Di perjalanan menuju Kastil Frankenstein, dengan Arliz sebagai pemandu jalannya.
Kira-kira sudah 3 jam sejak kami berangkat, dan selama itulah mereka masih asik juga mengobrol berdua. Entah apa yang mereka bicarakan sampai bisa asik mengobrol selama itu.
Bosan memperhatikan mereka berdua, aku melihat-lihat sekeliling yang terlalu sepi sejak kami berangkat.
("Rasanya aneh kalau tidak ada satupun monster yang muncul, apa mereka sedang hibernasi atau semacamnya?")
Walau sudah lama tinggal di Hutan Terlarang, aku tidak mengenali tempat ini. Aku ingin bertemu Black walau sebentar, kalau saja rutenya searah untuk menceritakan dan memamerkan banyak hal padanya.
("Aku ingin tahu bagaimana ekspresinya kalau aku kembali membawa 2 gadis cantik bersamaku, hehehe.")
Arliz yang sedang asyik mengobrol dengan Zoker, tiba-tiba saja melihatku yang sedang senyam-senyum sendiri memikirkan respon Black.
"Kenapa kau tersenyum sendiri begitu? Pasti sedang memikirkan hal mesum, kan?!" Ucapnya mengoceh sendiri
("Entah kenapa mendengar ocehannya membuatku sedikit kesal.")
"Bukan urusanmu." Balasku tak peduli
Zoker yang melihat kami mulai bertengkar lagi, mulai mencoba menengahi.
"Su-Sudahlah kalian berdua, mari kita membahas banyak hal bersama saja, dengan begitu perjalanan panjang pun akan terasa singkat." Ajaknya dengan semangat
"Ngomong-ngomong soal membahas sesuatu, aku masih penasaran dengan kemampuan Leon yang bisa membuat pedang ilusi saat bertarung denganku." Tanyaku
"Oh itu."
"Itu adalah sihir." Balas Arliz
("Sudah kuduga.")
"Apa dia pengguna Crown juga?" tanyaku lagi
"Tidak, dia tidak punya Crown." Jawabnya
…
"Lagipula, orang yang bisa menggunakan sihir dan Crown secara bersamaan itu sangat jarang ada, lebih langka dari pengguna Crown." Lanjutnya setelah diam sebentar
"Mmm." Responku mengangguk-angguk seolah mengerti
"Dan juga kau dan Leon sepertinya sangat dekat, apa sebenarnya hubunganmu dengannya?" tanyaku lagi mulai merasa jadi wartawan
"Dia itu adikku, kami kembar." Jawabnya
….
…
*syuu〜*
Aku menoleh ke Zoker.
"Bisakah kau tenang sedikit Zoker? Kau tidak lihat aku sedang menanyakan hal penting padanya?!"
"E-Ehh? Tapi, tuan.. aku.." jawabnya bingung
"Maaf aku tidak dengar, apa tadi kau bilang?" tanyaku lagi memastikan
"Sudah kubilang dia itu adikku, kami adalah anak kembar." Jawabnya lagi
*!!*
Langkahku terhenti mendengar jawabannya.
"Tidak.. aku pasti salah dengar, kan?? Ya, kan?!" tanyaku ke diri sendiri
"Segitu tidak percayanya'kah kau kalau dia itu adikku?!" protesnya melihat responku
"Habis.. lihat saja tubuh dan sifatnya yang.."
"Besar, kekar, tinggi, keras kepala, laki-laki, dan ..." jelasku menyebutkannya membuka jari satu persatu
"Bodoh."
"Jangan menyebutnya bodoh!" teriaknya tidak terima
"Y-Ya, dia memang bodoh sih.. tapi aku tidak ingin mendengar itu darimu." Lanjutnya malah jadi setuju
"Maksudku, biasanya sifat anak kembar itu berlawanan, tapi kau malah tidak ada be—"
*Swing〜*
Selagi aku bicara, dia mengayunkan tangannya meluncurkan pukulannya padaku, dan..
*Tap!!*
Dengan sigap Zoker memegang tangannya Arliz membatalkan pukulannya.
("Kecepatan serta gerakan ini..")
Dibuka matanya pelan..
("Tidak salah lagi.")
Terlihat matanya berubah diikuti senyum khasnya, 'dia' yang satunya sudah kembali.
"Z-Zoker?? Bukan.." Ucap Arliz langsung sadar dengan perubahan sikap Zoker
"Siapa kau?" lanjutnya bertanya
"Harusnya aku yang bertanya." Balasnya membantah
"Kau yang siapa? Kenapa bisa bersama tuanku? Sejak kapan kau bersama tuanku? Kenapa kau mencoba memukul tuanku dengan tangan kerasmu itu?" lanjutnya menghujaninya dengan pertanyaan
("Keras?")
Aku baru menyadari kalau tangannya Arliz telah berubah menjadi berlian, mirip seperti Black, tapi warnanya kristalnya berbeda.
("Kalau aku terpukul dengan itu, pasti rasanya sakit sekali.")
"Hei lepaskan! Cepat lepaskan tanganmu!" Ucap Arliz panik
"Tidak, tidak akan.. Jawab pertanyaanku dulu."
Zoker malah makin menantang dan mengeraskan cengkramannya.
*Tess .. tess ..*
Darah segar mengalir dari cengkramannya.
"Apa ini? Dipegangi seperti ini saja sudah membuatmu kesakitan hingga meneteskan darah, hah?" tanya Zoker mengintimidasi
"BODOH!!"
"Itu bukan darahku, itu darahmu!!" teriak Arliz
"Hah?" Zoker melepas cengkraman melihat telapak tangannya tak henti mengucurkan darah
"Pfft.."
("Aku tahu aku tidak seharusnya tertawa, tapi dia ini benar-benar..")
Arliz menonaktifkan Crownnya dan segera mengeluarkan perban dari tasnya membalut tangan Zoker yang berdarah-darah karena mencengkram kuat tangan berliannya.
"Duh, apa sih yang kau pikirkan? Mencoba menghancurkan berlian dengan tangan kosong?" Ucap Arliz memarahi selagi membalut lukanya
"Heh, berisik! Kau masih belum menjawab pertanyaanku." Balas Zoker tetap sombong ke orang yang sedang mengobatinya
*Dugg!*
Kupukul kepalanya agar sadar diri.
"Diam, kau yang salah." Kataku mengingatkan
"Kau juga salah!" bentak Arliz padaku
"Ehh.. Ah iya, maaf." Ucapku menyesal
"Begitu juga denganmu, siapa kau sebenarnya? Zoker yang kukenal tidak seperti ini." Tegas Arliz menanyakan yang sebenarnya
"Aku sudah bilang kalau Zoker itu punya Crown, kan?" tanyaku balik
"Ya." Jawabnya
"Inilah dia, Crownnya yang menghilang beberapa waktu lalu." Jelasku menunjukkan
"Hah?" balasnya menatapku seperti orang bodoh
"Dengar ya sapi setengah rubah, singkatnya aku ini adalah bagian dari dirinya yang lain, yang disimpan sebagai Crown-nya." Jelas Zoker ke Arliz
"S-Sapi?" respon Arliz menanyakan maksudnya
"Maksudku ini!" Zoker mengangkat-angkat 'milik'nya Arliz
"Kyaa!! Hentikan!!" Dia histeris menepis Zoker yang tiba-tiba meraba dadanya
("Apa ini?! Pemandangan indah macam apa ini?!")
Setelah dilecehkan Zoker, Arliz berlari langsung menjauh bersembunyi di balik pohon.
Dengan muka merah padam, dia mengintip sedikit.
"KALIAN BERDUA MESUM!!" teriaknya
("Heh?! Meski aku tidak melakukan apapun?!")
Sedangkan Zoker tidak menghiraukannya dan masih syok melihat kedua telapak tangannya dan menggerakkan jari-jarinya.
"Be-.. Besar sekali, tuan." Ucapnya tiba-tiba heboh
"Tanganku sampai tenggelam di dalamnya." lanjutnya sangat terkesan melihat ke arahku
"Dan kelembutannya.."
"Mwaaaaaaahaaaaaaaa!!!"
Arliz mulai menangis keras dari balik pohon
"Cukup, cukup Zoker! Kasihan Ar—"
"Zeddd!!! Aku sudah tidak bisa menikah… Mwaaaaaahaaaaaaaa!!"
("Zed? Siapa lagi itu?")
Kepalaku pusing, pusing dengan tangisan Arliz yang seperti anak kecil. Dan Zoker yang syok sambil bicara tidak jelas setelah meraba-raba miliknya Arliz.
("Duh, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan kalau seperti ini terus.")
Aku memegangi kepala menunduk karena tidak tahu harus berbuat apa untuk membuat mereka normal kembali. Karena itu aku hanya diam duduk sampai semuanya reda.
~~~
Sekarang sudah hampir malam, dan mereka berdua sudah mulai tenang. Sekarang mereka duduk bersebelahan menunduk menyesal memikirkan yang terjadi seharian ini.
"Kalian ini."
Aku berdiri protes.
"Kalian tahu berapa banyak waktu yang terbuang karena kalian, hah?!"
"Kita sedang menuju Kastil Frankenstein, F-R-A-N-K-E-N-S-T-E-I-N!" sengajaku eja memperjelas
"Dan kau!" tegasku menunjuk Arliz
"Kau harusnya menuntun kami agar lebih cepat sampai kesana, bukannya menghambat seperti ini."
"Maaf.." balasnya
*sigh*
Kutarik napas panjang melihat ke langit luas menenangkan diri.
"Aku senang Crown-mu sudah kembali, tapi kau kembali disaat yang kurang tepat dan langsung mengacaukan semuanya."
"Lebih baik kau bertukar dulu sampai kita tiba." Suruhku ke Zoker
"Sudah hampir gelap, kita jalan lagi sebentar hingga malam tiba."
"Dan kalau belum sampai juga, kita cari tempat yang cocok untuk istirahat." Jelasku
"Baik, tuan."
"Baik."
Jawab mereka serempak.
~~~
Sekarang Arliz jalan duluan memimpin, sedangkan kami mengikutinya di belakang.
"Masih jauhkah, Arliz?" tanyaku
"Sejak banyak yang berubah, dan dari jarak serta waktu yang sudah kita lalui, seharusnya sudah dekat." Jawabnya lebih sopan dibanding sebelumnya
("Aku jadi khawatir dengan dia yang lebih tenang seperti ini.")
"Hei, apa aku tadi sedikit berlebihan memarahi kalian?" bisikku ke Zoker
"Menurutku tidak, tuan."
"Kalau hanya begitu saja, menurutku masih wajar." Balasnya ikut berbisik
("Meski dia jawab begitu, tetap saja aku merasa aneh dengannya yang berubah drastis jadi penurut seperti itu.")
"Atau mungkin, karena dia tidak biasa dimarahi, tuan."
"Dan tuan adalah orang pertama yang sering berdebat serta memarahi dia." Lanjutnya berbisik
"Ahh, kalau begitu aku harus minta maaf ya?" tanyaku meminta pendapatnya
"Umm." Balasnya mengangguk semangat
("Aku merasa bersalah sudah membuatnya jadi seperti itu, sekarang aku harus minta maaf.")
"Arliz." Panggilku
"Ya." Balasnya tetap berjalan masih menghadap ke depan
"Aku minta maaf kalau sudah membuatmu merasa tak enak, tapi aku tidak bersungguh-sungguh memarahi kalian."
"Sebenarnya, bukan itu yang menggangguku.." balasnya
"Aku bisa mengerti sifatnya Zoker yang bisa berganti karena Crown-nya." Lanjutnya berhenti melangkah berbalik melihatku
"Tapi kau, sifatmu yang mudah sekali berubah-ubah inilah yang menurutku lebih aneh darinya." Ucapnya menatap dan melangkah mendekat menunjuk wajahku
"Sifatku berubah-ubah?? Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti
"Sekarang giliranku membalas apa yang kau katakan padaku kemarin."
"Ehm."
"Zoker mungkin tidak menyadarinya karena terlalu dekat dan selalu ada di sisimu, jadi aku yang akan mengatakannya."
("Apa yang sebenarnya ingin dia bicarakan?")
"Kau ini labil." Ucapnya tegasnya
..
*??*
("Labil?")
"Pertama kali bertemu kau bersikap dingin, tak lama kemudian menjadi hangat dan baik padaku."
"Setelah itu jadi tegas menasihati dan keras kepala memarahiku."
"Dan sekarang."
"Sekarang kau jadi lebih hangat dan lembut padaku."
"Yang mana dirimu yang sebenarnya?!"
Aku tidak bisa berkata apa-apa mendengarnya berterus terang tentangku.
("Seperti itukah diriku? Di mata orang lain?")
"Aku.."
Kukepalkan tanganku yang gemetaran ragu, dan dengan yakin kukatakan…
"Itu semua adalah bagian dari diriku, dan itu sudah terbentuk dalam diriku sejak lama."
"Jauh sebelum kau mengenalku, jauh sebelum aku bertemu dengan Zoker."
("Karena semua itu terbentuk dari duniaku yang sebelumnya.")
"Terlalu sering memperhatikan tingkah laku orang lain, dan selalu bersikap sesuai dengan keadaan kini membuatku buta dengan diriku sendiri."
"Hal yang bahkan Zoker pun belum tahu tentang diri dan masa laluku, akan kuceritakan semuanya saat semua ini selesai."
Dia diam tidak menjawab sepatah katapun mendengar jawabanku, dan juga terlihat matanya dipenuhi rasa kagum dan kaget seakan jawabanku tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
Lalu dia menundukkan kepala, serta tangannya yang gemetaran kecil.
"Kau .. tidak menyangkalnya .. sedikitpun .."
Diangkat kepalanya melihatku dan tersenyum.
"Keren sekali." Ucapnya dengan senyum hangat melelehkan hati
*pukk*
Kutepuk pundaknya membalas dengan senyum juga.
"Karena itulah, kau juga harus menyadari kekuranganmu dan menerimanya."
"Ubahlah kelemahan itu jadi kekuatanmu, bukan menyangkalnya." Kataku balik menasihati
Selagi kami berdua mengobrol dari hati ke hati, terasa aura membunuh mencekam dekat kami.
"Sebenarnya, aku tidak ingin membantah perintah tuanku.."
"Tapi kalau aku biarkan lebih jauh, bisa-bisa kau jatuh hati pada tuanku yang kelewat baik ini." Ucap Zoker tersenyum menarik memeluk tanganku
("Senyumannya memiliki maksud tersendiri dibanding milik Arliz, dan dialah sumber aura mengerikannya.")
"Kau terlambat, aku sudah menyukainya sekarang." Balasnya meledek Zoker yang masih dalam mode gilanya
"HAH!?"
*Szingg*
Zoker langsung mendidih menarik sabitnya mendengar pernyataan Arliz.
("Dengan berani dia mengibarkan bendera perang terang-terangan.")
"Tenang saja."
"Hanya sebatas suka kok, lagi pula aku sudah punya orang yang kucintai." Tambahnya
*sigh*
("Syukurlah.")
("Kalau saja dia benar-benar menyatakan perasaannya padaku, pasti akan ada pertumpahan darah.")
"Baguslah kalau begitu, karena tuan adalah milikku yang tidak akan kuserahkan pada siapa pu—"
*Dugg!*
Kupukul kepalanya menghentikannya ocehannya.
"Sejak kapan aku jadi milikmu? Kau adalah milikku, bukan sebaliknya." Potongku
"Aku.. milikmu.. tuan..?" Balasnya dengan mata berbinar-binar
"Kyaaaa!!!" responnya heboh sendiri
"BERISIK!"
"Sekarang bertukarlah dan jangan keluar lagi sampai kusuruh." Suruhku menegaskan
"Hehehe〜"
Tiba-tiba dia tersenyum licik mendengarnya.
"Apa aku akan dihukum lagi kalau melanggar〜?" tanyanya mengungkit masa lalu
("Sial, dia malah jadi semangat.")
Dan tiba-tiba Arliz malu-malu mulai berbicara.
"Maaf juga, sudah menunjukkan bagian memalukanku tadi." Ucapnya malu menyatukan tangan memainkan ujung jarinya
"Memalukan??" tanyaku bingung sendiri menurunkan pandangan ke dadanya
"B-Bukan memalukan yang itu! Kalau yang itu aku belum pernah menunjukkannya pada siapapun!!" bantahnya menyadarkanku
"O-Oh.." balasku mengiyakan
"Maksudku, aku membiarkanmu melihat dan mendengarku menangis seperti anak kecil." Lanjutnya
*pyuk*
Aku mengangguk-angguk memaklumi kesalahpahaman, dan tanpa sadar Zoker menarik sikut kiriku hingga menyentuh dadanya.
"Meski sudah punya yang satu ini, kau masih melirik ke wanita lain…?" tanyanya dengan senyum nakalnya
"Kau memang tuanku yang mesum, ehe." Lanjutnya senang sekali menggodaku
("Nih cewek..")
("Semua usahaku hancur sia-sia karena ulahnya.")
"Kau lihat, kan?! Dialah yang duluan melakukan hal seperti ini! Aku tidak .."
Seolah terbiasa, Arliz hanya diam melihat dimana tangan kiriku berada.
"Tidak apa, aku juga akan belajar menerimamu apa adanya."
"Dalam hal mesum sekalipun." Lanjutnya memaksakan tersenyum
Kututupi wajahku dengan tangan.
("Tamat sudah, dia sudah menganggapku sebagai makhluk mesum sepenuhnya.")
Matahari mulai bergantian dengan bulan, dan kami masih belum sampai ke kastil tujuan kami. Kami harus segera mencari tempat untuk istirahat malam ini, sebelum para monster mulai bergerak mencari mangsa.
~~~
*Kresek .. kresek ..*
Sambil berjalan, kami menyingkirkan rerumputan lebat menghalangi. Meski seingatku harusnya semua dedaunan dan rumput sekalipun akan hilang pada malam hari kalau di Hutan Terlarang, tapi anehnya rumput-rumput tingginya masih ada meski sudah segelap ini.
"Kita sudah dekat." Ucap Arliz memberitahu
Tidak lama, mulai terlihat cahaya bulan terang menyinari sebuah tanah lapang.
"Lihat, tempat itu mungkin cocok untuk kita bermalam." Kataku menunjuk tanah lapangnya
*set!*
Arliz mengisyaratkan kami untuk berhenti.
"Fokus dan rasakan aura yang memancar dari tempat itu."
"Aura? Aura ap—"
*!!*
Baru terasa auranya tepat setelah Arliz mengatakannya.
("Perasaan tidak enak apa ini?")
"Tuan." Panggil Zoker
Kumenoleh ke arahnya.
"A-Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi rasanya tubuhku gemetar ketakutan." Jelasnya tidak tenang
"Karena sudah sampai sini, bertukarlah dengan Crown-mu." Suruhku
"Baik.., tuan."
"Kita sudah sampai, disanalah kastilnya." Kata Arliz menunjuk tempat yang disinari cahaya bulannya
Aku melihat ke arah yang dia tunjukkan.
("Tidak ada apa-apa disana.")
"Kastilnya tembus pandang atau gimana?" tanyaku tidak mengerti
Dia menajamkan matanya melihat bulan diatas.
"Belum, kastilnya belum terlihat sampai bulan tepat berada diatasnya." Ujarnya
"Meski begitu kastilnya tetap ada disana, tapi kita tidak akan bisa melihat bentuk fisiknya sekarang." Lanjutnya
"Sudahlah, masuk saja tuan."
"Yang namanya pintu gerbang sudah pasti ada di depan, kan?" Ajak Zoker yang sudah berganti
Aku tidak menghiraukan perkataannya dan berpikir sendiri.
("Percuma masuk ke tempat yang kita sendiri tidak tahu struktur bangunannya bagaimana, terlebih kita tidak tahu ada atau tidaknya jebakan disana.")
"Kita tunggu sampai kastilnya sendiri terlihat, baru kita maju." Kataku menentukan
"Baik." Balas Arliz
"Menunggu itu membosankan, tuan." Balas yang satunya
"Diam kau." Balasku membantah ajakan gila Zoker
("Menurutku tidak masalah untuk menunggu sebentar, dari pada kita maju tanpa tahu apa yang menunggu disana.")
…
Perlahan mulai terlihat bentuk bangunannya saat bulan tepat di atasnya. Mulai dari atap, menara, hingga gerbangnya yang tinggi sekali mulai terlihat bagai sihir. Terakhir, muncullah tembok besar dari akar-akar tanaman yang menjulang tinggi. Dan terlihat kecil pintu masuk ke tempat penuh tanaman itu.
"Gerbangnya ada dua lapis?" tanyaku bicara sendiri
"Ya, dan ada juga sihir ilusi yang menyelimuti kastil itu." Tambah Arliz
("Mungkin itulah kenapa kastilnya dijuluki Benteng Tak Tertembus, ya?")
Semua halangan yang ada, membuatku semakin semangat ingin segera masuk dan melihat isi dalam kastilnya.
"Ayo." Ajakku
"Baik." Jawab mereka mengikuti
Setelah terlihat, kami mulai menghampiri tembok akar tanaman yang sepertinya akan menjadi halangan pertama kami sebelum masuk ke kastilnya.