"Selamat pagi Ibu, bagaimana kabarmu dan juga Ayah?" tanya seorang pria yang tengah asyik membuat sarapan sambil melakukan video call dengan Ibunya.
"Baik. Bagaimana denganmu? Apa kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita bernama Wenda.
"Iya Ibu. Aku baik-baik saja dan aku sibuk. Hari ini aku akan ke kampus untuk memonitor keadaan di sana. Beberapa fasilitas dan lain-lain. Aku juga punya beberapa pertemuan penting." jelas si pria.
"Ok, Ibu mengerti. Asal kau jangan lupa jaga kesehatan. Kau itu berada di negeri orang dan sendiri." sahut Wenda sekali lagi. Bukannya mengangguk pria itu malah tertawa kecil.
"Ibu aku bukan anak kecil lagi. Aku Alexi Denzel, anak dari Axton Denzel dan Wenda Kusumo. CEO dari Denzel Company cabang Jepang dan jangan lupa umurku sudah 26 tahun. Lagi pula aku tinggal di sini tidak sendiri tapi dengan sekretarisku, Adya."
"Pagi Tuan." sapa seorang pria yang baru saja keluar dari kamarnya dan terkejut melihat Alexi dengan celemek telah memasak makanan.
"Pagi Adya."
"Ya ampun Tuan! Jangan bermain di dapur bagaimana jika tangan Tuan kotor atau kulit anda tergores!?" Alexi tak mempedulikan omelan pria bernama Adya itu dan fokus kembali pada Wenda.
"Sudah lihat bagaimana reaksinya? Sudahlah jangan khawatir aku akan baik-baik saja. Dah Ibu!" Telepon ditutup, Alexi kembali memusatkan perhatian pada Adya.
"Hei sudahlah jangan panik begitu, ayo makan sarapanmu dan kau juga harus mandi!" Adya memasang wajah kesal. "Tuan kenapa anda tak membangunkan saya biar saya saja yang melakukannya."
"Aku sudah melakukannya tapi kau tak pernah bangun ya sudah aku masak saja duluan." balas Alexi sama halnya dengan Adya kesal.
*******
"Selamat pagi Mommy," sapa Kaito pada Rani yang sibuk menyiapkan sarapan.
"Selamat pagi, Kaito." Kaito lantas bergabung dengan Ayahnya- Karma dan juga sang adik- Maria yang terus memandang layar smartphone.
"Maria, tinggalkan ponselmu kita sedang sarapan sekarang." Maria menatap pada Karma yang menegur lalu setelah mendengus Maria memasukkan ponselnya di tas.
"Loh Asia masih di kamar?" tanya Rani melihat belum ada anak keduanya itu. Maria pun mengangguk sebagai jawaban.
"Asia! Sarapannya sudah siap, ayo turun makan!"
"Iya Mommy, sabar!" balas suara seorang gadis dari dalam kamar. Dia terus berdecak kesal karena tak menemukan kuas yang baru saja dia beli kemarin. Apa kuas itu punya kaki lalu bersembunyi di tempat yang Asia tak lihat?
Di dalam kamar gadis yang telah berusia 18 tahun itu sangatlah berantakan. Banyak sekali kuas yang telah usang dipakai terjejer rapi begitu juga dengan kaleng cat dan juga alat-alat untuk melukis.
Meski berantakan tapi ada beberapa benda seperti kanvas yang memiliki lukisan yang sangat indah dan semuanya dibuat oleh Asia yang memang ingin menjadi seorang pelukis. "Asia!"
"Iya, iya aku datang!" Gadis itu sedikit merapikan rambutnya kemudian mengambil tas lalu bergerak turun menghampiri keluarganya. Tampaklah raut wajah kesal dari Rani, Ibunya yang sedari tadi memanggil dirinya.
"Kenapa kau lama sekali turunnya?"
"Dari tadi aku mencari kuas yang baru saja aku beli kemarin tapi tak ada." lirih Asia cemberut dan juga menunduk takut kena marah Rani.
Rani membuang napas berat. "Kenapa tidak bilang dari tadi?" Kemudian wanita itu pergi sebentar lalu datang lagi dengan membawa kuas di tangannya.
"Apa ini kuasnya?" Asia mendongak dan tersenyum kala melihat ditangan Rani ada kuas yang dia cari.
"Mommy hebat sekali, di mana Mommy dapat?" Lagi-lagi Rani membuang napas kasar.
"Mommy mendapatkannya di atas meja ruang tamu. Makanya jaga baik-baik barangmu, kau ini sudah mau dewasa tapi tingkahnya masih kekanak-kanakan." Asia tersengih.
"Mommy, i love you." ucap Asia sambil memberikan tanda hati dengan kedua jarinya.
"Sudah jangan banyak tingkah, ayo makan." Mereka beempat lantas mengambil lauk pauk yang tersedia setelah sebelumnya meminum air seraya berbincang-bincang ringan.
"Asia, Maria. Aku pulang cepat loh hari ini, rencananya mau ke alun-alun untuk bertemu dengan beberapa teman kalau kalian mau pulang aku bisa antar kalian duluan kok."
"Tidak Abang, aku sedang punya janji dengan Daniel. Dia bilang juga akan menjemputku hari ini." tolak Maria.
"Aku juga. Hari ini aku sedang sibuk dengan melukis. Model pria akhirnya datang dan dia bilang tak punya banyak waktu jadi dia minta aku melukisnya hari ini juga." sahut Asia yang juga menolak.
*****
"Selamat pagi," sapa Asia pada Emi, sahabatnya.
"Selamat pagi. Oh ya hari ini maaf ya aku tak bisa menemanimu untuk melukis ternyata ada tugas kelompok yang tak bisa aku lewatkan. Apa tak apa-apa?"
"Tentu saja. Kalau boleh tahu bagaimana sepupumu itu supaya aku bisa mengenalnya sskali lihat." Emi berdeham sebentar kemudian membuat jarak keduanya menipis.
"Dia itu nyentrik." Alis Asia mengerut.
"Maksudnya?"
"Dia itu sering pakai baju yang aneh-aneh. Pokoknya kalau kamu lihat dia pasti langsung kenal." kata Emi seraya berjalan.
"Tapi bagaimana dia?" Emi membuang napas setelah menghentikan jalannya dan memalingkan wajahnya ke arah Asia yang memakai tampang bodoh.
"Dia itu sering pakai jas kemana-mana layaknya orang kaya. Jangan tertipu dengan wajahnya yang tampan begitu juga sikapnya. Dia benar-benar licik." Mendadak Asia bertepuk tangan.
"Wow, Emi. Baru kali ini aku mendengar seseorang menjelekkan sepupumu sendiri."
"Serius jangan tertipu dengan mulutnya yang kemanisan layaknya gula!"
"Iya, iya ayo kita pergi nanti kita terlambat masuk ke kelas." balas Asia dengan nada malas.
Tak jauh dari mereka Alexi beserta sekretarisnya yang sangat protektif pada Alexi, Adya bertemu dengan pemilik kampus. Keduanya berbincang sebentar kemudian melakukan tur untuk melihat beberapa fasilitas.
Mereka pun mengelilingi semua bangunan kampus yang membutuhkan banyak sekali waktu dan berakhir di fakultas kesenian. Alexi yang seharian merasa bosan pun mengantuk. Dia sering kali menguap saat Pemilik Kampus menerangkan. "Permisi aku harus pergi dulu untuk cuci muka di mana toilet."
"Di sana Tuan."
"Terima kasih." Seraya berjalan Alexi terus saja menguap dan meyakinkannya harus mencuci muka terlebih dahulu.
Begitu sampai, Alexi membasuh mukanya lalu menatap sekilas pada cermin kemudian mengambil sapu tangan yang sering dia bawa untuk menjadi pengelap wajahnya yang tampan.
Dia pun keluar menuju Pemilik dan Adya tapi tak jauh dari tempatnya berdiri sesosok gadis menatap kesal ke arahnya. Tubuhnya yang mungil menghalangi jalan dari pria itu. Alexi tak tahu kenapa dia dilihat seperti itu oleh si gadis. Namun pekerjaan menunggunya, dia harus melewati si gadis. "Permisi ...." ucap Alexi begitu dirinya dekat dengan orang asing tersebut.
Alexi lantas melewati si gadis namun sungguh diluar dugaan dasi Alexi tiba-tiba saja ditarik dan alhasil pria itu tertarik mendekat ke wajah si gadis asing. Nyaris saja mereka ciuman tapi wajah gadis itu sama sekali tak berubah.
Matanya sangat tajam jika dilihat lebih dekat. "Kau sudah terlambat tahu!? Aku menunggumu dari jam satu siang dan lihat ini sudah jam berapa ... jam tiga sore. Kau membuang-buang waktuku! Huh, lebih baik dari tadi aku ikut saja dengan Abang Kaito!"
Jujur Alexi tak tahu kenapa gadis di depannya ini mengomel padanya. Sungguh dia tak pernah punya janji dengan seorang gadis. Terlebih dengan gadis yang menurutnya kasar itu. "Mm ... maaf aku tak mengerti apa maksudmu?"
Pegangan dasi sudah terlepas. Si gadis bersidekap dada sambil melihat Alexi dari atas ke bawah. "Hmm ... kau boleh juga. Umurmu berapa?"
"26 tahun." Si gadis mengangguk pelan.
"Ayo masuk. Kita selesaikan semuanya agar bisa cepat pulang."
"Menyelesaikan apa?" Asia mengembuskan napas.
"Menyelesaikan lukisanku. Kau modelku bukan?" Alexi tercekat.
"Mm ... itu ...." Alexi tak bisa berkata apa-apa lagi karena si gadis yang ternyata adalah Asia memegang salah satu tangannya. Menyeretnya masuk ke dalam ruang kesenian. Pria itu ingin mengatakan bahwa dia bukanlah pria yang Asia maksud. Dia tengah menarik pria yang salah.