Chereads / INCESTUOUS MARRIAGE (Pernikahan Sedarah) / Chapter 7 - BAB 07 - INCESTUOUS MARRIAGE

Chapter 7 - BAB 07 - INCESTUOUS MARRIAGE

IM.07 AKAN SELALU BERSAMAMU

JOSHUA

Aku tertegun sejenak melihat nama Mario Chu yang muncul pada layar ponselku saat aku sedang bersama Allura Gibson. Agar ia tidak mendengar pembicaraanku dan merasa curiga, aku pun berpamitan padanya untuk menjawab panggilan telepon. Dan saat aku keluar dari mobil, aku pun menyapa orangku ysng sedang menghubungjku, "Hallo, Mario. Ada apa?"

"Tuan, aku ingin memberi Tuan kabar baik."

"Apa itu, Mario?"

"Ini tentang anak kecil yang bernama Adrian Ma itu, Tuan."

Aku yang sedang berdiri di samping pintu mobil, menoleh ke arah Allura Gibson yang sedang meminum obat dan vitaminnya. Agar ia tidak mendengar pembicaraanku dengan Mario Chu tentang putranya, aku pun berjalan beberapa langkah menjauhi mobil. Dan saat aku merasa suasana di sekitarku telah aman, aku pun kembali bertanya, "Katakan, bagaimana kabar Adrian?"

"Setelah hilang selama satu bulan, akhirnya  Adrian ditemukan dan diantar ke rumah Tuan Ma dalam keadaan sangat sehat, Tuan."

"Hilang satu bulan dan pulang dalam keadaan selamat? Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah ada yang menemukannya lebih dulu dan merawatnya?"

"Aku rasa hal ini tidak pantas disebut dengan menemukannya, Tuan. Tapi semua yang terjadi itu benar-benar telah direncanakan sedemikian rupa. Wanita ini menyuruh beberapa orang untuk menculik Adrian dengan cara cukup unik. Seolah-olah anak laki-laki kecil itu tenggelam di pantai Singapore hingga sulit untuk ditemukan. Penculik itu merawat anak kecil itu dengan sangat baik sesuai dengan perintah wanita yang membayarnya di sebuah pulau di kawasan Batam, Indonesia. Dan setelah semua gagal menemukannya, wanita itu membawa anak laki-laki kecil itu kepada orang tuanya. Sepertinya wanita yang merencanakan ini semua memiliki tujuan khusus untuk melakukan itu semua, Tuan."

Aku terdiam cukup lama mendengar ucapan Mario Chu yang ada di seberang telepon. Dengan penuh rasa penasaran aku kembali bertanya, "Memangnya siapa wanita yang ada di balik kejadian itu, Mario?"

"Wanita itu bernama Violet, Tuan."

Mendengar jawaban dari Mario Chu membuatku merasa begitu kaget. Aku tidak menyangka ternyata Violetta Winston adalah dalang dari hilangnya Adrian Ma. Jika memang otak dari semua kejadian ini adalah dirinya, pastinya tujuan utamanya adalah Albert Ma. Dulu aku memang pernah bekerja sama dengannya untuk mendapatkan hati orang yang kami cintai walau pun berakhir gagal. Namun aku tidak menyangka ia akan melakukan hal senekad ini hanya untuk mendapatkan apa yang ia mau. Ia berani mengorbankan seorang anak kecil demi mendapatkan hati Albert Ma. Benar-benar cara yang sangat licik.

"Lalu... Apakah sekarang Adrian sudah bersama ayahnya Albert?"

"Ya, Tuan. Anak kecil yang bernama Adrian itu sudah bersama Tuan Albert Ma."

"Syukurlah. Terima kasih atas informasinya, Mario. Aku sedang dalam perjalananan. Aku akan menghubungimu kembali nanti."

"Baik, Tuan. Aku akan segera menghubungi Tuan jika ada perkembangannya lebih lanjut."

Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Mario Chu yang berada di Singapore, aku terdiam cukup lama sambil menatap layar ponselku. Aku menatap layar ponselku bukan sedang menghubungi siapa pun. Tapi ini seperti sebuah kepura-puraan agar Allura Gibson tidak mencurigaiku. Entah kenapa saat ini aku tidak ingin ia mengetahui kabar baik tentang Adrian Ma putranya.

Tidak bisa aku pungkiri, jika aku masih mencintai Allura Gibson. Tidak bisa aku pungkiri, bahwa aku juga menyayangi Adrian Ma layaknya putraku sendiri. Namun mengingat Adrian Ma adalah belahan jiwa Allura Gibson yang tidak bisa tergantikan, membuatku berpikir bahwa ia akan kembali ke Singapore jika mengetahui hal ini. Dan aku pun merasa takut jika itu terjadi. Karena aku masih berharap ia akan tetap di sini bersamaku.

Selama ini telah banyak hal yang aku lakukan untuknya. Meski terkadang hatiku terasa sakit saat ia mengingat dan menyebut nama Albert Ma yang dulunya adalah sahabatku, namun aku tetap berusaha untuk tetap tenang. Aku sangat mencintai Allura Gibson dari dulu hingga sekarang. Rasa cinta yang begitu besar dan tidak pernah hilang kepadanya itu, membuatku takut kehilangannya. Dan aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku jika kehilangannya untuk kedua kalinya. Dulu aku pernah kehilangannya saat ia memilih Albert Ma dibanding diriku yang selalu bersamanya. Kini aku tidak ingin kehilangan dirinya yang aku anggap belahan jiwaku. Meski hingga kini ia belum bisa membalas cintaku, namun adanya ia bersamaku sudah cukup bagiku.

Mungkin ini semua terkesan sangat egois, karena diriku melakukan semua ini demi kepentinganku sendiri. Orang-orang yang mengetahui ini mungkin juga berpikir bahwa aku tidak ada bedanya dengan Violetta Winston. Sayangnya, aku tidak setuju dengan pendapat itu. Violetta Winston memang merencakan semuanya dan memanfaatkan Adrian Ma yang hilang untuk mendapatkan hati Albert Ma. Sedangkan diriku hanya membantu mewujudkan keinginkan oleh Allura Gibson yang ingin jauh dari suami dan keluarganya. Meski tujuannya sama-sama ingin mendapatkan hati orang yang dicintai, tetap saja kami memiliki cara yang berbeda.

Setelah cukup lama berdiri sendirian tidak jauh dari mobilku terparkir, aku menoleh sejenak ke arah Allura Gibson yang masih duduk di kursi penumpang depan menungguku. Di dalam hati aku berkata, maafkan aku Allura. Aku terpaksa melakukan ini karena tetap ingin bersamamu.

"Joshua, apa yang sedang kamu lamunkan? Ayo kita berangkat!" terdengar suara teriakan Allura Gibson dari arah mobil saat aku berdiri mematung sambil menoleh ke arahnya.

Mendengar suara teriakan Allura Gibson, membuatku tersadar dari lamunanku yang singkat. Dengan segera aku melangkah dan tersenyum padanya sembari berkata, "Baiklah. Kita berangkat sekarang."

***

Jarak kota Punakha yang cukup jauh dari ibukota Thimphu, membuat kami harus menempuh perjalanan lebih kurang selama 2 jam. Tidak banyak kata yang terucap di antara kami berdua selama perjalanan. Karena kami berdua saling diam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Allura Gibson selalu menatap keluar jendela mobil menikmati pemandangan yang ada di sepanjang perjalanan dengan wajah murung. Sedangkan aku fokus pada jalanan yang ada di depan mata dengan pikiran yang begitu kacau. Karena hingga kini aku masih merasa ragu apakah aku harus memberi tahunya tentang Adrian Ma yang sudah kembali ke rumah atau tidak.

Saat mobil yang sedang aku kendarai memasuki kawasan Punakha, suasana festival sudah mulai terasa. Tidak hanya terlihat berbagai macam atribut khas festival Bhutan yang berwarna-warni menghiasi jalanan. Tapi aku juga melihat banyak orang-orang yang mengenakan pakaian tradisional seperti kira untuk wanita dan gho untuk pria sedang berkendara atau berjalan kaki di pinggir jalan. Hingga akhirnya aku dan Allura Gibson pun menemukan keramaian saat kami hampir sampai di Punakha Dzong.

"Allura, kita sudah sampai." Aku berkata kepada Allura Gibson setelah memarkirkan mobilku di area parkir yang ada di halaman Punakha Dzong.

Seolah baru tersadar dari lamunannya yang panjang, Allura Gibson menatapku dengan wajah kaget beberapa saat. Lalu ia menoleh ke sekitar area parkir yang cukup ramai oleh pengunjung dengan wajah kebingungan. Membuatku yang melihatnya sedikit berbeda dari yang biasanya merasa khawatir. Dengan suara rendah aku bertanya, "Allura, apa kamu baik-baik saja?"

Allura Gibson menganggukan kepala menanggapi ucapanku yang masih duduk di kursi driver. Dengan wajah kebingungan ia bertanya, "Sekarang kita ada dimana? Kenapa kita ada di sini, Joshua?"

Aku merasa kaget mendengar pertanyaannya yang seolah melupakan beberapa hal. Di dalam hati aku bertanya, ada apa dengannya? Kenapa ia tiba-tiba terlihat aneh?

"Joshua, kenapa kita ke tempat seperti ini?" Allura Gibson kembali bertanya saat aku terdiam menatapnya.

Dengan perasaan yang juga ikut kebingungan aku menjawab, "Bukankah dari awal kita berencana menyaksikan Punakha Tshechu? Sekarang kita sudah sampai Allura. Setelah memasuki bangunan itu, kita akan bisa menyaksikannya.'

"Owh... baiklah." Allura Gibson berkata sambil bergerak keluar mobil mendahuluiku.

Punakha Tshechu berlangsung setiap bulan Februari atau Maret setiap tahunnya. Lebih tepatnya pada bulan pertama tahun lunar dan diakhiri Serda yang selalu diselenggarakan di dalam Punakha Dzong, ibukota kuno Bhutan. Dari informasi yang aku dapat, keunikan dari Punakha Tshechu adalah satu-satunya festival yang memiliki prosesi penuh warna yang akan membawa penontonnya merasakan suasana perang melawan Tibet di abad ke-17. Membuatku yang merasa sangat penasaran tidak sabar untuk menyaksikannya.

Saat aku dan Allura Gibson berjalan menuju pintu masuk Punakha Dzong, semua orang yang berkunjung mengenakan gho dan kira yang indah, bahkan anak kecil pun didandani orang tuanya dengan rapi. Mereka semua terlihat begitu bersemangat, berbicara dan tertawa bersama seolah ini adalah hari yang menyenangkan dan membuat mereka bahagia. Selain itu suasana terlihat begitu meriah dengan atribut berwarna-warni dimana-mana. Membuatku yang baru pertama kali ke tempat ini untuk menyaksikannya, dapat merasakan apa yang mereka rasakan. Berbeda dengan Allura Gibson yang terlihat murung dan kebingungan.

Setelah kami berada di dalam kawasan Punakha Dzong, suasana terlihat semakin ramai. Kami berdua duduk di tempat yang belum ditempati oleh orang lain. Lalu menonton pertunjukan yang sudah dimulai sejak beberapa saat yang lalu. Para peserta mengenakan kostum spektakuler berwarna kuning cerah yang terbuat dari sutra dan borkat. Beberapa diantaranya dihiasi dengan pola dan simbol yang rumit. Sedangkan yang lainnya terlihat polos dengan beberapa accessories sebagai pelengkapnya. Mereka semua memperagakan berbagai gerakan yang menarik untuk menyampaikan berbagai maksud. Meski aku tidak mengetahui dengan jelas maksud dari berbagai gerakan mereka, namun aku cukup terhibur dengan itu semua.

"Joshua, apa kita bisa pergi sekarang?" Tiba-tiba Allura Gibson berbicara padaku setelah sekian lama diam.

Suara yang cukup gaduh di tengah keramaian, membuat pendengaranku sedikit terganggu. Sehingga aku yang sulit untuk mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Allura Gibson, berbalik bertanya dengan nada yang tinggi, "Allura, apa yang kamu katakan?"

Allura Gibson tidak menanggapi pertanyaanku. Ia menoleh ke sekitar dengan wajah panik seolah ada sesuatu yang membuatnya takut. Selain itu ia juga terlihat begitu gelisah sambil menyentuh kepalanya dengan kedua tangannya. Membuatku yang kini sedang menatapnya, merasa kebingungan dengan sikapnya yang semakin lama semakin aneh. Dengan penuh rasa penasaran aku bertanya, "Allura, ada apa denganmu?"

Dengan spontan Allura Gibson bangkit dari tempat duduknya. Ia terlihat semakin gelisah dan berjalan mondar-mandir beberapa langkah di depan penonton lainnya. Membuatku yang merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, dengan segera mengikutinya untuk menenangkannya. Dengan suara yang setengah berbisik aku bertanya, "Allura, ada apa denganmu? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?"

Allura Gibson masih tidak menanggapi pertanyaanku. Namun ia tiba-tiba berteriak dengan histeris di tengah keramaian penonton yang kami lewati, "AAAAAKH...! AAAAKH...! AKU BUKAN WANITA SIAL! SIAL! SIAL! SIAL! AAAAKH...!"

Seketika semua orang yang ada di sekitar kami merasa begitu kaget dan tercengang melihat Allura Gibson yang tiba-tiba berteriak. Begitu juga dengan diriku yang kini sedang bersamanya. Dalam waktu bersamaan rasa malu muncul dalam hatiku melihat sikapnya yang begitu aneh. Agar orang lain tidak berpikir yang tidak-tidak kepadanya, aku membawanya pergi sembari berkata, "Allura, tenanglah! Ada aku di sini. Tenanglah, Allura!"

Allura Gibson masih saja berteriak tanpa mempedulikan ucapanku. Ia berjalan dan berteriak sambil meronta-ronta di sampingku seolah tidak ingin ikut denganku. Aku yang tidak ingin hal buruk terjadi padanya masih terus mencoba untuk menenangkannya. Meski semua orang yang kami lewati menatap kami dengan tatapan aneh, aku terus membawanya pergi keluar dari Punakha Dzong tanpa mempedulikan berbagai tatapan yang penuh tanda tanya itu. Dan saat kami telah sampai di mobil dan jauh dari keramaian, Allura Gibson perlahan-lahan menjadi tenang. Membuatku yang terus memperhatikannya dari awal kami pergi hingga kini, merasa ada yang tidak beres dengannya.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Allura? Kenapa ia tiba-tiba seperti orang stress? Kenapa ia terlihat begitu panik di depan orang banyak? Kenapa ia tiba-tiba depresi padahal sebelum kemari ia terlihat baik-baik saja? Apakah ini pengaruh hormon kehamilannya? Tidak, itu tidak mungkin. Sepertinya yang baru saja terjadi tidak ada kaitannya dengan kehamilan. Apakah ada sesuatu yang salah dengan dirinya? Apakah ini ada kaitannya dengan obat dan vitamin yang akhir-akhir ini ia konsumsi? ucapku membatin.

Saat aku tengah bertanya-tanya dalam hatiku tentang apa yang sedang terjadi, Allura Gibson yang telah duduk di kursi penumpang depan masih terlihat begitu depresi. Meski ia tidak lagi berteriak histeris seperti tadi, namun aku yang telah duduk di kursi driver dapat melihat ketakutan di wajahnya. Selain itu, ia juga meneteskan air mata yang begitu deras seolah sedang meluapkan kesedihannya. Membuatku yang merasa begitu iba, memeluknya dari samping sembari berkata, "Allura, jangan menangis lagi. Ada aku di sini. Aku akan selalu bersamamu apa pun yang terjadi. Tenangkan dirimu. Semua akan baik-baik saja."