Setelah berbulan-bulan lamanya, William menyiapkan segala kemampuannya dalam menjadi seorang mata-mata dan mencoba berfikir layaknya mafia. Kini ia siap meninggalkan kantor CIA dan pergi menjalankan misinya. Malam itu, ia mengajak Cecil, Rika, Jack, Catherine dan Ara makan malam di sebuah restaurant yang ia pesan khusus sebagai bentuk terima kasih dan perpisahan.
"William, kau berlebihan," ucap Rika sembari memotong daging steaknya ditemani lantungan musik Jazz dari band pengiring makan malam mereka.
"Aku kan pernah mengajakmu makan malam, tapi kau selalu menolaknya. Kali ini kau tak bisa kabur, aku sudah menyiapkan semua," ucap William dengan pistol diarahkan ke tubuh Rika.
"Makan malam macam apa dengan sebuah ancaman seperti itu?" tanya Cecil heran yang ikut ditodongkan sebuah pistol oleh William.
William terkekeh.
"Kalian dua wanita tua yang menyebalkan. Semua wanita begitu mendambakan bisa makan malam denganku, tapi kalian. Haish ... aku bahkan sampai harus menyewa agent untuk menculik kalian berdua dan membawa kalian kemari," ucap William gusar.
Semua orang terkekeh mendengarnya sedang Catherine dan Ara merasa tersindir. Mereka mengakui jika mereka sangat mengharapkan makan malam romantis dengan William. Malah dikira Catherina, hanya ia saja yang diundang. Tapi, saat ia datang ternyata sudah ada Ara dan Jack di sana. Imajinasi Catherine pun kandas saat itu juga.
"Catherine, kenapa kau melamun. Apa kau tak suka makanannya?" tanya William yang melihat Catherine hanya menusuk-nusuk daging steaknya tanpa memakanya.
Lamunan Catherine buyar, ia langsung membetulkan posisi duduknya dan kembali bersikap anggun. Catherina benar-benar berdandan maksimal malam itu. Ia menggulung rambutnya dan memakai gaun hitam dengan belahan tinggi pada pahanya hingga terlihat kaki jenjangnya yang mulus.
"Ah tidak, makanannya enak. Aku hanya menikmati makan malam ini, yang lebih seperti ... makan malam keluarga," ucapnya canggung dan mulai meneguk winenya.
Ara dan Jack tersenyum tipis. Ia tahu maksud ucapan Catherine. Ara dan Jack cuek saja dan terlihat menikmati makan malamnya.
"Kau terlihat manis, Ara. Aku suka rambut barumu," ucap William tersenyum manis padanya.
Catherine tersedak, ia yang sangat mengharapkan pujian dari William malah tak mendapatkannya. Catherine terlihat kesal sembari menghapus bibirnya yang terkena luapan sedakan winenya sendiri.
"Thank you, William," jawab Ara dengan wajah imut Asia-nya.
Malam itu makan malam berjalan sempurna, meski William malah tak ikut makan karena kedua tangannya sibuk menodongkan senjata ke arah Rika dan Cecil sebagai bentuk ancaman agar mereka tak kabur dari makan malam yang ia rencanakan.
William pun mengantarkan Rika dan Cecil pulang. Jack pulang bersama Catherine dan Ara.
"Beruntung sekali chief Rika dan Cecil, bisa satu mobil dengan William," ucap Catherine sedih duduk di belakang dengan Jack sebagai sopir dan Ara duduk disebelah Jack.
Ara dan Jack menahan tawanya. Ara menoleh ke arah Catherine mengoloknya.
"Kau harus tua dulu, Catherine. Rika dan Cecil kan sudah hampir 60 tahun. Mungkin William akan tertarik padamu jika kau sudah setua mereka," ledek Ara.
"Diam, kau menyebalkan," gerutu Catherine sembari memalingkan wajah yang kini menatap ke luar jendela mobil.
Ara dan Jack tertawa, mereka sudah tak bisa menahannya. Obsesi Catherine pada William membuatnya malah seperti bahan lelucon dalam perjalanan pulang mereka.
Pagi itu William berpamitan dengan semua orang di markas CIA, Langley, Virginia. Semua orang menjabat tangannya dan terlihat sedih akan kepergiannya.
"Berhati-hatilah, William. Doaku selalu menyertaimu," ucap agent Cecil memeluknya erat.
"Thank you, Cecil. Jaga dirimu baik-baik, aku senang bisa mengenalmu, kau banyak membantuku saat itu."
Cecil melepaskan pelukannya dan menepuk bahu William kuat. Kini Rika berjalan mendekatinya dan ikut memeluknya.
"Jaga dirimu, anakku. Kau ini, benar-benar keras kepala," ucap Rika terdengar jengkel namun berlinang air mata.
William tersenyum dalam pelukannya.
"Aku juga akan merindukanmu, Bu," ucapnya sembari menepuk punggung tua Rika.
Rika melepaskan pelukannya dan menghembuskan nafas panjang. William menyentuh kedua pipi Rika lembut dan mencium keningnya dengan penuh perasaan. Semua orang tertegun, tak menyangka William akan melakukan hal itu. Rika menahan tangis harunya, ia baru menyadari jika William begitu menyayanginya. William tersenyum manis padanya. Semua orang tersenyum melihat William begitu perhatian pada ibu angkatnya.
"Baiklah, Jack, mobilku, please ..." ucap William sembari menyodorkan tangannya meminta kunci mobil yang dipegang Jack erat.
Jack berjalan mendekatinya dan memeluknya erat. William tertawa tanpa suara melihat Jack ikut memeluknya.
"Aku memberikan bonus kecil di dashboard mobilmu," ucapnya berbisik di telinganya.
William tersenyum tipis dan mengangguk paham. William pun bersalaman dengan Ara dan Catherine. Ia berjalan membawa koper kecilnya dan memasukkannya ke dalam bagasi belakang mobil. William beralih ke depan, membuka pintu mobilnya dan duduk di kursi kemudi. William membuka jendelanya dan melambaikan tangan dengan senyum merekah. Semua orang balas melambaikan tangan. William menghembuskan nafas panjang dan segera menginjak pedal gasnya, ia pergi meninggalkan markas CIA menuju ke mansion Axton yang berada di Boston, Amerika Serikat.
Perjalanan dengan mobil hampir 10 jam itu tak membuat dirinya jenuh malah semakin bersemangat. Ia yang sudah mempelajari tentang kehidupan Axton membuatnya jadi teringat akan dirinya dulu yang hampir mirip sepertinya, playboy dan suka main perempuan.
"Hmm ... sepertinya Axton akan cocok denganku," ucap William tersenyum miring.
Dengan kacamata hitamnya, William melaju kencang mustang hitamnya ke masion Axton yang terletak dekat pantai itu. Dalam pikirannya, ia hanya ingin segera menemui Sia, kekasihnya. Sia yang menghilang begitu saja, tak memberinya kabar, membuat William menjadi gila karena sangat merindukannya. Sepanjang perjalanan, ia mengingat semua kenangannya akan Sia. William tersenyum manis jika mengingat hal itu.
"Tunggu aku, Sia. Aku akan membawamu kembali dan ketika saat itu tiba, aku tak akan pernah melepaskanmu lagi, tak akan pernah," ucap William mantab dengan pandangan fokus ke jalanan.
Akhirnya William tiba di kota Boston, jadwal perekrutan baru akan dibuka esok hari. William menginap di sebuah hostel dekat dengan mansion Axton. Ia memarkirkan mobilnya di halaman hostel itu. Ia teringat akan ucapan Jack tentang hadiah kecil yang ia berikan di dashboard mobilnya.
Sembari meneguk beer dinginnya, William mendekati mobilnya dan duduk di kursi depan samping kemudi itu. Ia meletakkan botol beernya di tempat ia pernah meletakkan cup kopi saat Catherine pernah menumpang di mobilnya bersama Ara. William membuka dashboard mobil dan menemukan sebuah alat dengan catatan kecil tulisan Jack. William tersenyum miring.
Di sana tertulis, "Gunakan ketika keadaan sangat ... sangat ... genting! Jangan dicoba, itu hanya bisa dilakukan satu kali, jangan kau sia-siakan!"
William mengambil remote kecil seukuran jarinya itu. William menatapnya seksama, ingin rasanya ia memencet tombol itu, tapi ia menahannya. Ia memasukkannya kembali ke dashboard mobil dan menyobek kertas Jack dan membiarkan angin menerbangkannya.
William menyenderkan punggungnya pada dudukkan kursi itu dan menatap langit malam yang begitu bercahaya dengan taburan bintang. William kembali mengambil beernya dan meneguknya.
"Jangan kecewakan aku, Sia. Aku melakukan ini semua karena aku begitu mencintaimu," ucap William lirih menatap langit malam dengan wajah sendunya.