Diana mengawasi sekitaran rumahnya. Setelah dirasa keadaan
sepi, ia berjalan pelan dengan penuh hati-hati menuju dapur. Sesampainya di
sana, ia tersenyum mendapati semua hidangan sudah pada beres. Elis entah ke
mana, sedangkan momy-nya tengah sibuk merias diri, sebab, sebentar lagi,
teman-teman sosialita momy-nya untuk makan-makan.
"Hehehe, selama ini Momy juga selalu banggain masakan si abu
itu, kan? Sekarang lihat saja, si abu minta kawin… Keasinan semua ini, hahaha."
Diana tertawa tertahan sambil menabur banyak garam pada masakan yang sudah
dihidangkan oleh Elis. Khawatir ada yang melihat ulahnya, Diana pun segera
berlari meninggalkan dapur.
Begitu mendengar
langkah kaki beranjak pergi, Elis pun keluar dari tempat persembunyiannya.
Memiliki postur tubuh yang termauk mungil kira-kira 157cm dengan berat badan 45kg dan lentur memang terkadang memberi
keuntungan dalam situasi tertentu. Bagaimana tidak, misalnya saat ini. Ia bisa masuk ke dalam
salah satu lemari kitchen set yang kosong, da mengintip dari lubang bekas
pegangan yang terlepas.
Tadi Diana yang tertawa bangga. Namun, kali ini Elis yang
dengan bangga tertawa puas karena sukses mengerjai Diana, Dengan cepat ia membuang
semua masakan yang sebenarnya adalah masakan sisa kemarin, dan mengganti
hidangan yang sebenarnya, untuk diberikan pada para tamu yang ia simpan di
lemari kitchen set bagian atas.
"Haaah, dasar orang kota, gadis manja, mana bisa bedain
sayur kemarin sama sayur baru? Mungkin, kalau dikasih sayur basi pun juga di
makan, bagian yang berlendir ia anggap tambahan pasta dari Italia," umpat Elis
seorang diri sambil geleng-geleng kepala.
"Elis, sebentar lagi teman-teman ibu sudah akan datang, kamu
keluarkan saja hidangannya yang kita masak tadi sekarang, ya? Kamu juga mandi,
pas dilihat nanti mereka kagum sama kamu, ibu punya asisten rumah yang jago
masak, cantik dan stylish," ucap bu Marissa.
"Ibu, bisa saja. Saya lebih baik menyetrika baju saja,
jangan nongol ke depan, malu saya, Bu."
"Kenapa harus malu? Gak apa-apa, Lis. Siapa tahu ada yang
nawarin kamu bekerja di restoran jadi koki gitu, kan lumayan, gaji gede."
Elis hanya tersenyum mendapti tingkah majikannya yang ia
rasa aneh. Dia ini hanya pembantu. Tapi, diperlakukan tidak seperti pembantu,
seperti keponakan saja, yang siap di dukukng olehj tantenya jika memang
inginkan tempat lain untuk bekerja.
Tidak menunggu lama, teman-teman Marissa yang trdiri dari
lima orang pun tiba, mereka ngobrol ngalor ngidul membicarakan apa saja yang
biasa di bahas, jika tidak mengenai karir, anak, suami lalu asisten rumah
tangga.
Ngebahas soal ini, Marissa begitu semangat, tanda ia bangga
dengan Elis.
"Udah… Udah, stop qibah, Jeng. Jangan pada ngrumpi. Kita
makan-makan, yuk! Masakan my house maid enak lo, kelas restoran berbintang.
Anaknya cantik lagi,'' ucap Marissa sambil mengajak kelima teman gengnya ke meja
makan.
"Jeng, serius ini masakan asisten rumah tangga kamu? Ya
ampun, steak iganya… kaya yang ada di café-café gitu, ya?"
"Gak Cuma tampilan, rasa aja juga oke, loh,'' jawab Marissa
dengan rasa percaya diri.
Sedangkan Diana yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan
mereka di ruang tengah hanya cengegesan di balik buku yang Ia baca. 'Ayo,
cicipin ayam asin kuah air laut, tante,' gumam Diana dalam hati sambil
cekikikkan seorang diri.
"Dari pada penasaran, kita makan saja, yuk. Siapa tahu, enak
bener dan cocok, nanti kalau ada apa-apa kita kontrak saja dia, hehehe."
"1 2 3… Rasakan!'' seru Diana sambil menghitung dengan
jarinya.
"Wah, beneran… Ini enak banget, Marissa.
"Iya, sup kentangnya juga enak banget."
Diana terkejut, merasa tidak yakin dengan pendengarannya.
Karena penasaraan, ia pun bangkit dari duduknya dan melihat sendiri bagaimana
ekspresi kelima orang teman-teman momynya tersebut.
"Coba, ini, ayam rempahnya, beneran enak. Pas anakmu nikah
nanti, jika dia masih betah belerja denganmu, Mar. Enak. Gak usah catring. Dia
aja yang meracik bumbu, carikan asisten," usul salah satu temannya.
"What? Bagaimana bisa? Apakah Elis tadi sengaja, masak gak
pake garam. Tarus pas aku tuangkan garam banyak banget rasanya jadi pas?" gumam
Diana. Kemudian ia beranjak menghampiri mereka yang duduk mengelilingi meja
makan.
'Aku harus memastikannya sendiri, baru aku akan percaya!'
"Halo, Momy, Tante… " sapa Diana sambil menunjukkan senyuman
terbaiknya.
"Eh, Diana, apa kabar, cantik?"
"Baik, Tante." Sambil membalas sapaan mereka, ia melirik ke
meja makan, ia terkejut bahkan sampai melotot memandang hidangan yang jauh
berbda dengan yang ia taburi garam tadi.
"Ada apa Diana?" tanya salah satu teman maminya, ketika
melihat ekspresi Diana yang di rasa aneh.
Diana diam tak menjawab.
Kemudian, nampak Elis berkelibat lewat membawa keranjang
berisi baju yang sudah di setrika hendak menuju ke kamar Diana.
"Itu Elis yang memasak semua ini," ucap Marissa. Seketika
lima orang teman-teman Marissa pun serempak menoleh ke arah gadis berambut
Panjang sepinggang, hitam legam dan tebal serta berkulit putih itu.
"itu adeknya Diana, Marissa. Anak kedua kalian, bukan
pembantu," ujar salah satu dari mereka.
"Hahaha, iya loh Jeng. Tidak ada yang percaya kalau dia itu asisten rumah tangga kami. Orang-orang ngira dia keponakan kami dari Jogja," jawab Marissa dengan bangga.
"Dia pasti cuma lulusan SMA. Kenapa tidak kamu tawarin kuliah saja, Mar? Kelihatannya dia baik dan tahu balas budi kok."
Marissa diam sesaat. Iya juga. Kenapa aku gak kepikiran. Ah, makasih sarannya. Biar nanti akan kami bicarakan bersamanya dulu.'
Elis hanya menyapa dengan senyuman dan lewat begitu saja
tanpa berhenti. Namun, begitu tatapan mata mereka bertemu dengan Diana, ia justru mencibir gadis itu dan segera
berlalu.
Diana kian kesal dibuatnya, ia tak akan berhenti sampai
sini. Sudah berapa kali saja Elis selalu sukses mengerjainya. Sedangkan dia,
satu kalipun mengerjai Elis tidak pernah berhasil.
"Aku mau pergi dulu, Mih. Tante, silahkan dilanjutkan," ucap
Diana ramah.
Sore hari, sekitar
pukul 15.30 WIB, semua teman-teman Marissa sudah bubar, dan semua puas dengan
jamuan yang dihidangkan oleh si pemilik rumah.
Hari ini Elis sedikit
sibuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Karena, besok ia berencana untuk
mengambil liburan setiam akhir bulannya. Ia sengaja mengambil libue setelah
hampir dua tahun bekerja tak pernah off. Gadis itu berfikir, sebentar lagi dia
akan pulang kampung, jumblah uang untuk membayar hutang bapaknya dan untuk
biaya pernikahan sudah ia hitung semuanya lebih dari cukup. Jadi, ia bisa
membeli sesuatu untuk oleh-oleh ibu dan tetangga terdekat di kampungnya.
"Elis, kamu besok jadi libur?" tanya bu Marissa.
"Iya, jadi, Bu." Elis memandang wanita yang seumuran dengan
ibunya di kampung, hanya saja beda kehidupan dan lingkungan serta penampilan,
sehingga ia terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Sebenarnya ia tidak
tega jika harus pergi. Namun, apa boleh buat? Usianya sudah duapuluh satu tahun
sekarang. Jika di kota mungkin usia segitu terlalu dini untuk menikah. Tapi, di
tempatnya tidak. Beda lagi jika dia adalah wanita karir. Nyatanya ia hanyalah
seorang pembantu rumah tangga saja.
"Ya sudah, bereskan semuanya. Kamu keberatan tidak jika
besok meyiapkan roti bakar dan dua cangkir the hangat untuk bapak dan ibu
sebelum kamu keluar jalan-jalan?"
"Tentu saja tidak, Bu. Itu tidak masalah sama sekali. Sore
saya sudah kembali, dan akan menyiapkan makan malam untuk kalian," jawab Elis,
tanpa mengehentikan aktifitasnya mengelap perabot yang akan ia susun rapi ke
dalam lemari kitchen set tersebut.
"Besok kan hari minggu, tidak masalah, ibu dan bapak juga
libur ngantor. Lagi pula kami juga tidak ada acara di luar. Kamu gak usah buru-buru
kembali, asal tahu saja, anak gadis tidak baik keluar malam lebih dari jam Sembilan
malam."
"Baik, Bu.
Keesokan paginya, Elis
yang sudah membuatkan sarapan praktis untuk para majikannya dan hendak pergi
jalan-jalan mengisi liburan pertamanya setelah hampir dua tahun lamanya malah
ada yang mengacaukan. Elis tahu siapa lagi pelakunya kalau bukan si anak
majikan berkelakuan setan itu.
"Uh, capek-capek aku beresen halaman dan mengepel teras,
kenapa jadi banyak lumpur begini, sih?" umpat Elis seorang diri. Ia bahkan
sampai menangi, takut ia kesiangan dan tidak memiliki waktu cukup untuk
berbelanja oleh-oleh.
Namun, ide jailnya pun kembali muncul, Elis berlari
kebelakang mengambul ember. Setelah semua di rasa beres, ia segera mandi dan
pergi meninggalkan rumah dengan hati dan perasaan puas.
Dering nada panggilan memekakan telinga
menggema di penjuru kamar Diana. Gadis berusia duapuluh empat tahun dan masih
jomblo itu, mengeliat malas dan mengumpat seorang diri, "siapa sih pagi-pagi
begini udah calling-calling? Mengganggu saja, uuuuhh….. " Diana pun mengeliat
memancal bad cover yang selalu ia jadikan selimut dan meraih ponsel berisik itu
yang terletak di atas nakas.
"Halo, ada apa, Lus?" jawabnya kesal.
"Ada apa? Ada apa palamu, hah? Diana, ini sudah jam berapa?
Kau mau disemprot sama ketua? Ini sudah hampir jam tujuh, duapuluh lima menit
lagi ada pertemuan para perawat," jawab seorang gadis dari seberang sana terus
mengomel.
"Astagaaa! Lus, gua lupa. Ok. Kali ini gua gak akan telat,"
jawabnya kemudian mematikan panggilan dan segera melompat dari ranjang. Tapi, kesialan
rupanya menimpanya lagi, dan mungkin setimpal dengan apa yang ia perbuat kemarin,
dan hari ini. Walau pun Elis bisa lolos dari garam yang ditabur berlenih pada
masakan. Namun lumpur sangat menyusahkan dirinya.
"Eliiiiis! Beraninya kau!" teriak Diana dengan sekuat
tenaga. Beruntung sekali kamarnya terdapat kedap suara. Jadi, hal itu tidak
mengganggu siapaun termasuk kedua orang tuanya yang masih tidur akibat begadang
nonton film aksi semalam hingga pukul dua dini hari.
"Argh.. Sialan,
terkutuk kau bocah iblis!" seri Diana lagi sambil menarik kedua kakinya yang
masuk ke dalam ember berisi lumpur yang sudah disiapkan Elis untuk mengerjainya
balik.
Diana berjalan keras keluar kamar hendak ke kamar mandi
untuk mencuci muka dan gosok gigi saja. Untuk mandi sepertinya dia tidak ada
waktu, jadi yang penting muka tidak kucel dan memakai seragam perawat dengan
rapih juga cukup. Tapi, ia tidak tahu kalau tanah liat itu cukup lacin sehingga…
"GEDEBUGH!!!"
"Aduh! Sakit banget." Diana meringis sambil memgangi
pinggangnya. Tapi, tidak ada waktu untuk meratapi nasib ditindas, apalagi
menangis Bombay, atau bakal kena depak. Ia harus segera tiba di rumah sakit dalam
waktu lima belas menit atau akan tamat.
Dengan segera ia pun segera ia pun menuju kamar mandi,
sesampai di sana ia menyalakan kran westafel membasuh mukanya. Dengan mata
terpejam, tangannya meraba facial foam miliknya, kemudian membuka dan
menuangkannya ke telapak tangan dan membasuhkan ke muka cantiknya. Tapi,
tunggu! Kenap facial foamnya kasar? Ini bukan scrub, kan? Dan ya, baunya aneh,
tidak wangi. Perlahan Diana membuka mata. Betapa terkejutnya dia saat melihat
wajahnya sudah mirip dakochan.
"Iiiiihhhh Eliiiiisssss! Terkutuk kau bocah iblis! Beraninya
kau mengganti isi facial foamku dengan lumpur? Hah, awas kau nanti, bakal
kucincang kalau sudah pulang!" Dengan gerakan kasar Diana mebasuh wajahnya dari
tanah liat atau lumpur dengan air yang mengalir dari kran.
Di kepa diana muncul bayangan Elis dengan tanduk dan ekor
iblis membawa tongkat, tertawa terbahak sambil meledeknya, "Kau mau
mencincangku? Bahkan cara memegang pisau yang benar saja kau tidak tahu!"
"Akan kusewa pembunuh bayaran untuk menumismu!" umpat Diana
seorang diri, ia sudah berasa benar-benar gila saja.
Tak mau ambil pusing, ia akhirnya mencuci muka dengan sabun mandi
batang yang ada di sana. Sebab, ia taka da keberanian memakai facial milik
momynya. Karena jenis kulitnya berbeda, pernah sekali nekat memakai ia malah
berjerawat banyak sampai segede jagung. Tidak lucu, kan jika hal itu terulang.
Sambil menangis kesal dan mengomel tiada henti, Diana meraih
pasta gigi dan sikat gigi. Begitu ia baru mulai menggosok, ia memuntahkan semua.
Tidak puas dengan mengganti isi faciel dengan lumpur, ini bahkan pasta gigi pun
juga terisi oleh lumpur.
"Terkutuk saja kau Elis jadi batu biar jadi teman malin
kundang sana, beraninya kau!" umpat Diana lagi.