Satu minggu sudah berlalu, dan Bryssa sudah benar-benar merasa bahwa Zavier sudah tidak mempedulikannya lagi. Ia benar-benar berada dalam ketidakpastian. Bryssa mencoba untuk tidak memikirkan semua ini tapi semakin dia tidak ingin memikirkan ini, semakin ia terpaku pada Zavier.
Kapan ia akan mendapatkan kebahagiaan seperti Beverly? Sahabatnya itu bahkan sudah menikah dengan pria yang ia cintai.
Akhir-akhir ini Bryssa sering sendirian. Ia sarapan sendirian, makan siang sendirian dan makan malam sendirian. Seperti saat ini, Bryssa sedang duduk sendirian di sebuah cafe ditemani dengan secangkir espresso hangat.
Bryssa memeriksa ponselnya, tak ada panggilan masuk ataupun pesan dari Zavier. Ia benar-benar jadi menyedihkan sekarang, menunggu seseorang yang keberadaannya jelas sedang dalam pelukan wanita lain.
"Harusnya kau tidak membuatku berada dalam posisi seperti ini, Zavier. Jika kau memilih Qween, maka aku tidak akan terus berharap padamu." Bryssa bersuara hampa. Harusnya Zavier memberinya kepastian. Ia tidak akan berharap jika memang tak ada harapan lagi.
Menyeruput habis essperesonya, Bryssa bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pergi setelah membayar minumannya.
Pikiran Bryssa tidak pada tempatnya, kedua tangannya menyetir tapi pikirannya kosong.
Brukk! "Sial!" Bryssa mengumpat ketika ia menyadari bahwa ia menabrak mobil di depannya. Bryssa keluar dari mobilnya, begitu juga dengan pemilik mobil yang ia tabrak.
"Maaf, aku tidak sengaja menabrak mobilmu." Bryssa meminta maaf pada si pemilik mobil.
Pria itu melihat mobilnya, "Tidak apa-apa, hanya lecet sedikit. Jangan melamun saat membawa mobil, kau bisa kehilangan nyawamu jika kau tidak hati-hati."
"Baiklah. Aku akan lebih hati-hati, terimakasih." Bryssa kembali masuk ke dalam mobilnya begitupun dengan pria yang mobilnya ditabrak oleh Bryssa.
Kali ini Bryssa benar-benar lebih hati-hati, ia memokuskan kembali pikirannya pada jalanan. Hari ini Bryssa memutuskan untuk lembur di rumah mode. Untuk apa juga dia kembali ke kediamannya jika akhirnya dia sendirian disana.
Waktu berlalu tanpa Bryssa sadari. Akhirnya ia menemukan kejenuhan dari pekerjaannya. Menghilangkan stress, akhirnya Bryssa pergi ke club. Kali ini ia memastikan bahwa itu bukan club milik Zavier.
"Nona, ini untuk Anda." Pelayan memberikan satu cangkir minuman untuk Bryssa.
"Aku tidak memesan ini." Bryssa menolak minuman itu.
Pelayan menunjuk ke seorang pria, "Minuman ini dari pria yang disana."
"Ah, baiklah." Bryssa menerima minuman itu. Pria yang ditunjuk oleh pelayan adalah pria yang tadi siang mobilnya Bryssa tabrak.
Pelayan pergi, pria yang memberikan minuman mendekat ke Bryssa, "Kita bertemu lagi. Dua kali tanpa kesengajaan, mungkin jika bertemu sekali lagi kita berjodoh."
Bryssa tertawa kecil karena ucapan pria di depannya, ia sering mendengar ini dari novel-novel yang ia baca, "Sesederhana itukah menemukan jodoh menurutmu?"
"Ya. Kebetulan terjadi selama 3 kali artinya adalah takdir." Seru pria itu yakin, "Aku, Elvan." Ia memperkenalkan dirinya.
"Bryssa." Bryssa menerima uluran tangan Elvan.
"Boleh aku temani?"
"Ya, tentu saja." Setidaknya malam ini Bryssa memiliki seorang teman.
"Turun ke lantai dansa?" Elvan mengulurkan tangannya, menatap Bryssa berharap mau turun ke lantai dansa bersama dengannya.
Bryssa meraih ponselnya, mematikan ponsel itu lalu memasukannya ke dalam tas. Ia meningalkan tasnya di atas meja lalu menerima uluran tangan Elvan, "Ya."
Elvan tersenyum, ia mengecup tangan Bryssa lalu melangkah bersama ke lantai dansa.
**
Bryssa kembali ke kediamannya pukull 8 pagi. Sehabis dari club ia memutuskan untuk tidur di hotel yang ada di dekat club.
"Tidur dimana kau semalam, Bryssa?"
Langkah Bryssa terhenti, ia membalik tubuhnya dan menemukan Zavier tengah duduk di atas sofa dengan secangkir kopi di meja.
"Kau pulang?" Bryssa balik bertanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Bryssa. Tidur dimana kau semalam?"
"Di hotel."
"Bersama siapa?"
"Sendiri."
"Kenapa kau tidak mengaktifkan ponselmu?"
Bryssa mulai jengah, "Ayolah, Zavier. Kenapa kau banyak tanya? Aku harus segera mandi. Aku ada jadwal meeting pagi ini." Bryssa melangkah pergi meninggalkan Zavier.
"Aku belum selesai bicara, Bryssa!" Zavier menaikan suaranya namun Bryssa mengabaikan Zavier. Ia segera menyusul Bryssa dan menggenggam tangan Bryssa.
"Apa lagi, Zavier? Lepaskan tanganku." Bryssa sedang tidak berminat bicara dengan Zavier.
"Kau harusnya memberikan kabar padaku, Bryssa!"
"Kau pulang kesini hanya untuk marah-marah?" Bryssa bertanya dengan nada sinis, "Lebih baik kau kembali ke Qween. Jangan bersikap seolah kau peduli padaku tapi kenyataannya kau meninggalkanku. Aku sudah muak, sampai kapan kau akan membuatku berada dalam posisi seperti ini! Apakah menyenangkan bagimu bisa pergi sesuka hati? Aku ini bukan tempat kau singgah, Zavier. Aku tidak menerima orang yang datang lalu pergi, aku tidak butuh seseorang yang tidak bisa menentukan pilihannya. Seseorang harus kehilangan rumahnya, bukan? Tentukan itu, kau yang kehilangan rumahmu atau Qween!"
"Apa yang salah denganmu, Bryssa? Kenapa kau mempermasalahkan ini?"
"Karena aku muak berada di tidak kepastian! Jika kau ingin pergi ke Qween maka tinggalkan aku, jika kau ingin bersamaku maka jangan kembali pada Qween. Berapa kali kau meninggalkan aku karena Qween? Berapa kali kau membiarkan aku sendirian! Kau membuatku seperti milikmu tapi di saat yang bersamaan kau juga memiliki Qween. Hidupku tidak ingin aku habiskan hanya dalam ketidak pastian, Zavier."
"Qween sakit, Bryssa. Aku harus menemaninya karena dia sakit."
"Lantas kau pikir aku tidak sakit!" Bryssa tak tahu bagaimana Zavier melihat dirinya. Apakah dia terlihat baik-baik saja saat ini? Apakah Zavier tak melihat bahwa ia sedang berada di ambang kehancuran sekarang? "Aku juga sakit, Zavier! Aku sakit kau buat seperti ini! Kau memberikan aku harapan tapi kau juga yang membuatnya samar!"
"Qween, dia menderita self harm."
"Kalau begitu jangan tinggalkan dia. Jika kau takut dia menyakiti dirinya sendiri maka jangan pikirkan aku disini. Aku cukup baik untuk tidak menyakiti diriku sendiri." Bryssa menghempaskan tangan Zavier. Ia tidak jadi mandi di kamarnya, ia memilih pergi keluar dari rumah itu.
Zavier meremas rambutnya, "Aku tidak bisa tidak memikirkanmu, Bryssa. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan Qween." Bukan maksud Zavier untuk membuat Bryssa terluka. Tapi kepeduliannya pada Qween tidak bisa ia singkirkan.
Bryssa melajukan mobilnya dengan cepat. Ia diam di sepanjang jalan menuju ke tempatnya bekerja. Pikirannya ingin meledak sekarang. Apa ia harus masuk rumah sakit dulu agar Zavier melihat dia sedang sakit?
"Kau mencoba mengobati lukanya tapi kau malah melukaiku. Bagaimana bisa kau setega itu padaku, Zavier?"
"Ini semua memang salahku. Harusnya sejak awal aku tidak jatuh hati pada pria tidak berperasaan seperti itu." Bryssa tak bisa menyalahkan orang lain, ini semua salahnya. Jika ia bisa mengatur perasaannya maka ia tak akan berakhir seperti ini.
tbc