Chapter 18 - Masalah (3)

Sampai di rumah sakit, Asia segera dirawat. Setelah disuntik kram dokter kemudian menusukkan jarum di luka milik Asia guna dijahit. Adya yang melihat hal itu bergidik ngeri tapi tidak dengan Asia malah dia tersenyum pada Adya.

Wajah pria itu pucat pasi melihat dengan mata kepala sendiri proses penjahitan. Jujur, di mata Adya itu jauh lebih mengerikan ketimbang disuntik. "Kau takut ya?"

"Memangnya kau merasa tak ngeri melihat dirimu dijahit seperti itu?" balas Adya ketus.

"Kalau kau tak mau melihat ya sudah pergi sana!" Adya mencebik kemudian berjalan keluar. Dari arah sebaliknya Alexi datang setelah mengurus administrasi.

"Bagaimana keadaannya?"

"Baik." jawab Adya singkat dan berlalu dari tempat tersebut. Alexi masuk di ruang dokter. Dia menemukan si dokter memperban luka Asia.

"Untuk sementara jangan terlalu menggunakan tangan kananmu nanti lukanya akan terbuka lagi."

"Kapan luka ini akan sembuh dok?"

"Kalau melihat dari lukanya istirahatlah selama seminggu." Asia terlihat tak nyaman dan bertanya lagi pada dokter.

"Apa itu berarti saya tak akan bisa melukis dulu?"

"Iya." Dokter lalu keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Alexi bersama Asia. Pria itu mendekat dan menepuk kepala Asia yang masih memperhatikan lukanya.

Asia lantas mendongak. Dia tertegun beberapa saat ketika melihat Alexi tersenyum. "Kau berani sekali." Sebagai jawaban Asia hanya menggumam tak jelas.

"Terima kasih sudah mengantarku ke rumah sakit dan untuk biaya administrasinya pasti aku akan ganti."

"Tak usah, kamu ini calon istriku." Tatapan Asia berubah menjadi masam. Harusnya dia tak berterima kasih pada Alexi, percuma berbicara dengan pria gila seperti dia.

"Tidak, aku tak mau berhutang pada siapa pun termasuk kau jadi berikan aku nomor rekeningmu biar nanti aku mengirimkan uangnya." Tampak seringai muncul dari Alexi.

"Aku tak mau uang tapi aku ingin sesuatu darimu."

"Apa itu?" Alexi meletakkan tangannya di belakang kepala milik Asia dan menariknya lebih dekat. Tahu yang dimaksud, Asia segera mencegat tindakan Alexi dengan menahan tubuh pria itu dengan kedua lengannya.

"Apa kau menginginkan ciuman dariku?" Senyuman dari Alexi membuat semuanya jelas. Asia mendengus lalu menampar wajah Alexi pelan.

"Dengarkan aku baik-baik, aku bisa memberikanmu apa saja asal jangan tubuh atau ciuman dariku."

"Tapi aku menginginkanmu sayang."

"Kalau aku bilang tidak, ya tidak!" Alexi menyerah berpikir sejenak kemudian menjetikkan jari.

"Bagaimana jika kau menemui calon mertuamu?" Asia mengerutkan dahi.

"Calon mertua?"

"Iya, Ayah dan Ibuku. Mereka akan datang saat ulang tahunku untuk mengucapkan selamat bisa, kan kau menemui mereka?"

"Bagaimana jika aku menolak?"

"Ya jika kau menolak maka bersiap-siaplah aku akan mengambil keuntungan darimu." kata Alexi seraya memandang Asia dari atas ke bawah.

"Ba-baiklah aku akan menuruti perintahmu." Pria itu tersenyum dan menepuk kepala Asia. Dirinya sukses mengintimidasi calon istrinya itu.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa ke sana?"

"Oh sejak tadi pagi aku merasa tak enak jadi aku mencarimu dan berjalan di tempat yang sering kau lalui. Kekhawatiranku akhirnya terbukti."

"Oh begitu ... sekali lagi terima kasih ya. Oh ya jangan katakan ini pada kedua orang tuaku, mereka pasti akan menginterogasiku kalau mereka tahu masalah ini."

"Tidak akan sayangku, aku mana mungkin membuatmu terlibat dalam masalah." Dering ponsel menghentikan percakapan keduanya, Alexi segera mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang menelepon.

"Halo,"

"Halo, kami dari kepolisian. Apakah anda yang menelepon ambulans untuk segerombolan gadis?"

"Ya, itu aku. Ada apa?"

"Mereka mengatakan bahwa anda membawa pelaku pemukulan mereka jadi saya harap anda datang membawa gadis itu untuk kami tindaklanjuti kasus ini." Sepasang mata Alexi berubah menjadi tajam.

"Tidak, Asia tak akan ke sana. Dia yang menjadi korban dan asal kau tahu saja luka Asia sangat parah melebihi mereka."

"Tapi kami harus menjalani prosedur. Jika tidak kami akan menangkap tersangka." Mendengar itu rahang Alexi mengeras. Asia segera menepuk pundak Alexi dan meminta ponsel milik Alexi untuk berbicara dengan si polisi.

"Halo, ini dengan Asia. Aku akan datang ke sana untuk menyelesaikan masalah, secepatnya." kata Asia singkat padat dan jelas. Dia lalu menutup telepon.

"Ayo kita pergi kita bereskan masalah ini secepat mungkin." ujarnya seraya berjalan meninggalkan Alexi.

*****

"Apa maksudmu dengan kami yang memulai kau yang membuat kami babak belur seperti ini?!"

"Itulah kenyataannya. Pak, tadi siang mereka datang ke ruangan ekstrakulikuler hanya untuk mengancam saya dan ketika pulang mereka menghadang saya wajar, kan pak kalau saya membela diri?"

"Tapi Nona anda yang memukul mereka semua?"

"Dan aku juga terluka ... lihat salah satu dari mereka menusukku dan aku menerima beberapa jahitan menurut polisi mana yang lebih parah? Mereka atau aku?!" Galaknya Asia membuat polisi itu tak bisa berkata apa-apa selain menunjukkan ekspresi ketakutan.

"Baiklah Nona sabar jangan marah dulu kami sadar jika masalah ini hanyalah masalah kecil dan kalian hanya kami hukum dengan menandatangi perjanjian agar kalian tak berbuat hal seperti ini lagi." Asia mengambil perjanjian tertulis tersebut, membaca sebentar kemudian menandatangani surat tersebut.

"Oh ya kalian beri nomor orang tua kalian biar kami menghubungi mereka untuk menjemput mereka pulang." Gerakan Asia terhenti, matanya yang masih fokus pada surat perjanjian tampak membuka lebar.

Dia tak ingin masalah ini sampai diketahui oleh kedua orang tuanya. "Maaf untuk gadis ini biar aku yang mengantarnya pulang." Asia menoleh pada Alexi yang sedari tadi berada di sampingnya dalam diam.

Salah satu tangannya dia tempatkan pada kepala Asia dan mengusap rambutnya secara pelan. "Kau wali dari gadis ini?" Alexi tersenyum manis.

Para gadis yang berada di ruangan yang sama terpesona akan senyuman yang disunggingkan oleh Alexi. "Lebih tepatnya aku suaminya dan dia adalah istriku."