Matahari telah tampak. Sinarnya menyelinap dari celah-celah gorden di kamar yang ditempati oleh Asia. Kedua matanya lantas terbuka dan terpaku melihat Alexi menatapnya dengan senyuman. "Selamat pagi, sayang."
Asia terlonjak dan menjauh dari Alexi. "Selamat pagi." balas Asia gugup.
Duak!
"Asia! Tuan Alexi diculik dia tak ada di kamarnya!?" Suara lantang Adya yang panik menggema di kamar tamu. Mata pria itu melongo melihat Alexi berada di atas ranjang bersama Asia.
"Adya, tenanglah aku ada di sini." kata Alexi ingin Adya tenang. Adya memang selalu overprotektif padanya.
"Tuan kenapa ada di sini? Aku hampir saja menelepon polisi!" kata Adya kesal.
"Maaf, kau tahu bukan tadi ada malam ada badai dan petir, aku ketakutan jadi aku datang ke sini." balasnya Cengengesan.
"Huft ... menyebalkan. Seharusnya kalau kau ketakutan, kau datang saja padaku biar aku yang ambilkan penyumbat telinga kau tak perlu datang ke gadis gila ini." ujar Adya seraya menunjuk Asia.
"Apa katamu? Gadis gila?!"
"Tentu saja kau gadis gila! Kau beraninya menyemprotkan merica pada Tuan Alexi dan asal kau tahu saja, Tuan Alexi tak pernah mendapat perlakuan tak pantas seperti yang kau lakukan."
"Katakan sekali lagi biar aku merobek mulutmu!"
"Kalian berdua tenanglah. Adya jangan marahi Asia, harusnya kau berterima kasih karena dia aku bisa tidur dengan nyaman semalam. Aku senang kok bisa tidur ditemani Asia, ya hitung-hitung pelajaran nanti kalau aku sudah jadi suami dia." Asia mencebik.
"Kau terlalu percaya diri." Gadis itu beranjak menuju kamar mandi. Mencuci muka sebentar lalu memakai sepatu dan membawa semua barang-barangnya sedang Alexi bersama Adya sudah tak berada di kamar itu.
Lekaslah Asia menuju pintu rumah Alexi, berharap agar tak ada kejadian seperti kemarin. Baru saja dia keluar, Asia langsung dirangkul oleh seseorang. Sudah pasti orang yang merangkulnya adalah Alexi. "Kau mau ke mana sayang? Sarapan dulu, baru kau bisa keluar. Nanti aku yang akan membawamu pulang."
Asia mendengus tetapi tak bisa berbuat apa-apa saat Alexi menyeretnya menuju ruang makan. Adya telah menyiapkan makanan untuk tiga porsi. Kendati dia tak menyukai Asia, namun karena Alexi memintanya untuk memasak lebih akhirnya Adya mengalah.
Alexi lalu membuat Asia duduk di sisinya. "Makanlah, masakan Adya selalu enak." Sorot mata Asia lalu menangkap Adya yang langsung membalasnya dengan melotot.
"Untung Tuan Alexi berada di sisimu, jika tidak mana mungkin aku menyiapkan sarapan untukmu." katanya ketus.
Asia mendengus. "Kalau kau keberatan, ya sudah jangan membuatkanku sarapan aku tak memintanya kok!"
"Kalian berdua tenanglah, tak baik tahu marah-marah di depan makanan." tegur Alexi yang selalu menjadi penegah di antara mereka. Baik Asia mau pun Adya mereka sama-sama menarik napas berat dan mulai makan.
Tak lama Asia menghabiskan sarapan dengan cepat. "Mana kuncinya?" tanya Asia sambil memperlihatkan telapak tangannya pada Alexi.
"Tunggu sebentar ...." Alexi lalu menyesap kopinya hingga habis, menyeka mulutnya lalu berdiri.
"Ayo pergi."
"Tidak, aku mau pulang saja sendiri lagi pula aku sedang tak ingin ke kampus."
"Kan aku sudah bilang aku akan mengantarmu."
"Tidak usah, aku bisa sendiri."
"Sudahlah Tuan, kalau dia tak mau jangan memaksanya." kata Adya kesal melihat keduanya bertengkar di depannya.
"Adya ...." Suara Alexi terdengar agak parau tanda bahwa dia tak suka dengan perkataan sang sekretaris. Asia mendecak kesal lalu bergerak ke pintu beserta Alexi yang mengikutinya dari belakang.
"Alexi, ayo buka." Pria itu menurut dan segera membuka pintu. Alangkah terkejutnya mereka berdua mendapati seorang wanita cantik tengah berdiri di depan mereka.
Mata wanita itu tertuju pada Alexi dan mengembangkan senyuman. "Sayang." Wanita itu lantas memeluk Alexi. Alexi berusaha cepat-cepat melepaskan pelukan, kedua matanya menatap pada Asia yang memutar matanya bosan.
"Aku rindu sama kamu Alexi, kenapa kau tak bilang kau pindah ke Jepang." kata si wanita. Dia menampakkan wajah cemberut karena Alexi melepaskan diri darinya.
"Kenapa aku harus mengatakannya, kita ini sudah putus Nandini."
"Tapi Alexi aku masih sayang sama kamu."
"Permisi, apa kau pacar pria gila ini?"
"Maksudmu, Alexi. Tentu saja aku pacarnya!"
"Tidak, dia bukan pacarku Asia. Dia mantan pacarku." bantah Alexi. Dia sangat berharap bahwa Asia mempercayainya.
"Hei memangnya aku peduli, kalau dia pacarmu atau bukan. Sekarang, urus wanita ini aku mau pulang dulu." Asia lalu melangkah keluar dari rumah Alexi, segera saja Alexi mendorong pelan Nandini dan meraih tangan Asia.
Karena hal itu, Asia kembali menoleh pada Alexi dengan tatapan bertanya seperti 'apa lagi yang kau inginkan?'
"Aku sudah bilang kalau kau akan diantar olehku jadi ayo kita pergi."
"Tidak, aku bis-- hei apa yang kau lakukan? Alexi!" Tubuh Asia yang mungil diangkat mudah oleh Alexi dan ditempatkan di salah satu pundaknya. Alhasil, Alexi menggendong Asia menuju garasi rumah.
Pria itu sama sekali tak kesulitan meski Asia memberontak. Dia juga dengan cepat memasukkan Asia ke dalam mobil dan memasangnya sabuk pengaman. "Alexi lepaskan aku! Aku bisa ...."
Mendadak dagunya dicengkram oleh Alexi dan diangkat agar keduanya saling menatap. Asia membeku kala melihat tatapan Alexi yang datar. Tak ada senyuman atau wajah Alexi yang ramah.
Satu hal yang dipikirkan oleh Asia. Menakutkan!
"Kenapa Asia? Kok kau diam saja?"