IM.03 AKU BERJANJI AKAN MERAHASIAKAN SEMUANYA
JOSHUA
"Dokter, bagaimana dengan keadaan Allura? Apakah ia baik-baik saja?" Aku bertanya kepada dokter yang baru saja selesai memeriksa Allura Gibson di ruang pemeriksaan.
Sang dokter tersenyum tipis kepadaku yang menatapnya dengan wajah khawatir. Sambil bergerak menduduki kursi yang ada di hadapanku ia menjawab, " Tuan Joshua tidak perlu khawatir. Nyonya Allura baik-bak saja."
"Lalu kenapa ia sering mual dan tidak enak badan, Dok?"
Sang dokter mengulurkan tangannya ke hadapanku membuatku dan Allura Gibson kebingungan. Kemudian dengan senyum lebar ia berkata, "Selamat, Tuan Joshua. Anda akan segera menjadi ayah."
Seketika aku merasa kaget mendengar ucapan sang dokter itu. Begitu juga dengan Allura Gibson yang duduk di sampingku. Sambil menjabat tangannya, di dalam hati aku bertanya, hamil? Bagaimana itu bisa terjadi? Selama kami tinggal bersama, aku tidak pernah menyentuh Allura, apalagi berhubungan dengannya. Kenapa sekarang ia tiba-tiba hamil? Apakah mungkin ia sudah hamil sebelum ikut bersamaku kemari?
Aku dan Allura Gibson saling menatap beberapa saat. Belum sempat aku menanggapi ucapan sang dokter, Allura Gibson lebih dulu bersuara, "Dokter, kira-kira berapa umur kandunganku?"
"Sekitar 12 minggu, Nyonya. Mual dan tidak berselera makan sangat wajar selama masa kehamilan. Nanti aku akan memberikan resep dan vitamin untuk Nyonya konsumsi setiap harinya."
"Baik. Terima kasih, Dok."
"Sama-sama, Nyonya."
"Kalau begitu kami permisi dulu, Dok."
"Baik, Nyonya. Silahkan."
Karena aku dan sang dokter saling kenal, tadinya aku ingin berbincang ringan sejenak tentang beberapa hal setelah melakukan pemeriksaan. Namun melihatnya yang tidak bersemangat setelah mengetahui kehamilannya dan ingin segera pergi, membuatku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikutinya. Dan aku pun berpamitan dengan sang dokter yang aku kenal baik itu. Sambil menjabat tangannya aku berkata, "Aku juga permisi, Dok. Terima kasih banyak sudah memberikan yang terbaik untuk Allura."
"Sama-sama, Tuan Joshua. Sudah menjadi tugasku memberikan yang terbaik untuk para pasienku."
Setelah berpamitan dan berjabat tangan dengan sang dokter, aku dan Allura Gibson melangkah keluar ruang pemeriksaan dengan langkah santai. Kami berjalan saling beriringan, namun tidak bicara satu sama lain. Membuatku yang berjalan di sampingnya, merasa ada yang aneh pada dirinya. Sambil terus berjalan di sampingnya dan sesekali menatapnya dari samping, aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa ia terlihat murung? Apa ia tidak merasa senang atas kehamilannya?
Kami berdua saling diam dalam waktu yang cukup lama. Dari awal kami keluar ruang pemeriksaan dokter hingga ke area parkir yang ada di halaman rumah sakit. Saat kami berdua telah sampai di samping mobil yang dari tadi terparkir, Allura Gibson menoleh ke arahku dengan wajah datar tanpa bersuara. Membuatku yang tidak tahu harus berbuat apa, berusaha memecahkan suasana kaku dengan bertanya, "Allura, apa kamu ingin ke suatu tempat?"
"Tidak."
"Apa kamu ingin kita langsung pulang saja?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Joshua, bisakah kamu membawaku berkeliling?"
Aku tersenyum tipis padanya dan menjawab, "Tentu saja, Allura. Kamu ingin aku mengantarmu kemana?"
"Kita keliling kota saja, Joshua. Aku hanya ingin mencari udara segar. Setelah itu kita pulang ke rumah."
"Baiklah."
Setelah kami berdua memasuki mobil, aku yang duduk di kursi driver mengendarai mobilku keluar kawasan rumah sakit. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan rendah, membelah jalanan kota Thimphu yang tidak terlalu ramai. Dulu saat aku masih tinggal di Singapore, aku selalu dihadapi dengan keruwetan jalan dengan populasi kendaraan yang semakin lama semakin tinggi. Namun semenjak tinggal di ibukota negara Bhutan ini, aku merasakan hal yang sangat berbeda. Di kota yang memiliki penduduk tidak terlalu banyak ini, tidak hanya ukuran jalanan yang jauh lebih kecil dibanding jalan raya yang ada di Singapore. Tapi juga tidak ada traffic light sebagai pengatur lalu lintas. Yang ada hanyalah rambu-rambu lalu lintas dan polisi lalu lintas yang menjadi pedoman para pengguna jalan raya.
Aku tidak hanya merasakan ketenangan selama tinggal di ibukota negara Bhutan yang jauh dari hingar-bingar kota besar pada umumnya. Namun aku juga merasakan keunikan selama tinggal di negara yang sangat menghormati budayanya ini. Jika di kota megapolitan yang ada di negara kapitalis para penduduknya mengutamakan materi, di negara ini uang dan kekayaan bukan hal utama yang mereka kejar. Selain itu, pihak kerajaan yang memerintah negara ini selalu mempertimbangkan kebahagiaan rakyatnya sebelum mengambil keputusan. Bahkan beberapa keputusan yang di ambil oleh pihak pemerintah yang dianggap modern, dapat membuat masyarakatnya menjadi stress. Memang terdengar aneh dan unik. Namun keunikan negara inilah yang membuatku merasa nyaman dan memutuskan untuk menetap di negara ini.
Dulu saat aku masih tinggal di Singapore, aku membangun bisnis property ku sendiri setelah selesai membantu Allura Gibson mengurus Ma's Property selama sahabatku Albert Ma menjadi pasien vegetatif parsisten. Namun selama beberapa tahun berdiri, bisnisku itu tidak mundur dan juga tidak berkembang alias jalan di tampat. Membuatku yang ingin lebih baik lagi, berpikir untuk mengembangkan bisnisku di sektor lain yang mungkin akan mengantarku ke gerbang kesuksesan. Dan salah seorang pamanku yang telah lama menjadi permanent residence di negara ini, mendorongku untuk datang kemari.
Awalnya aku merasa ragu untuk mengikuti saran beliau yang menyuruhku untuk pindah ke Bhutan dan membuka bisnis ekspor hasil bumi negara ini ke luar negeri. Namun rasa patah hatiku karena ditolak oleh Allura Gibson yang telah bersuami, serta perselisihanku dengan sahabatku Albert Ma karena mencintai istrinya yang tak kunjung reda, membuatku memilih keputusan yang berat ini. Yang ada dipikiranku saat itu hanyalah ingin pergi dari Singapore untuk menenangkan diri dan memulai kehidupanku yang baru. Karena menurutku, tetap berada di Singapore akan membuatku sulit untuk melupakan Allura Gibson dan berdamai dengan Albert Ma yang sangat marah kepadaku.
Sebagai manusia biasa kita tidak bisa menebak takdir hidup kita di masa depan yang telah digariskan Tuhan. Aku yang saat itu hendak pergi untuk melupakan Allura Gibson, malah bertemu dengannya di bandara dan kini hidup bersama. Bagi orang-orang yang tidak mengerti apa-apa, mereka akan berpikir bahwa aku adalah seorang teman yang tidak berperasaan. Karena aku pergi tanpa berpamitan pada Albert Ma dan membawa pergi istrinya yang juga merupakan sahabatku sendiri tanpa sepengetahuannya. Namun semua itu adalah permintaan dari Allura Gibson. Ia tidak hanya memintaku untuk merahasiakan keberadaannya dari siapapun, tapi ia juga ingin menghapus identitas lamanya dan menggantinya dengan yang baru. Dan kini ia Allura Gibson telah berganti nama menjadi Lula.
Saat kami berdua tengah berkeliling kota Thimphu dengan mobil yang aku kendarai, Allura Gibson masih diam seribu bahasa. Ia tidak hanya tidak bicara padaku, tapi ia juga terlihat murung. Membuatku yang terbiasa berinteraksi dengannya merasa semakin tidak nyaman. Dengan penuh rasa penasaran aku bertanya, "Allura, apa kamu baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja." Ia menjawab tanpa menoleh ke arahku.
"Tapi kenapa kamu terlihat murung?"
Allura Gibson terdiam sejenak dan berbalik bertanya, "Apa aku terlihat murung?"
"Ya. Sejak kita keluar dari ruang pemeriksaan dokter tadi hingga kini, kamu terlihat murung. Ada apa? Kamu bisa bercerita padaku, Allura."
"Aku tidak tahu harus melakukan apa, Joshua. Aku tidak tahu harus bagaimana setelah mengetahui kehamilanku."
Aku yang tidak mengerti dengan maksud ucapan Allura Gibson kembali bertanya, "Allura, aku tidak mengerti dengan maksud ucapanmu itu. Kenapa kamu tidak tahu harus baerbuat setelah mengetahui kehamilanmu?"
Allura Gibson menarik nafas dalam dan membuangnya dengan kasar. Dengan suara rendah ia menjawab, "Hufffft... Entahlah, Joshua. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu harus berbuat apa terhadap bayi yang ada di dalam kandunganku."
"Kenapa?"
"Janin yang ada di dalam kandunganku ini adalah milik Albert. Aku tidak tahu harus berbuat apa terhadap janin ini. Apakah aku akan melahirkannya atau tidak." Allura Gibson menjawab dengan wajah datar.
Meski ia menjawab pertanyaanku dengan wajah datar, namun ia tidak bisa membohongiku bahwa ia tengah merasa sedih. Dari samping aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca seolah sedang menahan perasaan. Dan belum sempat aku menanggapinya, Allura Gibson kembali bersuara, "Lagi pula aku dan Albert tidak bersama lagi. Bagaimana bisa aku membesarkan bayi ini sendirian?"
Aku terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Allura Gibson yang seperti sedang putus asa itu. Sambil menepikan mobil ke pinggir jalan aku berkata, "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu, Allura."
"Bagaimana aku tidak khawatir, Joshua? Aku tidak bersama Albert lagi. Sedangkan aku disini tidak bekerja dan menggantungkan hidupku padamu."
"Meski kamu tidak bersama Albert lagi, kamu harus melahirkan bayi itu. Bayi itu tidak bersalah, Allura. Jika kamu mengkhawatirkan status bayimu, aku bersedia menjadi ayahnya." Aku berkata dengan penuh percaya diri.
Sebenarnya ada rasa sedih di hatiku mendengar kehamilan Allura Gibson. Aku merasa sedih karena ia tengah hamil anak dari Albert Ma yang telah mengecewakannya, bukan aku. Dari awal aku membawanya bersamaku ke Bhutan ini, aku memiliki banyak harapan terhadapnya yang telah membenci suaminya. Bahkan aku berharap hubungan kami akan berakhir indah dengan hidup bersama di negara yang jauh dari orang-orang terdekat kami. Mungkin terkesan sangat egois karena mengharapkan sesuatu yang lebih dari kesedihan dan kesulitan orang lain. Namun rasa cintaku terhadapnya yang tidak pernah pudar, membuatku berharap hubungannya dengan Albert Ma benar-benar berakhir dan ia pun berpaling padaku. Mungkinkah keinginan yang terbesit di hatiku itu akan terwujud?
Allura Gibson menatapku dengan wajah kaget setelah mendengar pernyataanku. Dengan spontan Allura Gibson meninggikan nada bicaranya dan berkata, "Joshua, apa yang kamu katakan? Kamu bersedia menjadi ayahnya? Apa maksudmu?"
"Aku bersedia menjadi ayah dari bayi itu."
"Tidak, itu tidak boleh terjadi. Bagaimana bisa kamu menjadi ayahnya? Sedangkan ini bukan bayimu. Ini bayiku dan Albert."
Aku menarik nafas dalam lalu berkata, "Allura, jangan panik seperti itu. Kamu juga jangan salah paham dengan ucapanku. Bukannya aku bermaksud untuk mengambil bayimu dan menjadikannya anakku. Tapi aku bersedia menjaganya dengan baik layaknya seorang ayah. Itu pun kalau kamu izinkan."
"Joshua, tolong jawab jujur pertanyaanku. Apakah kamu masih berpikir untuk mendapatkan hatiku? Sebelum terlanjur, lebih baik kamu urungkan niatmu dan buang perasaanmu itu terhadapku. Aku hanya menganggapmu sebagai teman sekaligus saudaraku. Jadi jangan berpikir lebih. Bersama atau tidak bersama Albert, bayi ini tetaplah miliknya. Tidak ada yang bisa menggantikan Albert meski aku tidak lagi bersamanya."
Dengan perasaan kecewa aku berbalik bertanya dengan suara rendah, "Apakah kamu masih mencintai Albert?"
"Meski saat ini aku membencinya, namun hatiku tidak bisa berpaling darinya. Jadi janga berharap banyak padaku, Joshua. Aku tidak ingin kamu kecewa."
"Sekarang kamu telah membencinya. Tidak bisakah kamu menyisakan tempat untukku di hatimu?"
"Joshua, apakah kamu tidak mendengarku? Berhentilah berharap padaku!" Allura Gibson berkata dengan nada yang lebih tinggi.
Mendengar nada bicaranya yang semakin tinggi dan tatapannya yang tajam, membuatku yang tadinya terlalu berani bicara, kini merasa sedikit bersalah. Dan agar ia tidak semakin marah kepadaku, aku pun bersuara, "Maaf, jika aku membuatmu marah Allura. Aku tidak akan memaksamu untuk membalas perasaanku. Tapi semua yang aku lakukan untukmu itu tulus. Jika memang hubungan kita tidak bisa berakhir dengan bersama, tapi setidaknya kamu mengizinkanku untuk ikut merawat bayi itu nanti. Aku tidak bisa membiarkanmu sendiri menanggung semuanya."
Setelah mendengar ucapanku, Allura Gibson terdiam cukup lama. Tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, namun aku bisa merasakan kekacauan di hatinya. Hingga akhirnya ia kembali bersuara, "Joshua, tolong rahasiakan ini. Tolong rahasiakan dari siapapun bahwa aku ada di Bhutan ini dan juga sedang mengandung bayi Albert. Aku tidak ingin ia tahu. Aku juga tidak ingin kembali ke Singapore. Jadi biarkan aku tetap di sini dan membesarkan bayi ini."
"Baik, Allura. Aku berjanji akan merahasiakan semuanya dari siapapun. Kamu tidak perlu khawatir. Hanya ada aku dan kamu di sini. Kamu juga sudah merahasiakan identitasmu. Jadi tidak akan ada yang tahu."