamar

Diana dan mengetuk pintunya sebanyak tiga kali.

"Tok.. Tok… Tok!"

"Siapa?" sahit Diana dari dalam kamarnya.

"Ini aku, Diana. Aku bawakan kamu penawarnya ulat bulu biar

gak gatal-gatal lagi."

"Masuk! Tidak dikunci, kok."

Elis pun membuka pintu kamar dan masuk. Gadis itu duduk di

tepi ranjang dengan kain yang berisi abu yang baru saja ia dapatkan dari

membakar kardus dan ranting.

"Mana lengan kamu, biar aku tempel di lenganmu, coba rasakan

gatalnya berkurang, kan?"

"eh, iya. Apa ini, Lis? Kok rasanya agak panas-panas gitu?"

tanya Diana penasaran.

"Ini? Ini abu gosok. Di kampung, kalau terkena ulet bulu gak

boleh kena air caranya ya gini. Baru saja aku ke halaman belakang untuk

membakar kardus dan ranting-ranting kering. Lihat kamu, aku ga tega banget."

Diana hanya diam, tak menjawab ucapan Elis.

"Diana. Aku minta maaf ya kalau selama ini aku ada banyak

salah sama kamu. Sudah hampir dua tahun aku bekerja di sini, dan selama itu

pula, kita saling serang dan bikin dosa aja. Mau sampai kapan? Aku gak mau pas

pulang kampung nanti kita masih ada masalah dan terus musuhan kaya gini," ucap

Elis dengan lirih. Entah apa yang ada di benaknya saat itu. Kenapa saat

mengatakan itu tiba-tiba saja ia merasa sedih dan matanya mulai berkaca-kaca.