Ponsel Bryssa berdering untuk kesekian kalinya. Bryssa melihat ponselnya dan ia masih menemukan pemanggil yang sama, Zavier. Bryssa mengabaikan panggilan itu. Kemana saja Zavier beberapa hari ini? Ketika ia sering melihat ponsel, Zavier tak kunjung menghubunginya, dan ketika ia tak ingin dihubungi oleh Zavier, pria itu terus menghubunginya. Tidakkah ini sudah terlalu terlambat untuk menghubunginya?
Suara ponsel Bryssa menghilang seiring berakhirnya dengan panggilan Zavier.
Bryssa kembali menyibukan dirinya pada pekerjaannya. Mencoba membuat sebuah design, namun kertas itu hanya berakhir dalam kotak sampah dalam keadaan diremas.
Bryssa menggambar di kertas lain.
Cklek, pintu ruangan Bryssa terbuka.
"Kenapa kau tidak menjawab panggilanku, Bryssa?"
Bryssa mendengus, bosan menelpon sekarang datang ke tempat kerja.
"Untuk apa kau datang kemari? Pergilah, aku sedang tidak ingin bertengkar." Bryssa enggan menatap Zavier.
"Aku tidak ingin mengajakmu bertengkar, Bryssa. Aku hanya kesal karena kau tidak mengaktifkan ponselmu semalam. Aku mengkhawatirkanmu."
"Aku sedang tidak ingin bicara denganmu, Zavier. Biarkan aku sendiri."
Zavier menatap Bryssa putus asa, "Kenapa kau bertingkah seperti ini, Bryssa? Beberapa waktu lalu kau tidak mempermasalahkan tentang Qween. Dengar, aku tidak memiliki perasaan apapun lagi padanya."
"Cukup, Zavier!" Bryssa menghentikan Zavier. Ia benci akhir dari pembicaraan ini, Zavier masih mempedulikan Qween, itu kenyataan yang mengganggunya. Matanya menatap Zavier marah, "Aku tak peduli kau masih punya perasaan atau tidak dengan Qween. Itu urusanmu bukan urusanku. Jika kau ingat kita tidak memiliki hubungan apapun! Aku dan kau tidak terlibat dalam perasaan apapun kecuali tentang surat perjanjian itu. Lakukan apapun yang kau sukai, aku tak akan memintamu untuk memilih karena hubungan kita tak ada dalam konteks untuk memilih. Kembali bersama atau tidak dengan Qween itu urusanmu!" Bryssa melepaskan pensil yang ada ditangannya. Ia meraih tas dan kunci mobilnya lalu pergi tanpa membawa ponselnya.
"Bryssa!" Zavier menatap punggung Bryssa. Berharap wanita itu akan berhenti tapi yang ia terima pintu tertutup, Bryssa mengabaikannya.
"Ah, sial!" Zavier menggeram kesal.
Bryssa masuk ke dalam mobilnya, melajukan mobilnya ke sebuah taman. Ia butuh ketenangan. Zavier sudah terlalu membuatnya kacau.
Sampai di taman, Bryssa duduk di bawah pohon sakura yang sedang bersemi.
Matanya tertutup, ia mengirup nafas dalam, membuang sesak yang ia rasakan.
Zavier, pria itu tak bisa menentukan pilihan. Dan Bryssa tak ingin terlihat putus asa dengan menekan Zavier untuk memilih. Jika Zavier bisa menjalani hidupnya dengan bahagia bersama Qween, maka ia harus melakukan hal yang sama. Menangis karena Zavier dan Qween benar-benar sesuatu yang menyedihkan. Dan Bryssa sadar, bahwa ketika ia menangis, Zavier tak akan mempedulikannya karena pria itu hanya memikirkan Qween.
Ia harus menjalani hidupnya seperti dulu. Zavier sama dengan mantan kekasihnya, tak berperasaan. Oleh karena itu ia harus memperlakukan Zavier sama dengan ia memperlakukan mantannya.
Bryssa membuka matanya ketika ia merasa ada orang yang duduk di sebelahnya.
"Sudah cukup lega?"
"Elvan?" Bryssa mengerutkan keningnya, "Bagaimana kau bisa ada disini?"
Elvan tersenyum, "Kebetulan ketiga."
Bryssa mendengus pelan, "Kau pasti mengikutiku!" matanya menatap Elvan menuduh.
"Ayolah. Aku bukan stalker. Tapi tidak masalah juga sih kalau yang aku ikuti adalah kau."
"Waw, kau menunjukan siapa kau sebenarnya. Perayu."
Elvan tertawa kecil, "Jika dengan merayu aku bisa mendapatkanmu, maka aku akan menjadi perayu."
"Ew," Bryssa mempelihatkan ekspreai jijiknya, "Aku benci perayu. Pria pandai bermain kata adalah pria yang tidak bisa dipercaya."
"Oh itu bukan aku." Elvan mengangkat tangannya cepat, "Aku sangat bisa dipercaya. Mau mencoba mempercayakan hatimu padaku?"
Bryssa tergelak, pria ini benar-benar perayu ulung.
"Dari semua pertemuan kita, aku menyukai pertemuan yang ini. Kau terlihat begitu cantik."
"Maksudmu, aku tidak cantik dipertemuan pertama dan kedua?"
Elvan menggelengkan kepalanya, " Bukan itu. Hari ini kau tertawa, terlihat sangat indah."
Bryssa mengipaskan tangannya berakting seolah ia kepanasan, "Waw, mulutmu itu, Elvan."
"Kau membuatku jadi orang jahat, Bryssa."
"Hah?" Bryssa tak mengerti apa yang Elvan katakan.
"Jangan tertawa seperti ini di depan orang lain. Jika kau sedih, usahakan kau berada di dekatku agar aku bisa menghiburmu dan membuatmu tertawa. Tawamu tidak ingin aku bagi dengan yang lain."
"Oh, okay. Okay." Bryssa menanggapi kata-kata Elvan dengan ekspresi bercanda. Elvan, bagi Bryssa, pria ini adalah pria yang baik. Dia tidak melakukan apapun pada Bryssa padahal Bryssa dalam keadaan mabuk.
"Sudah makan siang?" Elvan memiringkan wajahnya menatap Bryssa.
Sudahkah Bryssa memberitahu tentang penampilan Elvan? Mungkin belum. Elvan, dia memiliki wajah yang cukup tampan. Kulitnya berwarna kecoklatan membuatnya terlihat gagah. Dan gaya berbusananya, dia bukan tipe kantoran yang membosankan. Pria ini berpenampilan sederhana, celana jeans, kaos dan kemeja atau celana jeans, kaos, dan jaket. Selama mereka bertemu, Bryssa tak pernah melihat Elvan menggunakan pakaian resmi. Oleh karena itu Elvan terlihat seperti anak kuliahan.
"Kau ingin mentraktirku makan?"
Elvan nampak berpikir sejenak, "Uhm, ya, tentu saja. Ayo." Ia bangkit dengan semangat.
Untuk melupakan seseorang dia harus membuka diri untuk orang lain. Mungkin ini terlalu cepat tapi Bryssa harus mencoba. Jika Elvan bisa membuatnya beralih dari Zavier, maka ia akan memikirkan cara untuk menghilang dari Zavier. Ia harus menentukan jalannya sendiri, terus menerima apa yang Zavier lakukan adalah kebodohan.
**
"Ada apa?" Gea bertanya pada Zavier yang saat ini sedang berada di mini bar mansion Zavier.
"Bryssa, dia mengabaikanku."
"Apa karena Qween?"
"Aku berada di posisi yang sulit, Gea. Di satu sisi aku ingin bersama Bryssa tapi disisi lain aku tidak bisa membiarkan Qween sendirian. Aku benar-benar tidak mencintai Qween lagi. Aku hanya peduli padanya."
"Biarkan aku menjaga Qween untukmu. Jika kau sakit diabaikan oleh Bryssa maka kau harus membuat dia peduli padamu lagi. Dengar, Qween seperti ini bukan karena kau tak memilihnya tapi karena keluarganya."
Zavier sudah mendengar ini dari Qween. Hari dimana Qween bertemu dengan Bryssa di cafe, Qween melihat ayah kandungnya. Kenangan semasa Qween kecil sangat buruk. Ayahnya suka memukulnya dan ibunya, ini yang menyebabkan ibu Qween pergi tak tahu arah dan Qween berakhir di panti asuhan. Tekanan demi tekanan yang Qween rasakan dari keluarganyalah yang mengantarkannya pada self harm.
Namun karena hal inilah Zavier semakin tak bisa meninggalkan Qween. Dulu, pernah satu kali Qween mencoba untuk bunuh diri karena bertemu dengan sang ayah. Saat ini Qween memang terlihat tenang tapi Zavier tak bisa memastikan Qween baik-baik saja. Qween seperti sedang menyimpan bom yang kapan saja bisa meledak.
"Aku tidak bisa diabaikan oleh Bryssa. Terus temani Qween. Dia membutuhkan teman bicara. Cobalah untuk mengerti posisinya jika dia tak ingin bicara. Dan-"
"Aku tahu apa yang harus aku lakukan, Zavier. Jangan cemaskan Qween. Perbaiki hubunganmu dengan Bryssa. Dia seperti ini mungkin karena dia sudah tidak tahan lagi."
"Aku mengerti." Jika seseorang harus kehilangan tempat tinggal, itu bukan dia, tapi Qween. Ia tak bisa kehilangan wanita yang ia cintai dua kali. Qween memang wanita yang sangat mengerti dirinya tapi mengulang dengan Qween bukanlah apa yang hatinya inginkan. Bryssa memang tak mengetahui banyak tentangnya, tapi perlahan-lahan ia bisa membuat Bryssa mengetahui tentangnya.
tbc