Chapter 14 - Dia Pacarku

Ting tong

Maria dan Kaito menoleh ke pintu dan salah satu di antara mereka ingin berdiri untuk membuka pintu. Namun itu dicegat oleh Rani yang ingin membuka pintu dan begitu pintu terbuka Rani terkejut melihat Alexi tengah menggendong Asia yang masih terlelap.

"Malam Bibi," sapa Alexi seraya tersenyum.

"Malam Denzel-san, silakan masuk." Alexi mengumbar senyuman saat bertemu mata dengan kedua saudara Asia yang sontak berdiri melihatmya.

"Asia kenapa?" Ada nada kekhawatiran dari Rani ketika melihat putrinya itu tertidur.

"Tidak apa-apa Bibi, dia hanya kelelahan dan tidur. Apa aku boleh membawanya masuk ke dalam kamarnya?"

"Mari ikuti saya." Rani lalu mengambil tempat di depan untuk menunjukkan jalan menuju kamar Asia. Sampai di dalam, Alexi meletakkan tubuh Asia ke atas ranjang dan menyelimutinya agar hangat.

Lalu mereka keluar. Rani menutup pintu dan melihat pada Alexi. "Terima kasih Denzel-san, karena anda mau mengantar putri saya hingga ke rumah."

"Tak apa-apa Bibi sudah tugasku sebagai calon suami,"

"Hah?"

"Maksudku sebagai kolega kalian. Oh iya, apa Paman ada aku ingin bertemu dengan kalian." Tak lama datanglah seorang pria dengan raut wajah cemas.

"Asia, di mana dia? Katanya dia pingsan, apa dia baik-baik saja?" tanya Karma panik.

"Tenang Karma, dia hanya ketiduran. Berterima kasihlah pada Alexi Denzel, dia membawa putri kita sampai ke rumah." Karma lantas membuang napas lega.

"Terima kasih Alexi,"

"Sama-sama Paman. Ngomong-ngomong aku ingin bicara sama Paman, apa kita bisa ke ruang kerja Paman?"

Ayah dari Asia tak curiga lalu mempersilakan pria itu masuk ke dalam ruang kerjanya. "Jadi kita langsung ke intinya. Aku mencintai Asia," kedua mata Karma membelalak sempurna.

"Dan aku ingin memperistrinya. Apa Paman bersedia memberikan putri Paman itu padaku?" Lagi-lagi tampak raut wajah cemas dari Karma.

"Itu ... itu tergantung kepada Asia. Aku hanya setuju saja jika dia mau denganmu." Alexi tersenyum.

"Baiklah. Aku sudah meminta izin dari Paman jadi aku tak ingin Paman memprotes kalau aku diterima olehnya."

*****

Keesokan paginya, Asia menuju kampus dengan muram. Dia mendengar cerita dari Maria tentang dirinya yang dibawa oleh Alexi belum lagi perbincangan antara pria gila itu dan sang Ayah.

"Selamat pagi calon istriku." Dia mendongak menemukan Alexi tersenyum cerah.

"Kebetulan sekali, aku ingin bicara serius sama kamu."

"Tentu ada apa?"

"Apa yang kau bicarakan dengan Ayahku?"

"Masalah pekerjaan." jawab Alexi lugas tanpa ada kecacatan sekali pun.

"Serius?"

"Iya. Kau tahu, kan aku kolega Ayahmu. Kami membicarakan bisnis."

"Bukan tentang kita?"

"Bukan tentang kita kok. Ya kalau aku mau bicara tentang hubungan kita aku maunya kamu udah setuju nikah sama aku." Alexi tersengih ketika mengatakannya sedang Asia menyeringit jijik.

"Ogah!" Asia melangkah pergi sedang Alexi mengikutinya.

"Aku yakin suatu saat kamu pasti suka sama aku dan akhirnya nikah denganku." Asia tak menggubris dirinya terus berjalan.

"Jadi apa kau suka denganku?"

"Tidak."

"Sekarang?"

"Takkan pernah."

"Kalau menikah denganku?"

"Itu juga ya."

"Hah? Kau mau menikah denganku?"

"Maksudku aku tidak akan mau menikah denganmu!"

"Ayolah menikah denganku!"

"Tidak!"

"Apa sekarang sudah mau?"

"Tidak!" Langkah Asia mendadak berhenti melihat sosok laki-laki yang menyebabkan dirinya menangis kemarin. Karena hal itu, Alexi berhenti juga dan menangkap sosok pria yang tengah ditatap oleh Asia.

Sekali lihat Alexi sudah tahu pria di depannya bersama seorang gadis yang merangkul mesra adalah Hideyoshi dan pacarnya. Dia penasaran apa yang akan dilakukan gadis berusia 18 tahun tersebut. Tiba-tiba saja lengan Alexi ditarik sementara Asia memantapkan langkah dengan tujuan mantan pria pujaan.

"Selamat pagi Asia, bagaimana kabarmu?" sapa Hideyoshi melihat sosok Asia yang berjalan mendekat.

"Pagi juga, kapan kau datang?"

"Tadi pagi. Oh iya perkenalkan ini Nina, pacarku. Nina, ini temanku Asia." Asia dan Nina sama-sama melempar senyuman.

"Dia siapa?" tanya Hideyoshi melihat pada sosok Alexi. Asia melihat pada Alexi dan menarik Alexi lebih dekat lagi.

"Dia Alexi Denzel, pacarku." Mata Alexi membelalak lalu senyuman cerah tampak.

"Ya, kami berpacaran." ucap Alexi seraya merangkul pundak Asia.

"Benarkah? Wah, selamat ya."

"Ya, kau juga. Aku harus pergi, ayo Alexi kita pergi." Alexi menurut dan melangkahkan kaki mengikuti Asia. Begitu menjauh Asia mendorong Alexi agar tak mendekat.

"Loh sayang kenapa kau melepaskan rangkulannya?"

"Karena kau bukan pacarku!"

"Terus kenapa kamu bilang kita pacaran sama pria itu? Apa kau cemburu padanya?"

"Itu bukan urusanmu!" Asia ingin melenggang pergi tetapi lengan Asia dicegat oleh Alexi yang menariknya sekali lagi. Seakan tahu, Asia memalingkan wajahnya agar tak bertatap muka. Dia tak ingin bibirmya kembali dinodai lagi oleh pria yang berbeda usia dengannya itu.

"Jangan begitu, Asia. Ayo tatap aku." Asia menggeleng tegas.

"Nanti kau menciumku lagi, aku tak mau."

"Tidak, sayang. Aku tak akan melakukannya."

"Bohong! Kau pasti melakukannya dan sungguh aku tak mau berciuman denganmu!"

"Kalau begitu dengarkan aku ... aku benci jika kau cemburu pada pria itu!" Mata Asia yang tertutup membuka dan memandang Alexi.

"Aku benci melihatmu sedih hanya karena pria yang sama sekali tak tahu perasaanmu, aku benci melihatmu menangis. Biarkan aku masuk dalam hatimu Asia, aku janji tak akan melukaimu dan kita akan jadi pasangan bahagia." Asia masih belum membuka suara.

"Apa kau mau menikah denganku?" Pertanyaan dari Alexi membuat Asia termenung sebentar. Asia sudah mendengar pertanyaan itu beberapa kali tapi dia selalu menolak. Sekarang, entah kenapa dia bimbang ... bimbang karena memikirkan apa yang dia inginkan di saat hatinya tersakiti.

Alexi melepas genggaman memberikan ruang untuk Asia menjawab. Setelah mereka agak lama diam, Asia menggelengkan kepala. "Maaf Alexi ... aku belum siap. Aku ingin meraih cita-citaku sebagai seorang pelukis."