Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 22 - LUMPUR

Chapter 22 - LUMPUR

Diana mengawasi sekitaran rumahnya. Setelah dirasa keadaan

sepi, ia berjalan pelan dengan penuh hati-hati menuju dapur. Sesampainya di

sana, ia tersenyum mendapati semua hidangan sudah pada beres. Elis entah ke

mana, sedangkan momy-nya tengah sibuk merias diri, sebab, sebentar lagi,

teman-teman sosialita momy-nya untuk makan-makan.

"Hehehe, selama ini Momy juga selalu banggain masakan si abu

itu, kan? Sekarang lihat saja, si abu minta kawin… Keasinan semua ini, hahaha."

Diana tertawa tertahan sambil menabur banyak garam pada masakan yang sudah

dihidangkan oleh Elis. Khawatir ada yang melihat ulahnya, Diana pun segera

berlari meninggalkan dapur.

Begitu mendengar

langkah kaki beranjak pergi, Elis pun keluar dari tempat persembunyiannya.

Memiliki postur tubuh yang termauk mungil kira-kira 157cm dengan berat badan 45kg dan lentur memang terkadang memberi

keuntungan dalam situasi tertentu. Bagaimana tidak, misalnya saat ini. Ia bisa masuk ke dalam

salah satu lemari kitchen set yang kosong, da mengintip dari lubang bekas

pegangan yang terlepas.

Tadi Diana yang tertawa bangga. Namun, kali ini Elis yang

dengan bangga tertawa puas karena sukses mengerjai Diana, Dengan cepat ia membuang

semua masakan yang sebenarnya adalah masakan sisa kemarin, dan mengganti

hidangan yang sebenarnya, untuk diberikan pada para tamu yang ia simpan di

lemari kitchen set bagian atas.

"Haaah, dasar orang kota, gadis manja, mana bisa bedain

sayur kemarin sama sayur baru? Mungkin, kalau dikasih sayur basi pun juga di

makan, bagian yang berlendir ia anggap tambahan pasta dari Italia," umpat Elis

seorang diri sambil geleng-geleng kepala.

"Elis, sebentar lagi teman-teman ibu sudah akan datang, kamu

keluarkan saja hidangannya yang kita masak tadi sekarang, ya? Kamu juga mandi,

pas dilihat nanti mereka kagum sama kamu, ibu punya asisten rumah yang jago

masak, cantik dan stylish," ucap bu Marissa.

"Ibu, bisa saja. Saya lebih baik menyetrika baju saja,

jangan nongol ke depan, malu saya, Bu."

"Kenapa harus malu? Gak apa-apa, Lis. Siapa tahu ada yang

nawarin kamu bekerja di restoran jadi koki gitu, kan lumayan, gaji gede."

Elis hanya tersenyum mendapti tingkah majikannya yang ia

rasa aneh. Dia ini hanya pembantu. Tapi, diperlakukan tidak seperti pembantu,

seperti keponakan saja, yang siap di dukukng olehj tantenya jika memang

inginkan tempat lain untuk bekerja.

Tidak menunggu lama, teman-teman Marissa yang trdiri dari

lima orang pun tiba, mereka ngobrol ngalor ngidul membicarakan apa saja yang

biasa di bahas, jika tidak mengenai karir, anak, suami lalu asisten rumah

tangga.

Ngebahas soal ini, Marissa begitu semangat, tanda ia bangga

dengan Elis.

"Udah… Udah, stop qibah, Jeng. Jangan pada ngrumpi. Kita

makan-makan, yuk! Masakan my house maid enak lo, kelas restoran berbintang.

Anaknya cantik lagi,'' ucap Marissa sambil mengajak kelima teman gengnya ke meja

makan.

"Jeng, serius ini masakan asisten rumah tangga kamu? Ya

ampun, steak iganya… kaya yang ada di café-café gitu, ya?"

"Gak Cuma tampilan, rasa aja juga oke, loh,'' jawab Marissa

dengan rasa percaya diri.

Sedangkan Diana yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan

mereka di ruang tengah hanya cengegesan di balik buku yang Ia baca. 'Ayo,

cicipin ayam asin kuah air laut, tante,' gumam Diana dalam hati sambil

cekikikkan seorang diri.

"Dari pada penasaran, kita makan saja, yuk. Siapa tahu, enak

bener dan cocok, nanti kalau ada apa-apa kita kontrak saja dia, hehehe."

"1 2 3… Rasakan!'' seru Diana sambil menghitung dengan

jarinya.

"Wah, beneran… Ini enak banget, Marissa.

"Iya, sup kentangnya juga enak banget."

Diana terkejut, merasa tidak yakin dengan pendengarannya.

Karena penasaraan, ia pun bangkit dari duduknya dan melihat sendiri bagaimana

ekspresi kelima orang teman-teman momynya tersebut.

"Coba, ini, ayam rempahnya, beneran enak. Pas anakmu nikah

nanti, jika dia masih betah belerja denganmu, Mar. Enak. Gak usah catring. Dia

aja yang meracik bumbu, carikan asisten," usul salah satu temannya.

"What? Bagaimana bisa? Apakah Elis tadi sengaja, masak gak

pake garam. Tarus pas aku tuangkan garam banyak banget rasanya jadi pas?" gumam

Diana. Kemudian ia beranjak menghampiri mereka yang duduk mengelilingi meja

makan.

'Aku harus memastikannya sendiri, baru aku akan percaya!'

"Halo, Momy, Tante… " sapa Diana sambil menunjukkan senyuman

terbaiknya.

"Eh, Diana, apa kabar, cantik?"

"Baik, Tante." Sambil membalas sapaan mereka, ia melirik ke

meja makan, ia terkejut bahkan sampai melotot memandang hidangan yang jauh

berbda dengan yang ia taburi garam tadi.

"Ada apa Diana?" tanya salah satu teman maminya, ketika

melihat ekspresi Diana yang di rasa aneh.

Diana diam tak menjawab.

Kemudian, nampak Elis berkelibat lewat membawa keranjang

berisi baju yang sudah di setrika hendak menuju ke kamar Diana.

"Itu Elis yang memasak semua ini," ucap Marissa. Seketika

lima orang teman-teman Marissa pun serempak menoleh ke arah gadis berambut

Panjang sepinggang, hitam legam dan tebal serta berkulit putih itu.

"itu adeknya Diana, Marissa. Anak kedua kalian, bukan

pembantu," ujar salah satu dari mereka.

"Hahaha, iya loh Jeng. Tidak ada yang percaya kalau dia itu asisten rumah tangga kami. Orang-orang ngira dia keponakan kami dari Jogja," jawab Marissa dengan bangga.

"Dia pasti cuma lulusan SMA. Kenapa tidak kamu tawarin kuliah saja, Mar? Kelihatannya dia baik dan tahu balas budi kok."

Marissa diam sesaat. Iya juga. Kenapa aku gak kepikiran. Ah, makasih sarannya. Biar nanti akan kami bicarakan bersamanya dulu.'

Elis hanya menyapa dengan senyuman dan lewat begitu saja

tanpa berhenti. Namun, begitu tatapan mata mereka bertemu dengan Diana,  ia justru mencibir gadis itu dan segera

berlalu.

Diana kian kesal dibuatnya, ia tak akan berhenti sampai

sini. Sudah berapa kali saja Elis selalu sukses mengerjainya. Sedangkan dia,

satu kalipun mengerjai Elis tidak pernah berhasil.

"Aku mau pergi dulu, Mih. Tante, silahkan dilanjutkan," ucap

Diana ramah.

Sore hari, sekitar

pukul 15.30 WIB, semua teman-teman Marissa sudah bubar, dan semua puas dengan

jamuan yang dihidangkan oleh si pemilik rumah.

Hari ini Elis sedikit

sibuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Karena, besok ia berencana untuk

mengambil liburan setiam akhir bulannya. Ia sengaja mengambil libue setelah

hampir dua tahun bekerja tak pernah off. Gadis itu berfikir, sebentar lagi dia

akan pulang kampung, jumblah uang untuk membayar hutang bapaknya dan untuk

biaya pernikahan sudah ia hitung semuanya lebih dari cukup. Jadi, ia bisa

membeli sesuatu untuk oleh-oleh ibu dan tetangga terdekat di kampungnya.

"Elis, kamu besok jadi libur?" tanya bu Marissa.

"Iya, jadi, Bu." Elis memandang wanita yang seumuran dengan

ibunya di kampung, hanya saja beda kehidupan dan lingkungan serta penampilan,

sehingga ia terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Sebenarnya ia tidak

tega jika harus pergi. Namun, apa boleh buat? Usianya sudah duapuluh satu tahun

sekarang. Jika di kota mungkin usia segitu terlalu dini untuk menikah. Tapi, di

tempatnya tidak. Beda lagi jika dia adalah wanita karir. Nyatanya ia hanyalah

seorang pembantu rumah tangga saja.

"Ya sudah, bereskan semuanya. Kamu keberatan tidak jika

besok meyiapkan roti bakar dan dua cangkir the hangat untuk bapak dan ibu

sebelum kamu keluar jalan-jalan?"

"Tentu saja tidak, Bu. Itu tidak masalah sama sekali. Sore

saya sudah kembali, dan akan menyiapkan makan malam untuk kalian," jawab Elis,

tanpa mengehentikan aktifitasnya mengelap perabot yang akan ia susun rapi ke

dalam lemari kitchen set tersebut.

"Besok kan hari minggu, tidak masalah, ibu dan bapak juga

libur ngantor. Lagi pula kami juga tidak ada acara di luar. Kamu gak usah buru-buru

kembali, asal tahu saja, anak gadis tidak baik keluar malam lebih dari jam Sembilan

malam."

"Baik, Bu.

Keesokan paginya,  Elis

yang sudah membuatkan sarapan praktis untuk para majikannya dan hendak pergi

jalan-jalan mengisi liburan pertamanya setelah hampir dua tahun lamanya malah

ada yang mengacaukan. Elis tahu siapa lagi pelakunya kalau bukan si anak

majikan berkelakuan setan itu.

"Uh, capek-capek aku beresen halaman dan mengepel teras,

kenapa jadi banyak lumpur begini, sih?" umpat Elis seorang diri. Ia bahkan

sampai menangi, takut ia kesiangan dan tidak memiliki waktu cukup untuk

berbelanja oleh-oleh.

Namun, ide jailnya pun kembali muncul, Elis berlari

kebelakang mengambul ember. Setelah semua di rasa beres, ia segera mandi dan

pergi meninggalkan rumah dengan hati dan perasaan puas.

Dering nada panggilan memekakan telinga

menggema di penjuru kamar Diana. Gadis berusia duapuluh empat tahun dan masih

jomblo itu, mengeliat malas dan mengumpat seorang diri, "siapa sih pagi-pagi

begini udah calling-calling? Mengganggu saja, uuuuhh….. " Diana pun mengeliat

memancal bad cover yang selalu ia jadikan selimut dan meraih ponsel berisik itu

yang terletak di atas nakas.

"Halo, ada apa, Lus?" jawabnya kesal.

"Ada apa? Ada apa palamu, hah? Diana, ini sudah jam berapa?

Kau mau disemprot sama ketua? Ini sudah hampir jam tujuh, duapuluh lima menit

lagi ada pertemuan para perawat," jawab seorang gadis dari seberang sana terus

mengomel.

"Astagaaa! Lus, gua lupa. Ok. Kali ini gua gak akan telat,"

jawabnya kemudian mematikan panggilan dan segera melompat dari ranjang. Tapi, kesialan

rupanya menimpanya lagi, dan mungkin setimpal dengan apa yang ia perbuat kemarin,

dan hari ini. Walau pun Elis bisa lolos dari garam yang ditabur berlenih pada

masakan. Namun lumpur sangat menyusahkan dirinya.

"Eliiiiis! Beraninya kau!" teriak Diana dengan sekuat

tenaga. Beruntung sekali kamarnya terdapat kedap suara. Jadi, hal itu tidak

mengganggu siapaun termasuk kedua orang tuanya yang masih tidur akibat begadang

nonton film aksi semalam hingga pukul dua dini hari.

"Argh.. Sialan,

terkutuk kau bocah iblis!" seri Diana lagi sambil menarik kedua kakinya yang

masuk ke dalam ember berisi lumpur yang sudah disiapkan Elis untuk mengerjainya

balik.

Diana berjalan keras keluar kamar hendak ke kamar mandi

untuk mencuci muka dan gosok gigi saja. Untuk mandi sepertinya dia tidak ada

waktu, jadi yang penting muka tidak kucel dan memakai seragam perawat dengan

rapih juga cukup. Tapi, ia tidak tahu kalau tanah liat itu cukup lacin sehingga…

"GEDEBUGH!!!"

"Aduh! Sakit banget." Diana meringis sambil memgangi

pinggangnya. Tapi, tidak ada waktu untuk meratapi nasib ditindas, apalagi

menangis Bombay, atau bakal kena depak. Ia harus segera tiba di rumah sakit dalam

waktu lima belas menit atau akan tamat.

Dengan segera ia pun segera ia pun menuju kamar mandi,

sesampai di sana ia menyalakan kran westafel membasuh mukanya. Dengan mata

terpejam, tangannya meraba facial foam miliknya, kemudian membuka dan

menuangkannya ke telapak tangan dan membasuhkan ke muka cantiknya. Tapi,

tunggu! Kenap facial foamnya kasar? Ini bukan scrub, kan? Dan ya, baunya aneh,

tidak wangi. Perlahan Diana membuka mata. Betapa terkejutnya dia saat melihat

wajahnya sudah mirip dakochan.

"Iiiiihhhh Eliiiiisssss! Terkutuk kau bocah iblis! Beraninya

kau mengganti isi facial foamku dengan lumpur? Hah, awas kau nanti, bakal

kucincang kalau sudah pulang!" Dengan gerakan kasar Diana mebasuh wajahnya dari

tanah liat atau lumpur dengan air yang mengalir dari kran.

Di kepa diana muncul bayangan Elis dengan tanduk dan ekor

iblis membawa tongkat, tertawa terbahak sambil meledeknya, "Kau mau

mencincangku? Bahkan cara memegang pisau yang benar saja kau tidak tahu!"

"Akan kusewa pembunuh bayaran untuk menumismu!" umpat Diana

seorang diri, ia sudah berasa benar-benar gila saja.

Tak mau ambil pusing, ia akhirnya mencuci muka dengan sabun mandi

batang yang ada di sana. Sebab, ia taka da keberanian memakai facial milik

momynya. Karena jenis kulitnya berbeda, pernah sekali nekat memakai ia malah

berjerawat banyak sampai segede jagung. Tidak lucu, kan jika hal itu terulang.

Sambil menangis kesal dan mengomel tiada henti, Diana meraih

pasta gigi dan sikat gigi. Begitu ia baru mulai menggosok, ia memuntahkan semua.

Tidak puas dengan mengganti isi faciel dengan lumpur, ini bahkan pasta gigi pun

juga terisi oleh lumpur.

"Terkutuk saja kau Elis jadi batu biar jadi teman malin

kundang sana, beraninya kau!" umpat Diana lagi.