William bersama peserta nomor 13 masuk ke sebuah ruangan yang lebih mirip sebuah gudang. Mereka berdua berdiri berdampingan. Di sana sudah ada petugas yang menyediakan berbagai jenis senjata api dan senjata tajam.
Terlihat salah seorang petugas berwajah bengis maju perlahan dan memberikan instruksi kepada petugas lainnya untuk menyiapkan sesuatu. William memperhatikan gerak gerik mereka seksama.
Petugas itu memencet sebuah tombol hingga terlihat papan sasaran tembak dengan jarak yang beragam. William sudah bisa menebak tes selanjutnya. Ia tersenyum miring. Petugas berwajah bengis itu melihat ekspresi William. Ia bicara bahasa Rusia.
"Kau, yang bermata biru. Maju ke depan. Pilih senjatamu dan mulailah menembak," ucapnya tegas.
William tertegun sejenak. Ia yang selalu sigap di segala kondisi tak merasa kesulitan sama sekali akan tes ini. Ia maju perlahan dan mengambil sebuah pistol semi otomatis. Ia mengecek peluru dalam pistol itu yang ternyata kosong. Ia pun mengambil amunisi pada sebuah rak yang disediakan dekat dengan senjata yang disusun rapi dalam display.
William mengambil sekotak amunisi dan memasukkannya dalam pistol itu. Petugas berwajah bengis itu menatap William seksama entah apa yang dipikirkannya. William dengan cekatan memasukkan peluru-peluru itu dalam pistolnya. Ia mengeceknya sekali lagi dan ia mengangguk siap.
Petugas yang menjaga papan tembak pun bersiap dengan tombolnya. Ia juga menyarankan penutup telinga, tapi William menolaknya. Ia mengatakan sudah terbiasa dengan suara tembakan. Petugas berwajah bengis itu makin menatapnya tajam. Ia memberi kode bahwa William sudah boleh menembak.
William sudah bersiap dengan posisinya. Ia fokus pada sasaran tembak itu.
"Are you ready? 3 ... 2 ... 1 ... go!"
William tertegun. Ternyata papan sasaran tembak itu bergerak secara acak. William langsung kembali fokus dan DOR! Sebuah tembakan melesat mengenai sasaran tembak. Petugas berwajah bengis itu menatap William yang terlihat tak terintimidasi dengan papan sasaran tembak yang bergerak ke kanan dan ke kiri serta maju ke depan dan ke belakang.
Suara tembakan bersahut-sahutan dengan ritme teratur terdengar di ruangan yang luas itu. Tak lama seseorang masuk ke dalam. Ternyata itu wanita Asia berambut putih panjang yang tadi melakukan seleksi. Ia datang bersama ke 4 kandidat yang lolos seleksi tahab kedua. Para kandidat itu berdiri berjejer di sebelah petinju nomor 13 dan melihat aksi menembak William. Mereka cukup terkejut akan keterampilan menembaknya.
William terlihat fokus dan tak banyak gerakan tambahan pada tangannya. Badannya tegap dan pegangan tangannya kuat pada pistol itu. Bahkan nafasnya begitu teratur, ia juga diam tak bersuara. Benar-benar terlihat seperti seorang professional.
Wanita Asia dan lelaki berwajah bengis itu saling berbisik entah apa yang dibicarakan. Para kandidat lainnya juga saling melirik melihat kemampuan William.
"Oke, time is up. Please, step back, number 15," ucap petugas papan tembak itu meminta William menghentikan aksi menembaknya.
William mengangguk mengerti. Ia meletakkan pistol itu dan mundur ke belakang kembali ke barisan bersama beberapa kandidat lainnya. William kembali bersiap. Petugas papan sasaran tembak itu mengecek hasil tembakan William. Ia mendekati lelaki berwajah bengis dan melaporkannya.
Pria berwajah bengis dan wanita Asia itu melirik William tajam. Tiba-tiba, KLEK!
"Wow ... wow ..." William panik dan spontan mengangkat kedua tangannya.
Bahkan kandidat lainnya ikut mengangkat tangan karna kaget. Pria bengis dan wanita Asia itu menodongkan senjata ke arah William, William panik seketika bahkan sampai menelan ludah.
"You, who are you?" tanya wanita Asia itu.
"Me? I am William. Why?"
"Kau dari pasukan mana?" tanya pria berwajah bengis itu yang kini mendatangi William perlahan.
"Aku mantan pasukan Amerika Serikat dari angkatan darat," ucapnya jujur.
Lelaki itu mengetukkan ujung pistol di pelipis William hingga ia memejamkan mata. Pria itu berusaha menekannya.
"Kau, kenapa dikeluarkan? Kau masih sangat muda," ucapnya menatap William dengan wajah bengisnya dan tindik di telinganya.
William memulai dramanya.
"Kau bisa mengeceknya sendiri di berkas militer Amerika Serikat. William Tolya, aku berdarah campuran. Amerika Rusia. Oleh karena itu, aku bisa bahasa Rusia," ucap William mencoba tetap tenang.
"Apa kau berusaha mendikteku, William?" tanya lelaki itu yang makin kuat mendorong ujung moncong pistolnya ke pelipis kiri William.
"Tidak. Aku bicara sesungguhnya."
"Sergei , dia bicara jujur. Berkas mengatakan dia dikeluarkan karena membangkang dalam misi yang diberikan. Tak bisa bekerja dalam team. Aksinya selalu menimbulkan banyak korban dan kerusuhan. Tapi, sangat ahli dalam bertarung dan menggunakan senjata. Ia juga bisa bahasa Inggris, Rusia dan Spanyol. Lalu, oh ... dia juga seorang playboy. Hmm, yummy," ucap wanita Asia itu dengan laptop di depannya.
William diam saja tak menjawab. Lelaki berwajah bengis itu tersenyum tengil dan menarik senjatanya. Ia masih menatap William dengan seringainya.
"Wow, mungkin dia akan cocok dengan tuan Axton," ucapnya pergi menjauh dari William dan kembali ke kursinya.
William menghembuskan nafas lega. Lelaki Rusia bernama Sergei itu kembali berbisik dengan wanita Asia itu. Wanita itu mengangguk paham.
"William, follow me," ucapnya sembari memasukkan kembali pistol ke balik pinggangnya.
William pun mengangguk kepada para kandidat lain sebagai tanda ia pamit pergi. Mereka balas mengangguk. William mengikuti wanita Asia itu ke sebuah ruangan. Ternyata mereka kembali lagi ke ruangan dimana William melucuti pakaiannya. Wanita itu berbalik dan berdiri dengan bertolak pinggang.
"Pakai kembali pakaianmu. Kita akan bertemu dengan tuan Axton," ucapnya santai.
William mengangguk paham. Ia mengambil celana jeans dan kaos ketat hitamnya. Ia memakainya di depan wanita Asia itu karena wanita itu tak mau beranjak dari posisinya.
"Dia mengingatkanku akan Rio. Kenapa para mafia suka bertindak aneh," ucap William heran dalam hati sembari memakai celana jeansnya.
Tak lama William sudah bersiap. Ia juga membawa tasnya. Wanita Asia itu mengajaknya ke ruangan lain yang mungkin akan bertemu dengan Axton, salah satu anggota dewan 13 Demon Heads. Axton kini sudah berumur 60 tahun. Ia sudah tua namun masih berkuasa dan tak beristri. Ternyata ia memiliki penyakit yang dinamakan "Gamophobia". Sebuah ketakutan untuk menikah, berpasangan atau berkomitmen dengan seseorang. Seorang gamophobia bisa menyukai seseorang, tetapi jika diajak berhubungan serius, perasaannya bisa hilang, alias tak bisa mencintai sepenuh hati.
William penasaran dengan wanita Asia itu. Ia membuka obrolan.
"Boleh aku tahu, siapa namamu?" tanya William sopan sembari memainkan tali yang terbuat dari kulit pada tasnya.
"Yuki."
"Ah, Japanese?" tanya William lagi dan masih mengikuti di belakangnya.
"Yup."
Tiba-tiba wanita Asia bernama Yuki itu berhenti di sebuah pintu dan mempersilahkan William masuk ke dalam. William pun memegang gagang pintu itu dan mendorongnya. Ia terkejut melihat lelaki tua sedang dikerubungi oleh 4 wanita muda yang cantik dan sexy dengan baju mini mereka. William menelan ludah.
-----
Nah siapakah Yuki? Ada yang ingat mungkin. Namanya pernah lele sebut di novelnya Vesper loh. Kalian bisa intip visual Yuki dan Sergei di aplikasi Mangat00n ya^^ Oia. Secret Missions 2 ini adalah cerita Vesper generasi ke 2 ya. Jadi umur Sia dan William sepantaran dengan anak-anak Lily nantinya. Jadi Lily udah tua cuyyy tapi tetep ya. Garang. Hehe.
Sedang di SAD, Lily sepantaran dengan Manda umurnya. Bisa dibilang itu novel seperti pov para tokoh Vesper. Jadi ketiga novel ini memang berhubungan ya. Selamat membaca. Kalo ada tipo2 harap maklum. Jangan lupa rate bintang 5 dan komen ya. Tengkiuuu