Chapter 4 - Calon Istri

Sepulang dari kampus, Alexi memutuskan menghubungi Ibu dan Ayahnya karena suasana hatinya sedang baik. "Apa Tuan yakin mau membicarakan hal itu pada Nyonya dan Tuan besar?"

"Tentu saja. Kenapa tidak? Aku ingin mengatakan bahwa tak lama lagi akan ada menantu baru bukankah mereka seharusnya senang?" Segaris senyuman kecut ditampakkan oleh Adya.

"Entah kenapa saya merasa itu tak ada gunanya, Tuan. Lihat saja bagaimana dia memperlakukanmu dari tadi, kasar sekali. Dia juga dengan berani mengumpat pada Tuan tapi Tuan kekeh ingin membuatnya menerima lamaran Tuan. Saya rasa itu tidak mungkin sama sekali."

"Adya jangan pesimis dulu. Ini baru pertama kalinya aku melamar dia dan aku yakin suatu hari dia pasti akan menerima lamaranku,"

"Lalu kapan suatu hari itu?" Alexi termenung sebentar lalu mengulas senyuman dan menghubungi kedua orang tuanya tanpa menjawab pertanyaan Adya yang kini mendecak kesal lalu melengos masuk ke dalam kamar.

"Halo, Ibu, Ayah." Tampaklah Wenda dan Axton yang memang menunggu putra tunggalnya itu melakukan video call.

"Halo. Bagaimana kabarmu?" tanya Axton. Dia memang sudah lama tak bertegur sapa dengan Alexi dikarenakan pekerjaan.

"Baik."

"Kalau pekerjaanmu?"

"Semuanya baik-baik saja Ayah. Jangan khawatir. Bagaimana dengan Ayah? Apa Ayah baik-baik saja?"

"Tentu saja Alexi. Nah sekarang katakan apa yang membuatmu menghubungi kami begitu cepat. Ada apa?" Alexi tersenyum cerah.

Dia pun menceritakan apa yang terjadi satu hari itu dan mengatakan kekagumannya pada gadis yang baru dia kenal. Asia. "Dia gadis yang berbeda Ibu, Ayah dan aku rasa ... aku menemukan gadis yang cocok untukku. Semoga saja dia menerima lamaranku dan akhirnya Ibu dan Ayah bisa gendong cucu."

Axton dan Wenda sama-sama tertawa kecil sembari menggelengkan kepala. "Terserahlah apa yang kau inginkan. Ibu hanya bisa menyemangatimu dan kau juga jangan memaksakan kehendak. Apa kau mengerti?"

"Tentu Ibu. Lalu ayah apa yang ingin kau katakan?"

"Semoga berhasil." Setelahnya mereka bertiga menyelesaikan perbincangan dan mematikan video call tersebut.

****

Asia yang telah sampai di rumah membuang napas kasar saat dirinya berbaring di ranjang berukuran normal. Suara ketukan menginterupsi dan segera saja Asia menyuarakan agar si pengetuk masuk ke dalam kamar.

Tampaklah Maria yang telah lebih dulu pulang. "Ada apa?" Maria menampakkan senyuman tipis.

"Kau berutang penjelasan padaku." Asia mendengus pelan. Dia lantas memosisikan dirinya duduk lalu mulailah dia bercerita kejadian apa yang menimpanya sedang Maria menjadi pendengar yang baik.

"Oh begitu, sekarang dia ingin kakak menerima lamarannya?"

"Bukankah itu gila? Seenaknya saja melamar orang! Dia pikir aku gadis gampangan apa?!" Bukannya menunjukkan rasa prihatin Maria malah tertawa.

"Kak yang tak wajar itu kalau dia melecehkan kakak, buktinya pria itu melamar kakak ya artinya dia serius dan hormatin kakak sebagai seorang wanita ya dari pada harus pacaran dan akhirnya dia memperlakukan kakak secara tak manusiawi."

"Ih, kok kamu bela dia?!"

"Bukannya bela kakakku sayang tapi hanya memberitahu saja. Tapi itu terserah kakak deh, aku tak maksa karena kebahagiaan kakak jauh lebih penting. Aku pergi dulu, terima kasih atas ceritanya." ujarnya sambil melangkah keluar meninggalkan Asia yang termenung sendiri.

Esok harinya, pada pagi hari yang cerah Asia berharap semoga hari ini jauh lebih baik dari hari yang kemarin. Hanya saja, itu cuma impian semata. Ketika dirinya sampai ke tempat kampus dia melhat Alexi telah berada di sana dengan senyuman.

Mau apa dia lagi? begitulah pikiran Asia. Gadis itu menghentikan langkahnya sebentar, mendecak kesal akhirnya Asia melangkah lagi mendekat namun dia berusaha mengabaikan Alexi dengan cara melewatinya.

"Asia!" Gerakan kaki Asia berhenti sesaat tetapi tak menoleh sedikit pun Asia kembali berjalan. "Asia! Calon istriku!" Kali ini Asia memutar tubuhnya kemudian cepat-cepat mendekat lalu membekap mulut Alexi yang terus saja memanggilnya sebagai calon istri.

Bagaimana tidak? sebab perkataan Alexi, Asia sontak menjadi pusat perhatian dari mahasiswa yang ada disekitar. "Bisakah kau mengunci mulutmu itu? Bikin malu tahu! Lagi pula kenapa kau memanggilku dengan sebutan calon istri? Kita ini kan tak saling mengenal."

Alexi melepaskan bekapan mulut Asia. Menarik senyuman menawan, dia mulai membuka suara. "Aku hanya mengatakan hal sebenarnya. Kau memang calon istriku cepat atau lambat."

Asia menampakkan wajah galaknya. Berusaha menahan amarah yang membuak-buak dalam diri. "Kali ini kau selamat dariku karena ini masih jam kampus, jika tidak awas saja kau!?"

Gadis itu kembali bergerak maju namun itu sebelum mendengar Alexi menyahut. "Aku di sini hanya ingin melihatmu saja, aku juga ingin mengatakan kalau setiap hari aku akan ada di sini baik pagi mau pun sore dan aku jamin kau tak akan bisa bersembunyi dariku."

Asia menoleh lagi pada Alexi. Dia menjulurkan lidahnya tanda mengejek. "Coba saja kalau kau bisa," Alexi tertegun sesaat lalu menggaris senyuman.

"Baiklah, selamat tinggal calon istri!" Asia mengumpat mendengar suara Alexi yang tinggi. Tak tahan dia menutup wajahnya dengan tudung jaket. Alexi lantas masuk lagi ke dalam mobil di mana Adya sedang menunggu bosan.

"Jadi Tuan datang ke sini hanya untuk menyapa gadis itu? Sial Tuan, aku pikir ada sesuatu yang sangat penting. Karena kau aku hampir saja menabrak beberapa orang dan mobil, tak mematuhi lalu lintas dan kau ...."

"Jalan Adya, aku tak mau terlambat ke kantor." potong Alexi tanpa ambil pusing dengan omelan sang sekretaris.