*Dap dap dap dap!*
Dengan langkah cepat, si rubah besar tiba-tiba masuk dan langsung menghampiri terlihat kesal ingin bicara denganku.
"Bukankah sudah kubilang agar tidak melakukan sesuatu yang mencolok." Katanya mendekatkan wajah seperti sebelumnya
"Aku hanya mengajaknya pergi sebentar, akan kupastikan dia kembali dengan sela—"
"OMONG KOSONG!!" bentaknya memotong
"Leon, kalau kau hanya ingin membuat kegaduhan disini, silahkan keluar sekarang juga." Kata pelayan setengah rubah tadi mengusir rubah besar ini
("Jadi namanya Leon.")
"Maaf, Arliz." Dia minta maaf dengan sopan
*??*
Entah kenapa sikapnya langsung berubah drastis saat bicara dengannya.
"Kalau begitu buktikan." Ucapnya
"Buktikan kalau kau pantas membawanya pergi dari sini dengan aman, kau harus mengalahkanku dalam pertarungan satu lawan satu." Lanjutnya menantang
"Pfft."
("Sial aku hampir tertawa saking senangnya.")
"Kau meremehkanku, hah!?" bentaknya lagi mulai emosi
"Leon." Panggil pelayan rubah
Kami mengabaikannya dan meneruskan perbincangan.
"Tidak, aku hanya tidak habis pikir." Balasku
"Kau tahu kami baru sampai di kota ini, malam ini.. Dan kau mengajakku bertarung sekarang?" lanjutku meledek
"Kita lanjutkan besok di tempat kita bertemu tadi, aku mau istirahat sekarang." Ujarku langsung memberikan tatapan serius dan meninggalkannya
"Ayo Zoker." Ajakku sambil berjalan pergi tetap menatapnya tajam
Zoker mengikutiku berjalan menghampiri pelayan rubah bernama Arliz tadi untuk membayar sekalian menanyakan tentang penginapan.
Setelah selesai membayar makan malamnya.
"Apa kau tahu dimana penginapan di sekitar sini?" tanyaku
"Penginapannya ada di lantai 2."
"Dimana?" tanyaku lagi
"Di lantai 2, di bar ini." Jawabnya memperjelas
..
"Ok, aku ingin bertemu dengan pemiliknya."
Dia tidak menjawab dan hanya tersenyum perlahan menunjuk ke dirinya sendiri.
…
*sigh*
"Baiklah, aku pesan dua kamar yang bersebelahan untuk 2 hari kedepan." Ucapku menelan mentah-mentah kenyataan
"Biayanya 5 koin emas."
"Ini." Aku memberikan uangnya
Dia menulis sesuatu di kertas khusus.
"Silahkan ke atas, dan bawa ini sebagai bukti pembayarannya." Ucapnya memberikan kertasnya
"Berikan pada penjaga kunci kamar di atas." Lanjutnya mempersilahkan
"Baik."
Setelah selesai, kami pergi ke lantai atas.
"Leon.. Jelaskan padaku apa yang terjadi barusan, sekarang."
Terdengar suara setengah rubah itu memanggil ingin memarahi si rubah besar, meski perlahan suaranya menghilang saat kami naik lantai.
Sementara itu, kami berikan kertas pembayarannya tadi pada penjaga dan diberikan kunci kamarnya, lalu masuk ke kamar masing-masing dan istirahat setelah perjalanan panjang.
~~~
"Hoammp.."
Kubuka mata perlahan tersilaukan mentari pagi yang mengintip dari celah jendela kamar. Meski tidak minum-minum, badanku terasa berat untuk bangun. Kusibak selimut yang menutupi tubuh, terlihat Zoker sedang tidur memeluk, atau lebih tepatnya menindih badanku sehingga sulit untuk bangun. Meski sudah memesan dua kamar, dia tetap menyelinap masuk dan lebih memilih tidur di kamarku. Entah kenapa aku merasa sudah terbiasa dengan kelakuannya ini.
Karena sudah pagi, akan kubangunkan dia.
*puk.. puk.. puk..*
"Zoker, sudah pagi." Panggilku menepuk-nepuk pipinya pelan
Dia membuka matanya sedikit, dan terbangun setengah sadar.
"Selamat pagi, tuan.. Hoamueew—" balasnya dan tidur kembali
*gyuuutt〜*
Kutarik-tarik pipinya sampai dia bangun.
"Pfft.."
Aku menahan tawa melihat wajah lucu yang dibuatnya.
"Baanguunn, kita tidak punya waktu banyak." Ucapku asik memainkan pipinya
Dia tetap tidak bangun pulas dalam tidurnya.
("Merepotkan.")
"Bangun sekarang atau aku akan pergi berdua dengan si pelayan rubah." Lanjutku memancing
"Hah!?" dia langsung sadar mendengar perkataanku barusan
*Pukk*
"Jangan.. Jangan tinggalkan aku disini, tuan." Pintanya panik langsung bangun dan duduk di tubuh bagian bawahku
("Posisi ini!")
"Iya, iya, tidak akan kutinggal, cepat menyingkir dari sana!" Tegasku menyuruhnya turun
"Baik." Balasnya turun dari tempat tidur
Setelah itu kami langsung turun untuk sarapan. Tak lupa aku mengirim uang ke penginapan di ibukota untuk memperpanjang waktu huni kami, banyak dari barang-barang kami yang kami tinggalkan disana karena tidak mungkin kami membawa banyak barang saat menjalankan misi.
~~
Setelah selesai, kami kembali ke kamar menunggu waktu yang sudah dijanjikan untuk pertarungan nanti.
Di kamarku, Zoker sedang duduk manis di sisi lain kasur memperhatikanku memeriksa kembali barang bawaan kami. Dalam suasana yang damai itu, tiba-tiba dia memanggilku.
"Tuan."
"Hmm?" balasku masih sibuk memeriksa barang-barang
"Kau yakin mau mengajak wanita rubah itu ikut bersama kita nanti, tuan?" tanyanya
"Aku tahu dia sudah pernah ke tempat yang kita tuju.. tapi, aku saja juga sudah cukup untuk menuntun tuan kesana."
"Apa tuan.. tidak percaya denganku?" lanjutnya dengan suara agak bergetar
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu barusan, sebagai tuanmu, aku tanya kembali." Balasku
"Kau meragukan keputusanku?" tanyaku balik
Dengan sigap dia bangun langsung menunduk padaku.
"Tidak, tuan."
"Maaf aku menanyakan hal yang tidak berguna." Ucapnya yakin
"Hanya saja, aku tidak mengerti alasanmu ingin membawanya ikut hanya karena dia pernah ke kastil itu." Lanjutnya mengangkat kepalanya
"Maksudku, kita baru saja bertemu dengannya, kita belum mengenal betul siapa dia sebenarnya."
"Bukankah tuan biasanya sangat berhati-hati dalam menjalin komunikasi dengan seseorang, apalagi dalam misi seperti ini." Ujarnya mengutarakan pendapatnya
Aku balik badan ke arah Zoker setelah selesai cek barang.
"Akan kujelaskan semua keuntungan dan kemungkinan yang ada kalau dia ikut bersama kita." Ucapku mulai menjelaskan
"Pertama, dia pernah ke kastil itu."
"Kastil yang dimana letaknya ada di bagian terdalam Hutan Terlarang, tempat yang sangat berbahaya."
("Bagi kalian.")
"Meski kita punya peta lokasinya dari lembaran quest, aku tidak yakin kita bisa menemukannya begitu saja jika kita hanya mengandalkan peta itu."
"Karena kau sendiri tahu, sudah berapa lama quest itu diarsipkan di guild karena tidak ada yang mengambilnya."
"Kemungkinan besar sekarang letak geografisnya sudah banyak berubah sejak peta itu dibuat, dan…"
"Beruntung kita bertemu dengan orang yang pernah pergi kesana, si Arliz."
Dia tidak berkata apa-apa dan dengan tenang mendengarkan.
"Kedua, menurutmu apa kedudukannya di kota ini?" tanyaku
"Mmm.. Penasihat kota?" jawabnya tanpa berpikir panjang
"Lebih dari itu, dia adalah pemimpin kota ini." Kataku membenarkan
"Pe-Pemimpin?!" responnya terkejut
"Ya, terlihat jelas dari kejadian semalam, mereka menghujaninya dengan berbagai pertanyaan penting tentang kota ini."
"Walaupun penampilan mereka seperti itu, aku yakin mereka semua adalah kepala bagiannya masing-masing, contohnya bagian pangan dan keamanan kota."
("Ya.. itu hanya pendapat pribadi berdasarkan apa yang mereka tanyakan semalam sih.")
"Kalau si rubah besar, mungkin dia kepala prajurit atau sejenisnya."
Dia terkejut lagi dengan penjelasanku, terlihat dari pupil matanya yang melebar lebih dari biasanya menunjukkan mata birunya.
"Terakhir, kenapa dia bisa menjadi pemimpin dari kota yang terkenal sebagai 'kota bandit' ini?"
"Meski dia hanyalah seorang pelayan, dan mungkin dia sendiri tidak sadar kalau dialah pemimpinnya?"
("Atau semacam taktik pengecoh yang menutupi kebenarannya dari sesuatu yang dapat memberikan dampak pada kota ini.")
"Karena.. dia kuat?" jawabnya menebak
"Benar, dia pasti punya kemampuan hebat yang membuatnya disegani dan dihormati oleh semua orang yang ada disini." Jelasku
"Kita tidak tahu apa yang menunggu di kastil itu."
"Jadi selain membawa orang yang berpengalaman agar lebih cepat sampai kesana, kita juga dapat petarung yang akan menggantikanmu yang sedang tidak bisa menggunakan Crown."
"Aku tidak bisa memaksamu bertarung dengan keadaan seperti itu." Jelasku mengakhiri jawabanku yang panjang lebar berdasarkan tebakan demi memuaskan rasa penasarannya
"Jadi jangan berpikiran kalau aku tidak percaya padamu."
"Karena dari awal aku sudah katakan kalau aku membutuhkanmu untuk mencapai tujuanku."
"Baik, tuan." Balasnya
"Sekali lagi aku minta maaf karena sudah meragukan keputusanmu, aku akan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, tuan."
("Baguslah selama dia puas dengan menerima tebakan asal dariku, yang dibungkus dengan rapih dan meyakinkan.")
*Tok.. Tok..*
Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kami.
"Apa anda sedang sibuk, tuan?" Tanya seseorang dari luar
"Siapa?" tanyaku balik
"Ini aku, Arliz." Jawabnya memperkenalkan diri
("Arliz? Oh, si pelayan rubah.")
"Masuk saja." Kataku mempersilahkan
*Ceklek*
Kepalanya perlahan mengintip masuk.
"Permisi, maaf mengganggu pagi hari anda, tuan." Sapanya baru kepalanya yang terlihat
"Masuk saja tidak apa." suruhku
"Baiklah." Balasnya mulai masuk
Zoker berisyarat menawarkan tempat duduk kosong di sebelahnya, dan dia menerimanya.
"Jadi, ada perlu apa?" tanyaku mengawali
"Tentang pertarungan nanti.." Ucapnya sedikit menundukkan kepala dan satu tangan menggaruk pelan telinga rubahnya
("Rasa khawatir akan sesuatu tergambar jelas dari ekspresi dan sikapnya saat ini.")
"Bagaimana kalau.. dibatalkan saja?" Usulnya perlahan mengangkat wajah
("Ha??")
"Menurutku tidak perlu dilakukan, karena apapun hasilnya tidak akan mempengaruhi keputusanku." Lanjutnya menatapku
("Apa-apaan dia ini?")
"Jadi kau menerima ajakanku atau tidak?" tanyaku memperjelas
"Aku ikut, jadi kumohon tolaklah tantangan dari Leon." Jawabnya
Mendengar permohonannya, aku merubah posisi dudukku yang tadinya condong ke depan, jadi tegap dan melipat tangan.
"Kau ini.."
Dia terlihat bingung dengan perubahan sikapku.
"Apa kau tahu alasan dia menantangku bertarung sebagai syarat boleh atau tidaknya kau pergi denganku?" tanyaku serius
"Tidak, tapi dia sudah menggunakanku sebagai bahan taruhan.. dan aku tidak suka itu." Balasnya terlihat kesal
*sigh*
"Biarku perjelas, kau ini tipe wanita yang merepotkan." Ucapku langsung padanya
…
Zoker tercengang sampai mulutnya terus terbuka setelah mendengar langsung keterus terangan yang keluar dari mulutku.
"Maaf?" tanyanya tidak mengerti
"Aku tidak tahu sudah berapa lama kau hidup dalam duniamu sendiri, dimana tidak ada yang mengatakan ini langsung padamu."
"Eh-Ehm!"
"Kau itu egois, meski terlihat peduli tapi kau sebenarnya apatis dengan perasaan orang di sekitarmu." Jelasku tanpa ragu
"Kau bahkan tidak bisa merasakan kepedulian orang-orang yang ada di sekitarmu, terlihat dari pendapatmu terhadap Leon yang melakukan itu semua untukmu." Lanjutku
"Untukku?? Bagian mananya yang menunjukkan kalau dia melakukan semua itu padaku?" balasnya
"Dari yang kulihat selama ini dia hanya memaksakan keinginannya padaku, tidak lebih."
"Apa menentukan sesuatu yang melibatkan orang lain tanpa bertanya padanya lebih dulu itu termasuk peduli?" lanjutnya mulai menaikkan intonasi terbakar rasa kesal yang ia coba tutupi dari wajahnya
"Kurasa tidak ada gunanya membicarakan hal ini denganmu sekarang, karena kau tidak akan menger—"
"KAULAH YANG TIDAK MENGERTI!!" teriaknya memotong meledakkan kekesalannya yang tidak terbendung lagi
Seakan kaget dengan perkataannya sendiri, dia menunduk menyesal.
"Maaf, perasaanku jadi tidak nyaman setelah bicara dengan anda." Ucapnya bangun dan berjalan keluar
Selagi dia berjalan keluar, aku nyatakan padanya keputusanku.
"Sama sepertimu yang tidak akan mengubah keputusanmu apapun yang terjadi."Ucapku ke Arliz yang masih berjalan menuju pintu keluar
"Aku juga tidak akan menolak tantangannya meskipun kau pinta, dan kau harus melihat langsung pertarungan kami nanti."
*Ceklek*
Dia terhenti sebentar di depan pintu.
"Kalau kau mau mengerti apa yang kumaksud." Lanjutku
Tanpa menoleh dan menjawab apapun..
"Aku permisi."
..dia pergi.
*Darr*
Suasana mendadak jadi hening dan terasa berat karenanya.
"Aku.. tidak berlebihan, kan?" tanyaku ke Zoker
"Ti-Tidak, menurutku tuan melakukannya karena tuan peduli padanya." Jawabnya
"Itu hal yang bagus, meski aku jadi sedikit iri dengannya." Tambahnya meremas baju di sekitaran dadanya
("Yang pada awalnya aku tidak ada niatan meladeni si rubah besar, sekarang aku ada alasan untuk menghajarnya.")
"Ayo jalan-jalan keluar sampai waktu ketemuannya." Ajakku
"Baik, tuan."
Dengan begitu kami pergi keluar keliling kota untuk menyegarkan suasana setelah pembicaraan berat tadi, selagi kami punya uang sekarang.
Karena keasikan membahas banyak hal dan juga mencoba berbagai jajanan di jalan, tidak terasa sudah agak siang. Aku tidak boleh membuat rubah besar itu menunggu dan segera menemuinya.
[Note: Panggilan 'tuan' yang digunakan Zoker dan Arliz itu berbeda makna; Arliz menggunakan 'tuan' sebagai seorang pelanggan; sedangkan Zoker menggunakan 'tuan' sebagai seorang pemilik servant.]
~~~
Di tengah kota, banyak warga mengerumuni lapangan tempat yang dijanjikan. Semua orang memperhatikanku saat aku berjalan masuk kesana. Begitu keluar dari keramaian, terlihat si rubah besar sedang berdiri tegap menungguku, lengkap dengan peralatan bertarungnya.
Aku yang masuk ke dalam tanpa membawa senjata apapun, sepertinya memunculkan pertanyaan bagi para penonton. Sampai dia memanggilku dengan lantang.
"Hei cebol, mana senjatamu?" panggilnya menanyakan senjata
"Tidak ada, aku selalu bertarung dengan tangan kosong." Jawabku
("Karena biasanya aku menggunakan Crown, jadi tidak perlu senjata lagi.")
"Tch.. Jangan bercanda! Aku tidak akan mau menyerang orang yang tak bersenjata!" teriaknya diikuti sorakan para penonton
("Tinggi sekali harga dirinya.")
"Wuuu… Kau keren Leon!!"
"Kyaa.. Leon…" sorakan penonton yang sangat mengganggu
"Baiklah, aku akan cari senjata seperti yang kau inginkan." Ucapku berjalan menghampiri Arliz yang ada di sekitar sana
Dia terlihat kebingungan saat aku jalan ke arahnya.
"Tolong bawakan aku pisau yang ada di bar, yang ukuran sedang." Pintaku padanya
Tanpa bicara sedikitpun, dia langsung pergi ke bar dan kembali membawa pisau yang kupinta.
Sekarang seharusnya dia sudah tidak bisa komplain lagi.
"Sudah, 'kan? Ayo kita mulai." Seruku melempar-lempar memainkan pisaunya di tanganku
*Sring!*
"Boleh juga semangatmu." Balasnya menarik pedang
"Langsung saja, pertandingan antara Leon Sang Kesatria Tief, melawan orang asing yang ingin membawa Non— Ehm.. Neng Arliz pergi." jelas seseorang yang sepertinya adalah wasit
("Perkenalan yang sangat jujur dan adil.")
("Dan juga, hentikanlah kepura-puraan tentang Arliz.")
"MULAI!!"
"Wuuooohhh!!! Kalahkan dia Leon!!"
Tanda dimulainya pertarungan diikuti sorakan penonton yang ikut memeriahkan.
"B-.."
Terdengar pelan suara Zoker di belakangku.
"Berjuanglah tuan!!" Teriaknya pelan diantara sorakan lainnya sendirian menyemangatiku
Aku tersenyum kecil mendengarnya.
("Satu sorakan sudah cukup buatku.")
"Ada apa, Tuan Kesatria? Silahkan maju duluan." Pancingku
("Sepertinya dia tidak menggunakan Crown atau trik apapun.")
("Berarti aku juga harus bertarung dengan adil dengannya.")
"Aku tidak akan membiarkan orang sepertimu membawa Arliz.. TIDAK AKAN!!" teriaknya melesat cepat ke arahku
*Wooshh*
*!!*
("Dia bisa bergerak cepat dengan tubuh besar dan zirah seberat itu?!")
Spontan aku lompat ke samping menghindari serangannya.
"Hebat juga kau bisa menghindari serangan tadi." Ucapnya
Aku tidak membalas dan tetap bersiaga.
"Bagaimana dengan yang ini." Dia melompat lagi maju menyerang
*Wooshh*
*Cting!!*
("Kenapa dia mengulangi serangan yang sama seperti sebelumny—")
*Srekk*
("Ha?")
("Jubahku?")
("Tergores?!")
Aku berhenti mengingat baik-baik memastikan tidak ada gerakan aneh dari serangannya barusan, dan mencari tahu bagaimana dia menggores lengan jubahku.
"Sepertinya kau tidak bisa menghindari yang satu itu." Ucapnya memasang kuda-kuda siap menyerang lagi
("Kenapa dia tidak menyerang secara terus menerus?")
"Akan kubuat kau menyerah untuk membawa Arliz pergi."
*Wooshh!*
("Sial, kalau begini aku harus bertahan dan mempelajarinya di saat yang sama.")
*Srott*
Setelah itu..
*Sratt*
Meski sedikit demi sedikit..
*Cratt*
Dia berhasil memberikan banyak sayatan pada tubuhku.
~~~
*Hosh..Hosh…*
("Percuma…")
("Tidak peduli sekuat apapun tubuhku, kalau terus seperti ini bisa gawat.")
Kuanalisa dia lebih detail lagi.
("Crown? Bukan.")
("Teknik? Bukan.")
Kucoba pikirkan satu kemungkinan lagi yang di luar akal.
("Sihir.")
"Dia pasti menggunakan semacam sihir untuk mengacaukan penglihatanku atau membuat serangannya tetap mengenaiku meski sebenarnya meleset."
("Atau-atau.. —")
*Wooshh!*
*Dap!!*
Aku mulai sedikit terbiasa menghindari serangan yang anehnya.
("Kalau seperti ini, aku tidak bisa berpikir dengan jernih.")
("Tidak ada gunanya kalau aku terus bertahan seperti ini, sudah saatnya aku gunakan sedikit teknik yang diajarkan Black.")
"Dengan kemampuan seperti itu kau bilang bisa menjaga Arliz?" ucapnya
"Menyerahlah, aku tidak ingin membuang-buang waktu lebih banyak la—"
"Berisik!" Teriakku memotong
"Kuharap kau siap, karena ini akan sedikit sakit." Kataku memperingatkan
Kupasang posisi siap menyerang secepat mungkin, dan langsung melesat kearahnya.
*Swoosh!*
"Sepertinya aku akan melukai tanganku sedikit untuk bertaruh demi mendaratkan serangan."
*Bwooshh!!*
Dia ikut menerjang juga dengan cepat.
*Swing!*
*Darrgg*
Kupijakkan keras kaki menghampiri ke arah pedangnya, dan kuayunkan tangan kiri coba menggenggam mata pedangnya memastikan pedangnya ilusi atau bukan.
("Pertaruhan dimulai.")
*Zinggg*
*!!*
("Pedangnya..")
*grab*
("Ilusi!!")
Setelah tahu pedangnya palsu, kuhalangi pandangannya dengan tangan kiriku dan kuayunkan pisau mengikuti tangan kiriku ke depan wajahnya.
*Sringg!!*
*Cratt!*
Darahnya muncrat keluar dari goresan yang kutargetkan ke bagian belakang lehernya.
("Berhasil!")
Dia melompat mundur menjauh setelah terkena serangan dariku.
"Ahh, aku lengah."
"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menyerang bagian belakangku yang tidak terlindungi dengan serangan seperti tadi." katanya memegangi punggung belakangnya
"Lebih naik sedikit saja, dan aku akan mengalami pendarahan hebat." Lanjutnya tersenyum remeh
"Maaf sudah membuatmu kecewa, akan kupastikan yang selanjutnya tidak akan meleset." Balasku dengan wajah serupa
*Clang*
*?!*
Setelah berkata barusan, dia sekarang malah melepas semua zirah yang memberatkan tubuhnya dan juga melempar pedangnya keluar arena, dan berganti dengan pedang yang satunya yang lebih kecil.
("Sepertinya aku tidak asing dengan pedang itu..")
"Sebenarnya aku tidak ingin menggunakan ini, tapi karena kau sudah mengetahui celahnya."
"Akan kutunjukkan teknik rahasia yang kupelajari dari pendekar pedang terhebat yang pernah ada." Lanjutnya mengambil posisi
Cara dia memegang pedangnya berbeda dengan sebelumnya, dan aku merasa tidak asing juga dengan posenya itu.
("Kuda-kuda itu seperti… seorang SAMURAI.")
("Berarti pedang itu adalah katana yang sama dari Jepang, pantas aku tidak asing dengannya.")
("Bertambahlah misteri dunia ini dengan sendirinya.")
Selagi aku hanyut dalam pikiran..
*Swooshh*
*!!*
Tiba-tiba dia sudah melesat lebih cepat dari sebelumnya.
("Aku.. tidak akan sempat menghindarinya.")
*Ctingg!!*
Aku tangkis serangannya ke atas sambil melangkah menjauh ke belakang.
("Pisaunya.. patah.")
Dan juga..
*Sroott!!*
"TUAN!!" teriakan Zoker terdengar dari jauh
("Sial, aku terlambat.")
*Dugh!*
Aku jatuh terduduk memegangi pundakku menahan sakit.
"Sudah cukup, menyerahlah." Suruhnya
"Tuan.." Zoker khawatir menghampiri
"Sudahlah tuan, kita pergi berdua saja." Ajaknya
("Aku tidak tahu dia sedang memanfaatkan situasi atau benar-benar khawatir.")
"Itu mah maumu supaya kita pergi berduaan."
"Arrgh…" kupegangi pundakku menahan sakit
("Untung lukanya tidak terlalu dalam.")
"Tapi maaf."
"Untuk kali ini.."
"..jangan ikut campur, Zoker." Ucapku berusaha bangun kembali
"Dia, mengerahkan segalanya untuk sesuatu yang ia ingin lindungi."
"Kalau aku menyerah sekarang, sama saja dengan aku menghina dan menginjak-injak harga dirinya."
"Aku tidak akan menyerah hanya karena luka kecil seperti ini."
"Perjalananku masih panjang." Tegasku keras ke diri sendiri
("Aku tidak akan bisa mengalahkan Lily kalau menyerah disini, aku pasti akan melampauinya.")
Pedangnya jauh lebih kuat dibanding pisau yang patah tadi, sekarang aku harus mencari senjata lain untuk menghadapinya.
Dan aku teringat dengan satu senjata.
"Zoker, aku pinjam sabitmu." Pintaku
"Sabitku?" dia bertanya-tanya
"Pisaunya rusak, dan kalau aku tidak menggunakan senjata dia tidak akan mau melawanku." Jelasku
"Ba-Baiklah, tuan." Balasnya memberikan sabitnya
("Kalaupun aku menggunakan pisau lagi, aku tidak akan bisa mengimbangi jarak serangnya.")
*grab*
Sekarang aku sudah memegang sabitnya Zoker, meski terasa agak berbeda dari yang sebelumnya, yang sekarang terasa lebih stabil. Dengan ini, seharusnya aku dapat mengimbangi, atau bahkan mengunggulinya meski dengan keadaanku yang sekarang.