Sabitnya Zoker, senjata yang entah bagaimana didapatkannya dari Dewa Perang Berlin setelah selesai sayembara penerus kerajaan. Mempunyai kekuatan tersembunyi yang sangat luar biasa kuat, meski pemiliknya sendiri tidak menyadari betapa mengerikan senjata miliknya. Dan kini, senjata ini ada di tanganku.
*Deg… Deg…*
Terasa samar detak dari sabitnya yang tidak terlihat dari luar dan hanya bisa dirasakan dengan menyentuhnya langsung. Aku sendiri tidak yakin aku bisa menggunakannya, tapi saat ini tidak ada pilihan lain.
*Swing.. Swing…*
Kuayun-ayunkan sabitnya untuk menyesuaikan diri.
("Benar-benar terasa lebih.. bukan ringan, lebih ke..")
*Swing..*
("..tenang.")
Setelah merasa siap, kutantang lagi dia.
"Terima kasih sudah menunggu, sekarang aku sudah siap." Kataku bersiap
"Tidak peduli apapun senjatamu, tetap tidak akan bisa menangkis seranganku." Balasnya percaya diri siap menyerang
("Posisi kakinya kanannya yang kini menjinjit sedikit sungguh menggangguku, akan kutahan sebisa mungkin hingga selesai menganalisa tekniknya.")
*Swoooshh!!*
*!!*
"Gerakannya terlalu cepat! Mataku tidak bisa mengikutinya."
Kumanfaatkan jarak serang sabit yang lumayan luas untuk menghindari pertarungan jarak dekat sebisa mungkin, karena aku sudah pasti kalah kalau berhadapan langsung dengannya.
*Zringg!*
*Ctingg!*
*Zrargk*
*Dargg!!*
Kami saling menyerang satu sama lain, dan sesekali serangan kami meninggalkan goresan hingga menghancurkan tanah.
*grin*
"Kau masih bisa tersenyum dalam pertarungan sesengit ini?" ucapnya masih terus menebas mencoba mendekatiku
Semakin lama, aku merasa semakin bersemangat mengayunkan sabit, bahkan tanpa sadar aku tersenyum lebar menikmati pertarungan.
Aku mengayun, dan terus mengayunkannya hingga tanganku terasa bergerak bebas dengan sendirinya. Dengan pertarungan yang semakin sengit, aku bisa merasakan semua fungsi indraku semakin tajam setiap detiknya. Aku bahkan bisa melihat gerakannya yang sangat cepat itu, dan juga refleksku yang terus meningkat.
("Aku merasa seperti tidak sedang bertarung..")
*Ctangg!*
(".. ini lebih seperti..")
*Srangg!*
("… menari dengan bebas di udara.")
*Cting!!*
Kami melompat menjauh satu sama lain.
*Hosh.. hosh..*
Dia terlihat kelelahan setelah adu senjata tadi, dan anehnya aku tidak merasa lelah sedikitpun.
"Ada apa, rubah besar? Sudah merasa lelah? Ingin menyerah?" tanyaku meledek tanpa bisa menghilangkan senyum di wajahku
("Perasaan apa ini?? Kenapa hanya dengan bertarung bisa terasa senikmat ini?")
"Kau.. tidak merasakannya, ya?" Balasnya
*??*
"Hah? Merasakan apa?" tanyaku
"Lihat tubuhmu sendiri." Balasnya
"Apa yang sedang kau bicara—"
*!!*
Perkataanku terhenti melihat luka di sekujur tubuhku, dan juga bajuku yang sudah sangat compang-camping terkena sayatannya.
("Se-Sejak kapan luka ini..")
"Membuang rasa sakit untuk meningkatkan kemampuan fisik.."
"Kau pasti sudah gila." Ujarnya menjelaskan keadaanku
("Ini.. Ini pasti efek menggunakan sabit terkutuk terlalu lam—")
*DEG-DEG!! DEG-DEG!!*
*Nginnnnnnnnnggggggggggggg*
Mendadak semua jadi hening, aku tidak dapat mendengar apapun, dan juga pandanganku mulai kabur.
("Eh?! Apa ini??")
Sesaat sebelum pandanganku sepenuhnya gelap, dalam satu kedipan, langit berubah jadi hitam gelap dipenuhi asap tebal dan juga aku melihat tangan kananku yang sedang memegang sabit kini berubah jadi seperti sedang memegang kaki makhluk besar yang hanya terdiri dari tulang saja sedang berdiri di sebelahku.
("Makhluk apa ini?")
("Tengkoraknya mirip seperti…")
("Naga.")
Pandanganku terus menerus berganti antara memegang sabit dan kaki makhluk besar tadi seperti layar TV yang terus berganti dengan cepat.
("Pandanganku..")
Penglihatanku sudah gelap seutuhnya, dan terdengar suara lain dari dalam diriku.
「"Kau terlalu lemah, biar aku yang ambil alih sekarang." 」 ucapnya langsung ke dalam kepalaku
Setelah itu kesadaranku hilang sepenuhnya, dan aku tidak mengingat apa yang terjadi selanjutnya.
~~~
Kubuka mata perlahan bangun, dan hal yang pertama kali kulihat adalah dua pasang gunung dengan bentuknya yang indah menghalauku dari silau sinar matahari.
("Hmm, perfect.")
"Hiks.. Hiks.."
Perhatianku langsung teralihkan mendengar tangisan Zoker.
("Kenapa dia menangis, apa yang..")
Aku teringat apa yang sedang kulakukan sebelum jatuh hilang kesadaran. Aku lihat ke sisi satunya, ada Arliz sedang berusaha menghibur Zoker, mereka belum menyadari kalau aku sudah siuman.
Kugerakkan perlahan tanganku yang sedang erat digenggam Zoker agar dia tau aku sudah sadar.
*!!*
"Tuan!!" teriaknya segera memelukku
*dap!*
Mengingat tubuhku yang sebelumnya penuh luka, aku berpikir untuk menahan sakit karena pelukannya yang biasanya sangat erat, tapi..
("Eh?")
("Kenapa.. tidak sakit sama sekali.")
Kucoba bangun memeriksa luka tebasan di bahu kiri.
("Lukanya.. hilang.")
("Kejadian ini sama seperti dulu saat Zoker mengamuk, apa semua karena sabit itu?")
Aku bangun dan melihat keadaan sekitar.
"Apa.. yang sebenarnya sudah terjadi." Aku bertanya-tanya sendiri
Aku melihat ke Arliz.
"Kau pasti tahu.. apa yang terjadi setelah aku tak sadarkan diri." Tanyaku perlahan bangun
("Meski sebagian dari pertanyaanku sudah terjawab dari kondisi tempat bertarungku dengan Leon.")
*Bukk!*
Arliz yang terduduk diam, tiba-tiba memukul pahanya seperti meyakinkan sesuatu dan berdiri bangun.
"Kita bicarakan di penginapan, hal ini tidak boleh didengar oleh penduduk biasa." Ajaknya pergi
Aku baru menyadari kalau semua pandangan orang-orang tertuju padaku, mereka menatapku penuh rasa takut dengaku.
Tanpa membalas, aku mulai pergi dengan Zoker masih terlihat cemas menempel padaku sepanjang jalan.
("Ketidaktahuan itu sungguh… ")
("….menyebalkan.")
~~~
Kami sudah kembali ke penginapan, tepatnya di kamarku.
Suasana terasa begitu canggung sejak kejadian itu, kalau begini aku tidak tahu harus awali dari mana. Sampai Arliz mulai bicara.
"Jadi.. kau ini sebenarnya siapa?" tanyanya tanpa basa-basi batas antar pelanggan dan pelayan lagi
"Apa maksudmu?" balasku bertanya balik
"Kenapa kau bisa mengeluarkan aura mengerikan itu?" sambungnya mengabaikanku
"Hei, dengarkan aku dul—"
"Dan kau hampir saja menghancurkan—"
"Aku tidak mengerti apa yang—"
"HENTIKANN!!" teriak Zoker menengahi
Kami berdua langsung terdiam dari perdebatan tadi.
"Kumohon mengertilah Arliz, aku tahu perasaanmu saat ini, tapi tuanku juga tidak tahu apa yang telah terjadi." Bujuk Zoker mengusap punggung menenangkannya
"Jadi jelaskan secara perlahan, ya." Lanjutnya
*inhale*
Dia menarik napas panjang menenangkan diri.
"Baiklah, maaf."
"Ehm."
"Kau benar-benar tidak mengingatnya?" tanyanya lagi dari awal
"Iya, aku bahkan tidak ingat kapan tepatnya dan kenapa aku hilang kesadaran." Jawabku
"Jadi…"
"Setelah kau menyadari kalau tubuhmu penuh luka tebasan, kau mengeluarkan aura yang sama dengannya, Abaddon, naga iblis yang pernah mengamuk saat perang berkecamuk di ibukota dulu." Ujarnya
"Aku pernah ikut serta menghadapinya disana."
"Kekuatannya sangat mengerikan, itulah kenapa aku terpaksa ikut campur setelah kau berhasil menebas Leon sekali, jika tidak, dia pasti sudah mati."
("Tunggu, berarti tadi dia bisa mengimbangi kekuatan seekor naga sendirian?")
"Dan untuk menghentikannya, aku terpaksa meremukkan tangan kananmu." Lanjutnya
*Glek*
Aku refleks memegang memeriksa tangan kananku mendengar ceritanya.
"Dengan tujuan agar kau melepas sabit yang sedang kau pegang, aku beranggapan kalau itulah sumbernya masalahnya, karena sabitnya menyala-nyala terang."
"Tapi aku gagal, dan kau masih tetap memegangnya erat."
"Tanganmu langsung beregenerasi dengan cepat, begitu juga dengan seluruh luka di tubuhmu."
"Sambil tertawa mengerikan, kau berkata akan menghancurkan kota dan mulai mengumpulkan energi sihir yang sangat besar."
"Saat itulah, Nona ini." Ucap dia melirik ke Zoker
"Dia tiba-tiba melompat masuk dari belakang, dan entah apa yang telah dilakukannya, kau membatalkan sihirnya dan jadi normal kembali." Ujarnya menjelaskan kejadiannya
Selesai menjelaskan, dia menoleh ke Zoker.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan untuk menghentikannya?" tanyanya sekarang ke Zoker
"Ehh.. umm.. aku hanya memeluk dan memintanya untuk berhenti, itu saja." Jawabnya
"Seperti ini! Hahahaha." lanjutnya memeluk Arliz
"Eeeh?! Tidak perlu dipraktekkan padaku juga." responnya mengelus-elus Zoker
("Sejak kapan mereka berdua jadi seakrab ini? Apa yang terjadi saat aku tak sadarkan diri?")
"Begitu ya, aku minta maaf sudah membuat masalah sejak datang ke kota ini, aku akan mengganti semua ganti ruginya." Ucapku
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan keadaan Leon?" tanyaku
"Dia sedang dirawat, lukanya juga tidak terlalu parah, jangan khawatir."
"Jadi, bagaimana hasil pertandingannya?" tanyaku langsung
"Seperti kataku dari awal, apapun hasilnya, aku akan tetap ikut." Jawabnya yakin
("Dia ini… sifat keras kepalanya benar-benar sudah mendarah daging.")
Arliz beranjak dari tempat duduk.
"Kalau sudah, aku mau menemui Leon dulu sekarang." Ucapnya berjalan keluar
"Kapan kita perginya?" lanjutnya bertanya berhenti melangkah di depan pintu
"Besok pagi." Jawabku
"Baiklah, aku permisi."
Kepalaku sakit memikirkan apa yang baru saja diceritakannya, begitu banyak hal mengejutkan yang terjadi sekaligus.
"Kau baik-baik saja, tuan?" tanya Zoker khawatir
"Tenang saja, aku hanya sedikit pusing."
"Maaf tadi sudah berteriak, tuan." Ucapnya terdengar menyesal
"Tidak apa, tindakanmu tadi menunjukkan kalau kau sudah jadi sedikit lebih dewasa." Balasku mengusap-usap kepalanya yang sedikit menunduk
"Meski hanya sedikit, kau sudah berusaha." Lanjutku
("Serasa mengusap kucing.")
"Ehehe, terima kasih, tuan."
"Besok kita pergi pagi-pagi, jadi istirahatlah sana." Suruhku sambil melempar badan ke kasur langsung memejamkan mata
("Entah kenapa tubuhku sangat merasa kelelahan sekarang.")
"Baik, tuan."
*Kresek.. Kresek..*
Tanpa dilihatpun, aku bisa merasakan dia menyusup ke dalam selimutku.
"Zoker."
"Mmm?"
"Apa yang kau lakukan disana?"
"A-Aku mau tidur."
"Kau mau tidur disini?"
"Iya."
"Baiklah, aku akan tidur di kamarmu."
"Jangan, tuan〜." Melasnya manja
"Sekali-kali aku ingin tidur denganmu, tuan." Lanjutnya
"Baru kemarin kau menyusup tidur kesini, aku benar-benar kelelahan kali ini jadi mengertilah."
Tanpa menjawab, dan perlahan bangun.
"Baiklah, aku akan kembali ke kamarku."
Dan dia pergi ke kamarnya.
("Sebenarnya aku tidak terganggu, aku hanya takut kalau V muncul lagi saat aku lengah.")
("Entah apa yang akan dilakukannya kalau dia muncul saat kami tidur seranjang.")
Setiap kali melihat Zoker dan fokus ke bibirnya, langsung membuatku teringat kejadian memalukan waktu itu, rahasia antara aku dengannya.
("Kalau sudah jelas siapa dia sebenarnya, akan kupastikan maksudnya yang melakukan hal itu dengan tubuh Zoker.")
Tenggelam dalam pikiran sendiri, tanpa sadar aku tertidur lelap.
~~~
Pagi telah tiba.Setelah istirahat seharian penuh kemarin, sekarang aku merasa sangat fit.
"Sekitar 16 jam aku tidur, ya" kataku melihat jam
Kuhampiri Zoker di kamarnya dan mengajaknya turun sarapan.
Setelah selesai bersiap-siap, kami berdua di depan penginapan menunggu Arliz selesai dengan urusannya. Sambil menunggu, aku baru teringat dengan hal-hal yang menggangguku soal Arliz ke Zoker.
"Hei, ada yang ingin kutanyakan padamu." Ucapku mengawali
"Ha?!" balasnya heboh sendiri
Entah kenapa dia terkejut meski belum kutanya apa-apa.
"Ka-Kalau kau bertanya sebesar apa cintaku padamu tuan, maka tidak ada hal di dunia ini yang—."
"Ini tentang Arliz." Potongku
"Oh, tentang Arliz ya.." balasnya terlihat kecewa
"Aku penasaran, bagaimana caranya dia menghadapiku yang.. sedang lepas kendali saat itu?" tanyaku
"Dia.. dia adalah pengguna Crown sama seperti kita." Jawabnya
"Crown?? Seperti apa Crown miliknya?" tanyaku semakin penasaran
"Aku tidak tahu persis apa kemampuannya, tapi dia waktu menghadapimu, tuan."
"Seluruh tubuhnya berubah menjadi seperti berlian dan bertarung dengan tangan kosong." lanjutnya
"Jadi berlian, ya.."
("Sama seperti Black? Apakah mungkin untuk memiliki kemampuan yang sama dengan pengguna lain?")
"Apakah kau lihat ada sesuatu yang dia—"
"Maaf membuat kalian menunggu." Sapa orang yang sedang ditunggu-tunggu
Terdengar suara Arliz menghampiri.
"Ya, lama sekali, aku sampai bosan menunggu." Balasku langsung
"Maaf kalau gitu, soalnya aku sedang mencari Leon yang hilang dari kamarnya, padahal dia belum sembuh total." Jelasnya sedikit kesal
"Leon..?"
("Sepertinya aku tahu dia ada dimana sekarang.")
"Tidak perlu mencari dia, kita jalan saja sekarang." Ajakku
"Tapi aku tidak tenang kalau belum tau dia ada dimana." Balasnya cemas
Aku tidak meladeninya lagi, dan langsung jalan menggenggam tangan Zoker membawanya.
"Hei, tunggu!"
~~~
Kami lanjut jalan menuju gerbang keluar, sedangkan Arliz masih melihat kesana kemari mencemaskan Leon.
Tak terasa pintu gerbangnya sudah terlihat, dan terlihat juga si rubah besar sedang berdiri dengan tongkat penopang menunggu disana penuh balutan perban. Seperti yang kupikirkan, dia pasti masih tidak rela kalau Arliz pergi denganku, jadi dia pasti akan datang mencegat tak peduli keadaannya.
"Arliz, fokus ke jalan, nanti kau menabrak orang lain kalau jalan seperti itu." Suruhku padanya yang masih belum menyadari kalau orang yang dia cari ada di depan matanya
"Tapi Leon masih belum— WAA!! Itu dia disana!" dia tiba-tiba berisik sendiri menunjuk-nunjuk begitu melihat Leon di depan gerbang
Dia langsung berlari menghampirinya, dan kami tetap berjalan menyusul dibelakang.
Saat kami sudah dekat, terlihat sekali kalau dia sedang sangat marah menatapku.
"Hei, Zoker." Bisikku beberapa langkah sebelum sampai
"Ya, tuan?"
"Apa dia tahu juga soal Crown-nya Arliz?" tanyaku
"Aku kurang tahu, tapi saat Arliz menggunakan Crown, dia terlihat biasa saja." Jawabnya berbisik juga
"Hmm."
("Berarti tidak masalah kalau kutunjukkan padanya.")
Tiba-tiba dia menarik tangannya Arliz mendekat, dan mulai marah-marah.
"AKU TIDAK AKAN MELEPASKANNYA!!" teriaknya
("Seperti biasa, orang sepertinya tidak pernah bisa mengatur volume suaranya saat bicara.")
"Aku ingin pertandingan ulang, kau belum mengalahkanku dengan adil, kemarin kau tidak menggunakan kemampuanmu yang sebe—"
*puff*
Selagi marah-marah tidak jelas, kuubah dia jadi boneka rubah besar yang sangat mirip dengan Black saat kuubah juga.
"Heh?! Ap-Apa yang telah kau lakukan padaku?!" lanjutnya marah dalam bentuk bonekanya
Kuhampiri dan kupegang pipinya yang lembut.
"Kau lihat? Inilah kekuatanku yang sebenarnya." Jelasku menunjukkan sekilas mata kiri'ku
"Aku bisa saja menghabisimu dari awal kalau aku mau..."
"Tapi itu tidak akan menarik." Lanjutku menepuk-nepuk pipinya
Ekspresinya berubah drastis dari mengancam jadi terlihat sangat syok mendengar perkataanku.
*Bukk!*
Kutinju pelan wajahnya hingga jatuh terduduk bersama tongkat penopangnya.
Setelah merasa puas membalas untuk yang kemarin, sekarang dia sudah tidak berani melawanku lagi.
"Ayo, kalian berdua." Ajakku
Arliz masih terlihat syok tidak percaya dengan apa yang baru dia lihat, tapi meski begitu dia tetap jalan perlahan mengikuti.
Meski tidak sengaja terlihat, penjaga gerbangnya sudah diganti dengan yang baru, sama seperti yang dikatakannya malam itu.
~~~
Di luar kota menuju Kastil Frankenstein.
"Mulai dari sini, kau yang memimpin jalannya." Ucapku menetapkan
"Leon akan baik-baik saja, kan? Dia akan kembali jadi manusia lagi, kan?!" dia panik bertanya-tanya sendiri
"Tenang saja, Arliz." Ucap Zoker memegangi pundaknya menenangi
"Dia pasti akan kembali normal lagi, meski dengan pukulan yang sangat menyakitkan barusan." Lanjutnya teringat traumanya dulu
"Bukankah pukulan tadi masih termasuk pelan? Kenapa bisa sangat sakit hanya karena pukulan pelan seperti itu?" tanyanya masih penasaran
"Kau tidak akan mengerti kalau tidak mencobanya sendiri." Kataku masuk ke percakapan mereka
"Tidak, terima kasih."
..
"Dan kemampuan tadi, apakah itu.. Crown?" tanyanya lagi
"Ya, itu Crown milikku." Jawabku menyibak poni sekilas menunjukkan mata kiri'ku
"Dan dia juga punya Crown, tapi entah kenapa saat ini tidak bisa digunakan." Lanjutku menunjuk Zoker
"Sebenarnya apa hubungan antara kalian? Kalian terlalu dekat sebagai partner, tapi terlalu kaku sebagai pasangan."
"Ya.. k-kami ini sebenarnya pasangan kawin la—"
"Dia ini servant-ku." Ucapku memotong jawaban anehnya
("Fix, otaknya mulai rusak tertular sifat-'nya'.")
"Servant?! Berarti kau hanya memperlakukannya sebagai alat pemuas nafsu saja." Balasnya semena-mena
"Ha?! Apa maksudmu?!" protesku cepat
"Aku tidak pernah melecehka..n—"
Seketika terlintas sudah beberapa kali aku hampir kelepasan terbawa hawa nafsu saat hanya berduaan dengan Zoker.
"Ti-Tidak-tidak, aku tidak pernah berniat melakukannya dengan sengaja." Lanjutku malah salah tingkah mengkoreksi
"Sekalipun terjadi, dialah yang memancing." Jelasku membantah kembali menunjuk Zoker
("Arghh!! Dasar bodoh!! Kau membeberkan kebusukanmu pada orang lain!!")
Kupegangi kepala menyesal dan kesal ke diri sendiri, tapi semuanya yang sudah terucap tidak bisa ditarik lagi.
("Hancur sudah.. sekarang dia akan melihatku seperti sampah.")
"Bisakah kita berhenti berbicara dan berjalan sebelum hari mulai gelap." Ucapku berusaha mengalihkan topik
*Bupfh*
Setelah mendengar penjelasanku, dia menatap kosong padaku dan langsung memeluk Zoker seakan melindunginya.
"A-ahaha, tenanglah Arliz."
"Memang, terkadang aku yang suka menggoda tuanku." Ucap Zoker membela
"Tapi itu semua memang karena aku suka dengannya, dan dia tidak seperti yang kau pikirkan."
"Iya kan, tuan?" tanyanya meyakinkan tersenyum manis
*Badump*
"T-Tentu saja, aku sudah mencoba yang terbaik untuk mengendalikan diri." Balasku tergoda senyuman manisnya
("Tetap saja tidak adil, dengan kau mempermainkan perasaanku yang belum berpengalaman dalam hal seperti ini...")
("..aku sendiri tidak tahu sampai kapan bisa bertahan.")
"Baiklah kalau kau bilang begitu, tapi selama dalam pandanganku, tidak akan kubiarkan dia berbuat tak senonoh padamu." Ucapnya menetapkan melihatku
Dengan bantuan Zoker, pandangannya padaku sedikit berubah dibandingkan sebelumnya.
("Gaya bicaranya berubah drastis dibandingkan waktu masih di penginapan.")
"Lanjutkan sambil berjalan, kita tidak akan bergerak kalau membahas berbagai hal disini." Kataku mengingatkan
"Baik, tuan."
"Ayo, Arliz." Ajaknya Zoker menggandeng tangannya
("Mereka jadi sangat dekat sekarang, bagus untuk Zoker karena ada gadis sepantarannya yang bisa dia ajak obrol.")
Mungkin seperti ini, perasaan seorang ayah yang melihat anak gadisnya tumbuh dewasa. Sebagai tuannya, aku merasa bangga dia jadi lebih aktif berbicara dan tidak malu-malu lagi dibanding saat pertama kali bertemu.
Dengan Arliz sebagai pemandunya, seharusnya kami bisa sampai lebih cepat dari yang direncanakan, setidaknya sebelum malam tiba. Karena akan sulit untuk tidur di luar di hutan yang penuh monster ini.