Sesuai janji, pagi ini Elis akan meberi jawaban atas
keputusannya menerima atau tidaknya tawaran bu Marissa dan suaminya untuk
menjadi pembantu rumah tangganya. Dia
pernah ada dalam dua pilihan, namun tak serumit ini.
Tidak menunggu di gang biasanya, sekitar lima menit, sebuah
mobil berwarna merah pun berhenti tepat di depannya. Kemudian, sorang wanita
dengan jas dan rok span selutut dan spatun hak tinggi berwarna hitam mengkilap
turun dan melempar senyum kepadanya.
"Maaf ya, Elis. Kamu sudah lama menunggu."
"Tidak, Bu. Saya juga baru saja tiba. "
"Bagaimana Elis? Apakah kamu bersedia? Kapan kamu siap untuk
bekerja di rumah saya?"
Elis menatap dalam mata wanita di hadapannya penuh dengan
harap agar ia menerimanya. Tapi, rasanya begitu berat.
"Saya tidak bermaksut untuk menolaknya, Bu. Tapi, saya jujur
masih bingung."
"Apa yang kamu bingungkan? Saya akan kasih kamu gaji awal
dua juta, gimana? Nanti kalau hasil kerja kamu bagus dan saya cocok, pasti juga
akan saya naikin."
Elis mulai bimbang dalam hatinya. Cita-cita, impian,
persahabat, sungguh membuatnya bagaikan makan buah simalakama saja.
"Saya jujur sangat ingin bekerja di tempat anda, Bu. Apalagi
dengan penghasilan tetap. Karena mimpi saya datang kemari juga untuk
mendapatkan uang banyak dengan cara halal. Tapi,… " Gafis itu tak melanjutkan
kalimatnya karena ia terlalu sungkan.
"Tapi, apa Elis? Katakan biar ibu mengerti, siapa tahu saja
ibu bisa memberikan solusi untuk kamu," ucap wanita paruh baya itu dengan
bersungguh-sungguh.
"Ceritanya terlalu Panjang, Bu. Saya khawatir anda terlambak
ke kantor, bagaimana kalau lain waktu saja saya akan ceritakan pada anda," usul
bicah itu dengan sopan.
Mendengar jawaban Elis, Marissa secara spontan melihat ke
arah arloji yang melingkar di pergelangan kirinya. "bagaimana kalau jam
duabelas siang nanti saya tunggu kamu di sini?"
"Apakah tidak mengganggu waktu anda?"
"Tentu ssja tidak. Kantorku tidak jauh dari sini. Waktu
istirahat juga satu jam, apakah itu cukup?"
"Isyaallah, cukup."
Marissa pun akhirnya pergi meninggalkan Elis ke kantor
dengan harapan bisa memperkerjakan Elis. Apapun yang telah menjadi kendala
gadis itu, pasti tidaklah hal besar, sebab ia sudah mencari info ke kampung
halamannya, dia memang bukan orang yang aneh-aneh. Harusnya, kalau pun ada
syarat juga tidak berat untuk disetujui, bukan?
**123
Sinar mentari pagi yang menyilaukan masuk menembus gorden
tipis yang terpasang pada jendela kamar yuang di dalamnya ditempati oleh iua
pria dengan wajah yang sama-sama tampan dan postur tubuh yang aduhai. Bagaimana
tidak? Srlain tampan mereka sama-sama memiliki mata tajam, rahang yang kokoh,
dada bidang sert perut sixpack selain tinggi rata-rata 180cm. Melihat yang
seperti itu, wanita mana yang tidak akan tergoda?
Tapi, sayang… Siapapun yang akan jatuh cinta pada salah satu
pria itu jharus siap-siap ditolak dan patah hati. Sebab, secantik dan semenarik
apapun, entah sexy atau semox, tak akan membuat mereka tertarik. Sebab, mereka
adalah pasangan penyuka sesama jenis. Ya, mereka Aldo dan Riyan yang sudah
hampir satu bulan ini menjadi pasangan kekasih gay.
"Uuuuh, Yan, uda siang, nih! Lu ga bangun?" ucap Aldo sambil
mengeliat, mengencangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Sehingga nampak
memamerkan tubuhnya yang kelewat sexy.
"Jam berapa, Sih? Aku gak ada kuliah hari ini. Kita di
kos-kosan saja, lah. Aku capek," jawab Riyan sambil menarik selimut kembali menutupi tubuhnya
yang polos tanpa sehelai benang pun.
"Ya, kita kan bisa jogging sambil cuci mata, Yan. Hehehe,"
jawab Al dao sambil nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gata.
Mendengar candaan yang dilontarkan Alo, Riyan punlangsung
bangkit dengan wajah penuh amarah karena jelouse.
"kamu bilang apa barusan?" bentak Riyan, matanya menyorot
tajam memandang pria yang ada di depannya.
"Apa, sih? Aku cu,a bercanda saja, gitu saja kamu sudah
ngambeg?" Aldo tersenyum miring kemudian berlalu keluar kamar kos hanya dengan
mengenakan celana kolor saja tanpa busana.
Sementara Riyan, ia masih bermalas-malasan di atas ranjang
kamar Aldo. Sebab, semalam ia yang banyak bekerja keras untuk memuaskan pria
yang dicintainya.
Tak lama kemudian, sekitar sepuluh menit, Aldo sudah kembali
dengan nampan berisi dua piring nasi goreng dengan toping telur ayam mata sapi
dan dua gelas susu segar. "Yan, ayo sarapan! Dih, malah molor lagi."
Aldo meletakkan nampan
tersebut diatas nakas, kemudian ia menarik selimut Riyan perlahan untuk
membangunkan. "Yan… Bangun, donk! Ayo sarapan, kita jangan malas-malasan begini
donk! Walaupun ini hari libur, kita ya
tetap harus menjalankan pola hidup sehat, ayuk!"
Mulanya Riyan diam tak hiraukan panggilan kekasihnya. Tapi,
di pagi hariiii para kau madam memang identic dengan nafsu dan gairah yang
lebih tinggi. Iseng-iseng, Riyan meraih leher Aldo, menariknya dalam dekapannya
dan melumat bibir pria itu.
Aldo, yang semula ingin olahraga lari pagi, akhirnya pun
gagal karena terbuai oleh ulah Riyan yang dilakukan kepadanya.
"Riyan, kau ini biasa, deh… Suka banget bikin serangan fajar."
"Habis kamu genit, memang apa yang ingin kau lihat di taman
untuk cuci mata? Para remaja, atau mereka suami orang?" ucap Riyan sambil
melakukan gerakan maju mundur di belakang tubuh Aldo.
Awalnya Aldo masih bisa bersikap tenang dengan posisi bertumpu
pada kedua tangan dan lututnya. Tapi, Riyan yang menyukai suara desahan Aldo,
ia semakin keras melakukan gerakannya, hingga pria yang disodoknya pun
mengeluarkan suara desahan yang sedikit kencang.
Permainan mereka cukup lama, berlangsung sekitar duapuluh lima menit. Keduanya sama-sama
terkapar dan lemas penuh dengan peluh dan keringat.
"Do, Apa rencanamu setelah kuliah? Masak kita tetap jadi
pelayan kafe saja terus? Rugi emak dan bapak kita yang nyekolahin kita
tinggi-tinggi dong.
Aldo hanya diam tak menjawab. Namun di dalam hatinya ia berkata,
'Mana yang menyedihkan? Anak status sarjana dan bekerja di perusaan besar
dengan gaji awal enam juta. Tapi, sakit? Atau, anak mereka gagal masuk dalam
perusahaan besar. Tetap jadis barista di café, tapi jiwanya sehat?'
"Al! Heh, ngelamun saja kau. Ayo makan, nasinya uda dingin,
nih!" ucap Riyan sambil mengambil sepiring nasi goreng yang disajikan Aldo
sekitar setengah jam yang lalu. Bukan mulai dingin lagi, sih. Ini memang sudah
dingin.
Begitulah keseharian Aldo dan Riyan. Mereka sama-sama kompak
dalam hal apapun, hanya mereka yang sudah luas pergaulannya yang ,memiliki
insting dan kecurigaan bahwa mereka pasangan G. Sedangkan mereka yang polos, pasti
ngiranya mereka hanyalah sahabat atau masih ada ikatan saudara. Sepupu
misalnya.
Sampai pada akhirnya, mereka masuk ke sebuah perusahaan
besar. Di mana perusaan itu membuka lowongan di banyak bidang. Riyan, yang dari
SMA sudah menekuni bidang akuntansi, dia melamar dibagian Admistrasi. Sementara
Aldo yang sudah menyukai hal-hal yang berbau dengan multimedia, dia dia ambil
jurusan konter editot. Sampai pada akhirnya, hampir satu bulan lamanya, mereka
sama-sama mendapatkan telfon dari perusaan untuk interview dan mereka pun sama-sama
diterima bekerja di perusaan itu. Walaupun beda devisi, namun juga masih satu
perusahaan, kan?.