Chereads / MRS4 - Temptation / Chapter 22 - part 21

Chapter 22 - part 21

Bryssa memperhatikan Zavier yang saat ini tengah masak di dapur. Ia pikir tadi ada maling yang masuk ke dalam rumahnya ketika ia mendengar suara benda-benda bertabrakan. Ternyata itu suara spatula dan juga wajan. Tapi tunggu, sebenarnya kenapa Zavier masak dengan sangat berisik? Apa dia sedang mengalihkan emosinya ke spatula dan wajan?

Lupakan, Bryssa hanya terlalu banyak mengkhayal. Efek terlalu banyak memikirkan tentang Gulma.

"Sejak kapan kau kembali?" Suara BRyssa membuat Zavier memiringkan tubuhnya.

"Jam 2 pagi."

"Hah?"

"Kau tidak akan menyadarinya. Kau tidur terlalu nyenyak." Zavier kembali sibuk dengan masakannya.

"Urusanmu sudah selesai?"

"Aku tidak akan pulang jika urusanku tidak selesai."

Zavier selesai membuat sarapan, ia segera membawanya ke meja makan. Bryssa mengikutinya dari belakang, lebih tepatnya mengikuti masakan yang Zavier buat.

"Makanlah!" Zavier meletakan masakannya ke atas meja.

Bryssa tentu saja akan makan, bahkan tanpa diperintah oleh Zavier.

"Apa yang kau lihat? Kenapa tidak makan?" Bryssa berhenti mengunyah ketika ia sadar bahwa Zavier memperhatikannya.

"Tidak ada, lanjutkan makanmu."

Bryssa diam sejenak, ia merasa Zavier seperti ingin mengatakan sesuatu. Sudahlah, dia akan mengatakannya jika ingin mengatakan.

Sarapan selesai, Bryssa kembali ke kamarnya diikuti oleh Zavier.

"Dompetku, kau bisa mengembalikannya sekarang."

Bryssa membalik tubuhnya, menatap Zavier lekat, "Kau tahu itu ada padaku?"

"Aku tahu lebih dari itu." Semalam Zavier melihat CCTV, dia ingin melihat bagaimana Qween terjatuh tapi yang ia temukan adalah Bryssa yang mendengar percakapannya di kamar Qween.

Bryssa melangkah menuju ke nakas, ia membuk alaci dan mengeluarkan dompet Zavier, "Ini."

Zavier meraih dompet itu, "Apa yang sedang kau pikirkan saat ini, Bryssa?"

Bryssa duduk di tepi ranjang, "Saat ini tidak ada. Tapi semalam aku memikirkan banyak hal."

"Katakan."

"Tentang kau dan Qween. Tentang posisi yang mulai aku sukai. Tentang apakah aku harus membunuh Qween."

"Tidakkah kau berpikir untuk menghilang dariku?"

Bryssa tertawa kecil, ia memikirkan ini semalam. Tapi ia pikir apakah ia harus mengikuti 3 temannya yang menghilang? Benar-benar tidak kreatif. Lagipula untuk apa ia pergi, apa dengan begitu Zavier akan mencarinya? Belum tentu. Ia hanya akan melakukan hal bodoh. Hatinya hanya akan semakin sakit saja jika Zavier tak datang mencarinya. Saat ini dia hanya ingin menjalani hari seperti biasa. Tidak harus lari atau menghilang dari siapapun. Seperti ia yang bisa bangkit ketika kehilangan mantan kekasihnya, ia tentu akan bangkit jika Zavier meninggalkannya. Apa ia wanita lemah yang akan menangis karena ditinggalkan? Mungkin iya, ia akan menangis tapi ia tidak lemah. Jika ia ditinggalkan maka berarti ia tidak berjodoh dengan Zavier. Dan jika mereka berjodoh, Zavier pasti akan kembali padanya.

"Jika aku pergi, apa kau akan mencariku?"

Zavier diam, ia menatap Bryssa serius, "Kau tidak harus kemanapun. Dengan begitu aku tidak akan mencarimu. Aku benci ditinggalkan, ketika aku ditinggalkan maka aku tidak akan mencari." Seperti ibunya yang pergi, Zavier tak akan mencari jika ia sudah ditinggalkan. Ia bisa hidup dalam kehancuran, seperti ketika ia hidup dengan ibunya atau ditinggalkan oleh ibunya. Seperti ketika ia pikir Qween berkhianat. Ia bisa hidup seperti itu, tidak perlu bukti karena dia adalah orang yang bisa bersandiwara dengan baik dibalik senyumannya.

"Sudah pasti kau tidak akan mencariku. Dan sudah pasti juga aku tidak akan pergi dari tempat ini. Aku mendapatkan tempat ini kembali setelah melewati beberapa waktu yang sulit, aku tidak akan bodoh meninggalkan tempat ini." Bryssa tersenyum pada Zavier. "Tapi, Zavier, kau pernah berpikir untuk meninggalkanku?"

"Aku tidak meninggalkan, Bryssa. Hanya pergi lalu kembali."

"Apa maksudmu?"

"Pulang hanya digunakan untuk tempat tinggal. Dan bagiku disini tempatku pulang."

"Lalu mansionmu? Bukan, lebih tepatnya Qween."

"Dia bukan rumah, Bryssa. Dia adalah orang yang membutuhkan tempat pulang."

"Dan kau adalah rumahnya?"

"Sampai saat ini dia masih menganggap aku rumahnya."

"Nampaknya aku menjadi gulma disini."

"Lalu maksudmu aku adalah hama?"

Bryssa tertawa geli, "Mungkin?"

"Kau tidak ingin tahu tentang Qween?"

"Aku tidak ingin tahu. Hanya aku penasaran mungkinkan aku, kau dan Qween menjadi rantai?"

"Tidak. Seseorang harus kehilangan tempat tinggalnya."

"Qween?"

"Entah Qween, entah aku." Zavier terpengaruh oleh kata-kata Gea, ia bisa menahan kehilangan tapi Qween? Wanita itu akan sulit menahan kehilangan. Mau bagaimanapun ia tidak ingin Qween berakhir mengenaskan.

"Waw, ada kemungkinan aku ditinggalkan untuk yang kedua kalinya." Bryssa menutupi debar tak enak di dadanya dengan senyuman baik-baik saja. "Baiklah, kita sudahi saja pembicaraan kita disini." Bryssa tidak ingin melanjutkan lagi, "Jadi, apa pekerjaanmu hari ini?"

"Aku harus ke perusahaan Daddy, akhir-akhir ini dia menjadi malas."

"Baiklah, aku juga harus bekerja. Kita pergi bersama atau sendiri-sendiri?"

"Aku akan mengantarmu terlebih dahulu."

"Okey."

**

Zavier menghubungi Gea, ia ingin memastikan bahwa Qween tidak menyakiti dirinya sendiri lagi.

"Tenang saja, kami menjaganya dengan baik. Dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri lagi."

"Aku mungkin tidak akan menjenguknya hari ini. Jika dia bertanya tentang aku, katakan saja aku memiliki banyak pekerjaan."

"Aku akan melakukan seperti yang kau katakan."

"Aku tutup panggilan."

Zavier meletakan kembali ponselnya ke atas meja kerjanya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menutup matanya dengan otak yang mulai bergerak memikirkan jalan mana yang harus ia ambil. Dalam hidupnya ia tidak pernah sulit menentukan pilihan, tapi kali ini ia merasa berada di antara pilihan hidup atau mati.

Kenapa ia begitu memikirkan Qween? Dan kenapa ia sangat menginginkan Bryssa? Dua hal ini membuatnya berada di tepi jurang.

Tok... Tok... Tok....

"Masuk!" Zavier masih memejamkan matanya.

"Zavier."

Mata Zavier terbuka seketika, tubuhnya mendadak dingin. Ia tidak mengharapkan kehadiran wanita di depannya saat ini.

"Apa yang Anda lakukan disini?" Zavier menekan traumanya dalam-dalam.

"Mommy ingin melihat putra Mommy."

"Sudah Anda lakukan sekarang. Pergilah!"

Alona mendekat, Zavier bangkit dari tempat duduknya, ia mundur satu langkah. Ia teringat ketika Alona melangkah hanya sakit yang akan dia dapatkan. Entah itu pukulan, entah itu cacian.

"Apa yang kau lakukan disini, Alona?" Suara itu membuat Zavier melihat ke arah pintu masuk. Pertengkaran ayah dan ibunya berputar di otak Zavier. Apakah kali ini ia akan menjadi penyebab pertengaran orangtuanya lagi?

"Aku hanya ingin melihat putraku."

"Tanyakan pada putramu, apakah dia mau bertemu denganmu? Jangan mendatanginya jika dia tidak ingin kau datang."

"Kau ingin membatasi aku dan Zavier?"

"Kau yang membangun batas itu, bukan aku."

"Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi, jangan mendatangiku. Kau mendorongku menjauh darimu, jadi jangan melangkah mendekat padaku ketika aku benar-benar jauh darimu. Aku benar-benar tidak menginginkanmu." Zavier tak membenci Alona, dia hanya tidak menginginkan Alona lagi.

"Mommy salah. Mommy ingin memperbaiki semuanya. Mommy ingin meminta maaf padamu."

"Aku yang salah. Jangan meminta maaf padaku. Tidak ada yang harus diperbaiki. Semuanya sudah rusak sejak awal, kau hanya akan melakukan hal yang sia-sia."

"Tapi Mom ingin mencobanya."

"Aku yang tidak ingin. Seperti katamu, kau tidak punya putra. Mari kita hidup terus seperti katamu. Sungguh, aku benar-benar tidak menginginkanmu lagi." Zavier bersuara datar. "Dad, aku akan menyelesaikan urusanku besok. Aku pergi." Zavier melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.

"Zavier!" Alona memanggil putranya, tapi diabaikan oleh Zavier.

"Dia sudah tenang tanpa kau, Alona. Kenapa kau suka sekali menyiksanya? Dia sudah tidak menghalangimu lagi, jangan membuatnya terluka untuk kesekian kalinya!"

"Aku hanya ingin melihatnya."

"Kau membuatnya kacau! Dia tertatih untuk mencapai posisi ini! Jangan muncul dalam hidupnya lagi!"

"Apa kau membalas dendam padaku?"

Edvill tiba-tiba tertawa, "Aku ataupun Zavier tak punya dendam padamu. Maaf, kami tidak hidup dengan caramu." Edvill yang melepaskan, ia tak akan mendendam. Ia sakit tapi ia tidak membenci.

"Edvill!" Suara wanita lain terdengar.

"Ah, aku harus pergi, Alona. Jika kau sudah selesai, kau bisa pergi." Edvill segera melangkah ke wanita yang baru saja masuk. Ya, sahabatnya, siapa lagi.

Alona kali ini merasakan apa yang namanya ditinggalkan. Tak akan mudah baginya untuk masuk ke hidup Zavier saat Zavier tak menginginkannya.

**

Zavier berakhir di tempat kerja Bryssa. Ia tak membawa masalahnya kesana. Hanya berbaring disofa memperhatikan Bryssa yang sedang serius bekerja.

Nyatanya, yang ia cari ketika ia resah adalah Bryssa.

Lama kelamaan ia terlelap, tidur dengan tenang seolah Alona tak datang padanya tadi.

Bryssa mendekat ke Zavier, menyelimuti Zavier dengan blazernya.

Bryssa berjongkok di depan Zavier, ia memperhatikan wajah damai Zavier, "Kau datang hanya untuk tidur disini, hm?" tangannya bergerak naik. Mengelus wajah Zavier dengan lembut.

"Jangan meninggalkan rumahmu, tetap di sisiku dan biarkan Qween mencari rumah yang baru. Mungkin kali ini aku tidak bisa merelakan kau." Bryssa tahu jika dia bertahan maka dia akan berada di hubungan yang menggantung. Status tak pasti. Tapi dia menginginkan Zavier. Menyerah bukan keahliannya, merebut tak akan dia lakukan. Hanya membiarkan semua mengalir apa adanya. Ia tak tahu kapan ini akan berakhir tapi ia berharap pada akhirnya rumahnya tak kehilangan penghuni.

tbc