Chereads / PADI DAN KAPAS / Chapter 4 - bab tugas

Chapter 4 - bab tugas

 

 Lonceng tanda masuk kelas terdengar. semua masuk kelas dan duduk tertib menunggu guru datang. Guru pun masuk dan memulai pelajaran.

"Waaaahhh ada tugas kelompok, semoga semoga" ucap Kapas yang ketar-ketir penasaran dengan tugas yang akan di berikan padanya.

 "Dalam masalah keanggotaannya kalian boleh pilih sendiri, siapa yang mau kalian jadikan kelompok. yang jelas bagi menjadi tiga kelompok saja!" Perintah Guru kelas.

"Ada saran bu, dari kita" usul salah satu anak.

"Iyaaa apa itu? boleh siapa saja yang mau kasih masukan, silahkan kita diskusikan terlebih dahulu"

"Kapas dan Padi jangan di pisahkan nanti malah repot, kita semua bisa gagal focus, mereka itu kan tidak bisa di pisahkan!" jawab salah satu dari mereka. Sang Gurupun tidak menduga jika sebegitunya mereka benar-benar menganggap Padi dan Kapas. Hingga begitu paham akan kelakuan mereka berdua.

 ''' huuuu". Satu kelas pun heboh dengan kata-katanya masing-masing. Dan Gurupun hanya mengiyakannya agar suasana kelas tidak semakin risuh.

"Sudah-sudah terserah kalian saja. Ibu Guru tidak ikut campur akan hal itu. Terserah kalian saja. Kalian sudah cukup tau kebijakan dalam berkawan" ucap Gurunya yang paham dengan keisengan yang sering terjadi di kelas tersebut. Sang Guru bisa memaklumi kenakalan masa-masa di umur mereka, dan juga Sang Guru paham kenakalan mereka tidak melewati batas.

"Ya sudah Ibu mau keluar kelas. Kalian diskusikan tugas kelompok ini. Terserah bagaimana saja baiknya" pesan Sang Guru sebelum meninggalkan kelas kepada semua muridnya.

"Siap Bu!!!!" jawabnya serentak.

 Sementara Padi dan Kapas tidak bisa mengelak hanya menghela nafas lega karena itu pun yang mereka harapkan. Hanya diam dengan semua ocehan para temannya.

"Kalian pastikan dulu ingin berkelompok dengan siapa, nanti Bu Guru masuk kembali dan kasih tugas yang akan kalian kerjakan!"

"Siap bu guru".

"Kak menurut kamu kita pilih siapa aja nie buat kita ajak gabung?" tanya Sirlina kepada Kapas. Panggilan Kak bukan nama lain dari seniornya, tapi itu panggilan dari nama depannya Kapas.

"Hmmm, kayaknya kita perlu anak baru dech ya, soalnya kalau kita cuma dengan mereka aja. Kurangkan?" usul Kapas dalam diskusi dengan para temannya.

Padi yang ikut mendekat dengan ada seorang gadis di sampingnya.

"Kalau boleh nie, kita ajak Liana masuk ke anggota kita, ya daripada anak lain. Belum tentu mau hihihi" usul Padi dengan percaya diri. Mendengar itu Kapas hanya diam dengan fosus memperhatikan Liana, memang sebelumnya Kapas belum mengenal dekat, dan karena takut salah tingkah dari rasa cemburunya Kapaspun memilih untuk diam saja dengan menutupi rasa penasarannya kepada Liana.

"Liana cantik juga kalau di pandang dari dekat. Memang dia siapa, kenapa juga meski Padi yang mengajaknya ada di depanku"

Kata-kata Kapas yang tersimpan di hatinya mulai terlihat dengan sikapnya yang seakan tidak nyaman di pandangan temannya. Tanpa ikut dengan pembahasan tugas, Kapas justru pura-pura sibuk melihat-lihat halaman buku seakan sedang konsentrasi. Akhirnya pembagian kelompok pun sudah selesai.

Sampai tidak sadar bahwa Guru kelasnya sudah hadir. Karena hatinya yang kacau balau dengan kehadiran Liana yang menurut Kapas Liana lebih cantik dan lembut di banding dengan dirinya, bahkan sampai berfikir jika Padi ada perasaan kepada Liana, seperti yang banyak dia baca yang tertulis "Tidak mungkin adanya hubungan antara cewek dan cowok yang akrab. Kecuali karena adanya rasa hati dan kasih sayang". Kata-kata itu seakan Kapas dalami hingga lupa dengan keadaan.

"Kak, sibuk banget si, dari tadi mikirin apa si?" tanya Sirlina kepada Kapas dengan suara berbisik.

"Enggak, ya mau ngapain aku ngikut aja dech pokoknya, lagian juga Bu Guru belum dateng kan. Bodo amat" jawab Kapas yang cuek dengan nada kesal. Dan Gurupun sampai mendengarnya.

"Ada apa Kak?" tanya Guru kelasnya.

"Hehehe, gak apa-apa Bu". Jawab Kapas yang seakan tidak merasa bersalah.

"Kelompok satu membuat pudding, kelompok dua membuat nasi uduk, dan kelompok tiga membuat membuat kue mangkok, kalian cari resep sendiri terserah mau cari dimana atau dari siapa yang penting hasilnya enak bagus dan ini untuk menguji kalian dalam hidup bersosiliasali terhadap orang lain juga agar kalian tau manusia itu tidak bisa hidup sendiri, manusia itu butuh orang lain!" pesan Guru kelas yang bermaksud memberi point penting selain bertujuan menguji mereka di dalam tugas pelajaran.

"Seperti Kapas yang selalu butuh Padi Bu Guru haha asek hahaha" ujar salah satu temannya dan satu kelaspun langsung tertawa dengan keisengan tersebut, sementara Sirlina menahan tawanya untuk menjaga perasaannya Kapas. Kali saja nanti kesal jika menjadi bulian oleh teman-temannya. Berbeda dengan Padi yang justru ikut tertawa saja bersama mereka. Dalam benaknya untuk apa mengelak lagian bukan hanya satu atau dua kelas saja yang tau hubungan mereka yang selalu bikin ulah. Tapi sudah satu Sekolahan paham, beserta semua Guru-gurunya.

"Hey Liana" sapa Kapas yang juga sedang menunggu jemputannya di depan Sekolah.

"Hey juga Kak" jawab Liana dengan sambutan hangat

"Belum di jemput ya?" tanya Kapas

"Enggak si, gak di jemput, aku biasa jalan kaki"

"Oh, rumah kamu yang gang deket lampu merah itu kan ya? itu jauh loh" ucap Kapa dengan penuh memperhatikan wajahnya Liana yang begitu manis

"Deket lah Kak lewatnya gak ngukutin jalan utama. Tapi lewat jalan-jalan di dalem gang samping sekolah"

"Hmm gitu yaa?" jawab Kapas yang mulai paham.

"Ya udah Kak, aku jalan duluan ya" pamit Liana yang sudah dengan melangkahkan kakinya dan menundukkan kepalanya, hingga tambah manis karena poninya yang terurai di buai angin lembut.

"Iya, bay sampai ketemu lagi"

"Clik"

Terdengar suara dari hapenya Kapas yang di simpan di laci mobil, dia pun segera mengambilnya.

"Aku tunggu nanti jam lima sore di tempat biasa. Etak."

"Acara apaanlagi si" gumam Kapas penasaran

"Ada apa Non?" tanya supirnya

"Nanti jam lima sore antar ke tempat Sirlina Pak!"

"Nanti sore ya, oh iya beres pokoknya Non"

"Acara sama Ibu bukan ya Non?"

"Enggaklah. Biasa kumpulan Ibu-ibu penjual taplak meja hahaha"

"Hahaha kok taplak meja, memangnya teman Non Kapas usahanya jualan taplak meja?"

"Itu sebutan buat kita aja si, karena kita kumpul tanpa meja pakai taplak, gak seru, gak bebas makan dan minumanya, bisa amburadul semua, blepotan semualah kalau gak pake taplak, pake taplak meja aja, habisnya tiesu ada dua kotak hahaha" ucap Kapas dengan keceriaan

Supirnya bingung meski dengan tertawa lepas, bagaimana bisa jika di fikir. Mereka yang sudah besar bisa blepotan ketika menikmati sajian yang di pesannya.

"Hahaha kok bisa Non, memangnya itu makanan sambil di lempar-lempar Non?" 

"Bukan di lempar lagi, itu kalau kita lagi makan, pasti juga sedang bahas sesuatu, nah itu yang bikin kadang gak sadar, ada aja yang jatoh lah, tumpah lah, ngejiprat lah, dan itu udah bukan hal asing lagi bagi kita!"

"Lucu ya Non, kalau makannya kaya gitu. Kasian juga yang punya meja"

"Justru itu yang punya meja ada di situ juga, haha makanya kita gak canggung apalagi risih, karena nanti juga kita yang beresin sendiri" jawab Kapas yang merasa konyol

"Oh jadi itu restaurant punyanya non Sirlina?"

"Iya itu milik orang tuanya dia, kalau di tempat lain mana ada kita seberani itu"

"Takut di bilang gak sopan ya non sama pengunjung lain yaa Non pastinya?"

"Ya bukan gitu juga si, tapi iya juga, ya kasian aja sama karyawan yang bersihin, makanya kaya aku dan Mama kan gak suka makan di tempat makan yang menu makanannya kecil-kecil menggunakan banyak piring, bingung kitanya, kita kan juga harus hemat air Pak" 

Ucapan itu terdengar sangat bijak di telinga supirnya, hingga supirnya terlihat sangat fokus dan terdiam. Tapi belum supirnya memuji Kapas sudah tertawa.

"Kenapa Pak?"

"Hebat Non Kapas itu pemikirannya. Bijak ya"

"Ya enggak lah, itu kan hanya yang selalu di katakan Mama"

"Iya Non, Ibu itu orangnya sangat peduli dengan hal-hal kecil ya Non, sangat teliti orangnya"

"Nah iya, itu yang kadang bikin aku kesal. Dia yang bikin peraturan orang lain yang harus ngikutin. Sedangkan kadang dia juga tidak peduli dengan kondisi orang lain, iyaa kan Pak?"

"Saya si paham Non, apalagi Ibu itu tidak suka dengan sesuatu yang tidak di gunakan dengan benar"

"Apalagi sesuatu yang terbuang karena kesalahannya. Jangan tanya itu marahnya kaya apa" tambahnya Kapas

"Iya Non tapi saya juga paham kalau Ibu itu punya hati yang baik, buktinya karyawan di Studio semuanya patuh dan hormat sama Ibunya Non Kapas"

"Hahaha itu kan kalau di tempat kerja pak, hati orang mana ada yang tau, kaya anaknya si Fotografer itu, itu kan dia jutek banget loh. Kalau ketemu Mama. Jangankan nyapa, buang muka coba waktu pernah ketemu. Itu beratikan Bapaknya tidak mendidik dia, ya emang si, aku dan Mama juga gak minta buat di anggap ada, tapi sebagai orang yang kenal, mestinya janganlah begitu mestinya....." ucap Kapas menambahkan.

"Iya ya Non, begitulah hati orang. Tidak bisa di lihat"

Bukannya Kapas tertuju dengan hati orang melainkan mendengar ucapan supirnya justru Kapas merasa tersindir untuk dirinya. Iya hati orang itu tidak bisa di lihat. Begitu pula dengan perasaannya kepada Padi. Terlihat seperti musuh padahal itu adalah wujud untuk mencari perhatiannya.

"Nanti kita berangkatnya jam lima pas atau jam lima sampai sana Non?" 

"Jam empat mungkin aku jalan, soalnya sekian mau cari aksesoris juga ke Toko seberang"

Mobil terhenti dan sopir membukakan pintu, di dalam sudah terlihat ibunya Kapas yang sudah menunggu di depan rumah.

"Tumben kok Mama udah pulang Pak jam segini?" tanya Kapas dengan suara lirih.

"Iya Ibu katanya ada jam kerja sore hari, ada pemotretan si luar ruang katanya"

"Oh" balas Kapas dengan singkat 

Kapas pun langsung di sambut hangat dengan pelukan oleh ibunya.

"Tumben Ma kok di rumah jam segini?"

"Iya sayang Mama ada acara nanti sore, ada pelanggan yang minta buat foto pernikahan tapi di luar gedung, nanti sebentar lagi Mama berangkat"

"Jauh gak Ma?"

"Gak lah lokasinya udah Mama lihat kemaren, ya cukup dekat dari Studio, ya udah sana ganti baju, cuci muka sana terus makan, Bibi udah siapin tadi"

Hubungan yang sangat harmonis begitu terasa di dalam keluarganya Kapas. Terlebih lagi Kapas adalah anak satu-satunya, tempat curahan kasih sayang yang tiada lainnya. Meski sudah beranjak remaja sikap orang tuanya tidak ingin kehilangan Sifat Kapas yang kekanak-kanakan. Apalagi Ayahnya yang tidak selalu ada di sampingnya. Memang masa kecil sudah terlalui tapi rasa gemas seperti saat-saat masih balita kerap menghampiri, kala membelikan mainan Ayahnya sering lupa dengan umur kapas yang kian bertambah, begitu pula dengan Kapas yang masih sangat suka dengan mengoleksi banyak bobeka atau sejenisnya. Tidak peduli dengan harga dan banyaknya yang ingin dia beli jika memang dia mau.

Berbeda dengan Padi, mungkin bukan berbedanya antara cowok dan cewek, tapi lebih kepada pemikirannya. Dari kecil Padi adalah sosok yang tidak jauh dari buku bacaan dan suka mengisi teka-teki silang adalah kerap dia lalukan untuk mengisi waktunya yang kosong. Padi lebih gemar menghabiskan waktunya di rumah kala libur, tidak seperti kapas yang kesana kemari dengan teman-temannya. Bukan tanpa alasan, ini adalah Karena Padi pernah mengalami trauma lantaran di buly oleh temannya di sekolah dasar, Padi yang saat itu masih berada di kelas tiga sekolah dasar, hampir tiap hari menangis karena ejekan teman-temannya. Yang dimana lingkungan sekolah tersebut adalah kebanyakan anak didik dari tetangga kiri kanan rumahnya. Padi yang jauh dari orang tua, tidak bisa secara langsung menyandarkan keluh kesah dan keresahannya kepada orang tua. Dia hanya bisa menangis memendam sakit hatinya yang belum bisa menceritakan dengan jelas kala orang tuanya menghubungi lewat telfon. Sedang orang tuanya hanya berfikir. Jika itu hal yang biasa di lakukan oleh anak seusianya, orang tuanya bisa memaklumi keresahannya yang pasti karena mungkin Padi hanya rindu saja, orang tuanya tidak tau bahwa Padi merasa takut karena perkataan temannya yang katanya, Padi adalah anak yatim piatu, orang tuanya tinggal di luar negri itu hanya alasan mereka yang mengaku sebagai Ayah Ibu kandungnya, bagaimana tidak Padi menangis karna yang mengatakan adalah anak yang rumahnya dekat dengannya. Dia sering berkata "Aku itu kasihan sekali sama kamu Di, nanti jika kamu besar, kamu mau tinggal dimana, orang tuamu tidak ada sedangkan yang merawatmu saat ini mungkin mereka tidak akan selamanya ada untukmu, karena mereka kan juga punya anak sendiri".yang di maksud adalah kakaknya Padi.

"Dan mungkin nanti kalau mereka sudah tidak kasihan padamu lagi, kamu akan di biarkan hidup sendiri entah di pinggir hutan atau gimana, aku sedih bagaimana nanti, kita tidak lagi bisa bersama Di aku pasti akan sangat sedih jika kita terpisah Di, kita tidak lagi jadi tetanggaan. Tapi semangat ya buat kamu pasti nanti kamu sukses kedepannya, aku pasti akan merindukan kebersamaan kita saat-saat ini, kita berangkat sekolah bareng, kita bermain di halaman bareng, kita makan bareng, jangan lupakan aku ya Di"

Begitulah ucapan yang sering di curhatkan dari temannya tersebut, tapi Padi tidak tau kalau kelakukaannya itu karena dia sering menonton TV saja, terbawa oleh kisah yang di hadirkan oleh Sinetron dan menyamakan dengan kisah hidupnya Padi yang tidak tinggal satu rumah dengan orang tuanya.

Ucapannya sekilas tersisip ucapan iba dan seakan menunjukkan rasa kasih sayang hingga takut untuk berpisah. Tapi tidaklah menjadi penyemangat melainkan sebenarnya adalah ibarat jamur meski sama-sama jamur tapi bukan jamur konsumsi melainkan jamur beracun. Yang terngiang di benak padi adalah tidak mau kehilangan orang tuanya, tidak ingin jika semua benar yang temannya sampaikan. Hingga terbawa-bawa mimpi, hingga membuatnya demam karena tidak bisa menyampaikan perasaannya kepada orang tuanya, belum bisa mengungkapkan rasa hatinya, yang ada hanya menangis dan karena tidak mau lagi mendengar hal yang tidak dia suka, akhirnya Padi lebih suka sendiri saat di sekolah.

Selain di kantin dan di perpustakaan tidak ada tempat lain yang mau Padi singgahi untuk mengisi waktu kala jam pelajaran istirahat. Tentu itupun butuh waktu tidak mudah bagi Padi melupakan kata-kata tersebut. Beruntung ada asisten di rumahnya yang merawat dan menyayangi seperti anaknya sendiri. Padi bisa menceritakan tentang kejadian yang dia alami kepadanya. Hingga pernah sampai Padi demam lantaran di beri surat perpisahan oleh temannya, yang berisikan permintaan maaf dan tidak ingin menjadi kenangan. Tentu itu berat bagi Padi hingga tulisan tersebut membuatnya menangis seharian, membuatnya demam hingga harus di rawat di rumah sakit. Dan hal itulah yang membuat orang tuanya segera ambil keputusan untuk pindah sekolah, setelah beberapa bulan orang tua mendampingi, kesehatan dan mentalnya mulai membaik dan juga teman-temannya di sekolah yang baru terlihat akrab, membuat orang tua Padi tidak lagi risau untuk meninggalkannya kembali.