IM.06 BUAH STRAWBERRY
ALLURA GIBSON
Sudah lebih dari satu bulan aku berada di Thimphu ini. Menjadi seorang wanita asing yang berusaha bertahan hidup di negara orang dengan bantuan seorang teman baik. Meski masih banyak luka di hatiku yang hingga kini belum sembuh, namun aku berusaha untuk tetap tegar. Segala kenangan indah di masa lalu masih melekat jelas dalam ingatanku. Serta kata-kata yang menyakitkan itu masih terngiang jelas di telingaku. Aku sudah berusaha untuk melupakan kesedihan masa lalu saat aku memulai lembaran baru dan hidup di Bhutan ini. Namun tetap saja aku tidak bisa melupakan seorang Albert Ma dan Adrian Ma yang merupakan keluargaku.
Di saat Joshua pergi keluar untuk bekerja dan meninggalkan aku sendirian di rumah, aku selalu merindu berbagai hal yang aku lakukan di masa lalu. Aku rindu suasana kantor, aku rindu suasana pusat perbelanjaan, aku rindu suasana pantai, dan aku rindu suasana kota Singapore yang tidak pernah tidur. Selain itu juga merindukan moment saat menjadi seorang ibu untuk Adrian Ma. Aku merindukan suaranya yang renyah dan gelak tawanya yang memeriahkan suasana. Aku juga merindukan berbagai moment yang selalu aku habiskan bersamanya. Setelah sekian lama aku meminta bantuan dari Joshua untuk mencari tahu keberadaanya, hingga kini aku belum mendapatkan berita tentangnya.
Terkadang aku merindukan berbagai hal tentang Albert Ma. Aku merindukan suaranya yang begitu menenangkan, aku merindukan pelukannya yang hangat, dan aku merindukan berbagai moment indah saat bersamanya. Namun sayang, rasa rindu itu hilang seketika saat aku teringat berbagai kata kasar yang pernah ia ucapkan kepadaku. 'Wanita Sial', dua kata yang mampu meruntuhkan berbagai perasaan baikku terhadapnya. Apakah aku masih mencintainya? Jika diperiksa hingga ke relung hatiku, mungkin rasa cinta itu masih ada. Namun rasa itu tertimbun dalam di dasar hatiku oleh ucapan dari lidah tak bertulang. Hingga akhirnya aku memilih untuk tetap di sini dan menjauh dari kehidupannya daripada kembali pulang.
Selama tinggal di Thimphu ini, aku sangat jarang keluar dari rumah untuk jalan-jalan. Kalaupun aku pergi keluar, itu hanya untuk menepis rasa bosan dengan berkeliling kota menggunakan mobil bersama Joshua. Aku tidak pernah pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli berbagai barang. Karena semua kebutuhanku dan rumah tangga selalu dilengkapi oleh Joshua. Membuatku yang selama ini telah dibantu olehnya merasa telah banyak berhutang budi padanya.
Andai saja aku tidak pergi dari Singapore dan meninggalkan kehidupanku dulu, pastinya aku tidak akan berada di posisi ini. Aku pergi ke Bhutan ini berkat bantuan Joshua yang begitu baik padaku. Sehingga aku tidak memiliki uang sepersen pun di dompetku. Kalau pun ada beberapa kartu tanpa limit yang bisa aku gunakan, aku tidak akan menggunakannya dan memilih untuk menyimpannya. Karena menggunakannya akan membuat Albert Ma mengetahui keberadaanku. Aku tidak tahu pasti apakah ia masih memikirkanku atau mencariku hingga kini. Namun aku yang tidak ingin ditemukan oleh siapapun di masa laluku dan juga keluargaku, tidak berpikir untuk pulang. Itu akan membuatku jauh lebih tenang daripada harus bertemu dengan pria yang telah menghancurkan hatiku.
Terlalu lama berada di rumah dan hanya berkeliling kota di beberapa kesempatan, membuatku yang sudah mulai bosan ingin menikmati suasana yang berbeda. Untungnya hari ini Joshua libur bekerja. Sehingga ia yang mengerti dengan suasana hatiku, mengajakku untuk menikmati suasana perayaan di pusat kota Thimpu hari ini. Suasana yang katanya sangat menyenangkan dan tidak pernah aku temukan saat berada di Singapore.
"Joshua, kamu ingin membawaku kemana?" Aku bertanya kepada Joshua yang sedang duduk di sampingku sambil mengendarau mobilnya.
Ia menoleh ke arahku sejenak untuk tersenyum, lalu kembali menatap lurus ke depan sembari menjawab, "Aku ingin membawamu ke Punakha, Allura."
"Punakha?"
"Ya, Punakha."
"Dimana itu? Apakah jauh? Kamu harus ingat bahwa aku sedang hamil muda, Joshua. Aku belum diizinkan untuk perjalanan jauh."
"Aku rasa tidak terlalu jauh, Allura. Hanya sekitar 72 kilometer dari ibukota Thimpu. Dulunya Punakha adalah ibukota Bhutan sebelum dipindahkan ke Thimphu."
"Memangya ada apa di sana? Apakah ada hal yang menarik?"
"Kita akan menonton Punakha Tshechu."
Dengan wajah penasaran aku kembali bertanya, "Apa itu, Joshua?"
"Sebuah festival di kota Punakha yang selalu diadakan pada bulan Februari atau Maret setiap tahunnya."
"Apakah festival itu menarik?"
Sambil terus mengendarai mobilnya, Joshua menjawab, "Aku belum tahu pasti apakah Punakha Tshechu itu menarik atau tidak. Tapi beberapa karyawanku yang berasal dari sana, mengatakan kalau festival itu sangat menarik hingga sayang untuk dilewatkan. Kamu tidak perlu khawatir, Allura. Aku akan mengendarai mobil dengan baik agar perjalanan kita baik-baik saja. Aku mengajakmu pergi karena merasa kasihan melihatmu yang masih saja murung setelah cukup lama di Bhutan ini bersamaku. Aku memang tidak tahu pasti apa yang ada di dalam pikiranmu atau apa yang membuatmu masih murung. Tapi setidaknya aku ingin kamu merasakan sedikit kebahagiaan saat di luar rumah. Selalu mengurung diri di rumah akan mempengaruhi kesehatan mentalmu."
Bagaimana aku bisa bahagia jika aku belum bertemu dengan putraku, ucapku membatin.
Saat mobil yang kami tumpangi melewati sebuah supermarket, Joshua memutar stir mobilnya ke area pakir supermarket tersebut lalu menghentikannya. Sambil melepaskan sabuk pengaman ia bertanya, "Allura, apa kamu ingin membeli sesuatu? Aku akan turun sebentar dan masuk ke dalam supermarket itu untuk berbelanja. Aku ingin membeli beberapa camilan untuk kita berdua selama perjalanan."
"Aku ingin buah strawberry dan beberapa makanan rasa strawberry, Joshua."
Joshua tertegun sejenak menatapku yang masih duduk di kursi penumpang depan. Kemudian dengan suara rendah ia bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba ingin makan strawberry, Allura. Biasanya kamu akan menghidari berbagai makanan berbahan strawberry."
"Tidak tahu kenapa, tiba-tiba aku ingin memakan strawberry. Mungkin aku merindukan Adrian, Joshua."
"Baiklah. Aku akan membelikannya untukmu. Tunggu aku di dalam mobil saja. Aku akan segera kembali."
"En..."
Setelah menanggapi ucapan Joshua, aku terus memperhatikannya yang berjalan semakin jauh. Dalam waktu bersamaan aku teringat pada Alberta Ma dan juga Adrian Ma. Dua orang laki-laki yang selama ini sangat berarti dalam hidupku yang memiliki banyak kesamaan dalam berbagai hal. Albert Ma dan Adrian Ma tidak hanya memiliki kesamaan lesung pipi di salah satu pipi mereka masing-masing. Tapi mereka berdua juga memiliki kesamaan penyakit alergi terhadap buah strawberry. Dari awal aku mengetahui bahwa putraku itu memiliki penyakit yang tidak biasa itu, hingga aku kehilangannya aku tidak pernah lagi memakan buah strawberry. Namun entah kenapa rasa rinduku yang tak tertahankan lagi kepada putraku yang hilang itu, membuatku tiba-tiba ingin memakan buah yang dilarang untuknya dan suamiku.
Saat aku duduk terpaku dan larut dalam pemikiranku sendiri, tiba-tiba pintu mobil kembali terbuka. Joshua masuk ke dalam mobil dengan sekantong makanan di tangannya. Kemudian ia memberikan kantong makanan itu kepadaku sembari berkata, "Allura, semua makanan yang ada di dalam itu rasa strawberry. Kamu bisa memakannya hingga puas."
"Apa kamu sedang marah kepadaku?"
Joshua menggelengkan kepalanya sembari menjawab, "Tidak. Aku tidak marah. Memangnya kenapa, Allura?"
Aku tersenyum tipis kepadanya dan menjawab, "Kamu membeli terlalu banyak. Mana belanjaanmu, Joshua? Apa kamu tidak membeli makanan untukmu sendiri?"
"Tidak. Aku tidak memiliki pantangan dalam hal makan. Jadi aku bisa memakan makanan yang ada di dalam kantong belanjaan itu."
"Baiklah. Kita akan berbagi makanan." Aku berkata sambil tersenyum pada Joshua yang sedang memasang sabuk pengaman di sampingku.
Aku yang sudah tidak sabar untuk mencicipi buah strawberry dengan segera membuka kantong belanjaan yang masih di tanganku. Saat Joshua pergi berbelanja tadi, aku merasa sangat ingin mencicipi buah yang dilarang di keluargaku itu. Namun setalah buah itu ada di dalam genggamanku, aku malah merasa sedih. Dalam waktu bersamaan rasa rinduku kepada Adrian Ma semakin bertambah. Membuatku yang hingga kini belum mendapatkan kabar tentangnya pun bertanya, "Joshua, apa kamu sudah mendepatkan kabar tentang Adrian?"
"Maaf, Allura. Aku belum mendapatkan kabar tentang Adrian. Apa kamu merindukannya?"
"Ya, aku sangat merindukannya. Aku tahu ini adalah buah yang tidak boleh ia makan. Tapi melihat buah strawberry ini membuatku teringat padanya dan merindukannya. Apakah Albert tidak mencari keberadaannya?"
Joshua terdiam sejenak mendengar pertanyaanku yang melibatkan nama Albert Ma. Aku tahu jika ia kurang dengan nama itu. Namun ia terlihat berusaha untuk tetap tenang dan menjawab pertanyaanku, "Aku tidak tahu, Allura. Bukankah kamu sendiri tahu bahwa aku tidak pernah lagi berkomunkasi dengannya? Kalaupun ia pernah menghubungiku sebulan yang lalu dan menananyakan keberadaanmu, aku mengatakan bahwa aku tidak tahu. Jadi aku tidak tahu apakah ia masih mencari keberadaan Adrian atau tidak. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan tetap mencari tahu keberadaan Adrian dan memberi tahumu hasilnya."
"Terima kasih, Joshua. Kamu memang teman terbaikku. Maaf jika aku selalu merepotkanmu dan menyusahkanmu."
"Aku tidak merasa direpotkan apalagi disusahkan olehmu." Joshua yang telah duduk dengan benar dan hendak mengendarai mobilnya keluar area parkir, tiba-tiba berhenti bergerak dan menoleh ke arahku. Dengan wajah datar ia kembali bersuara, "Allura, hari aku belum melihat kamu minum obat. Apa kamu telah meminum obatmu?"
"Belum. Karena sibuk bersiap-siap, aku lupa meminumnya."
"Kalau begitu, minumlah obat dan vitaminmu sekarang. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu dan calon bayimu. Kita akan berangkat setelah kamu meminumnya."
"Oke. Oh iya, Joshua. Aku merasa ada yang aneh dengan obat dan vitamin yang aku minum ini."
"Maksudmu?"
"Setelah aku meminum obat dan vitamin ini, aku selalu merasakan ada emosional yang tidak terkendali. Tiba-tiba aku merasa sedih dan marah yang begitu hebat. Aku juga mengalami stress yang begitu berat saat aku mengingat beberapa hal tentang masa lalu. Bahkan setiap kali kamu pergi bekerja, aku selalu menangis sendirian. Dan itu berlangsung cukup lama. Untungnya saat kamu pulang, emosi yang berlebihan itu mereda."
"Kenapa kamu tidak memberi tahuku tentang itu?"
"Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Selagi aku bisa mengatasinya sendiri, aku tidak akan merepotkanmu. Lagi pula saat ini aku sedang hamil. Mungkin itu dikarenakan homon kehamilan, jadi emosiku tidak stabil."
"Syukurlah. Semoga semuanya baik-baik saja."
"Ya, semoga saja semua berjalan dengan lancar hingga bayi ini lahir."
"Sekarang minumlah obat dan vitaminnya. Kita akan berangkat setelah itu."
Saat aku hendak meminum obat dan vitaminku, tiba-tiba ponsel Joshua berbunyi. Ia menatap layar ponselnya beberapa saat, lalu membuka sabuk pengamannya sembari berkata, "Allura, tunggu sebentar. Aku harus menjawab panggilan telepon ini terlebih dahulu."
"Baiklah."