Chereads / MRS4 - Temptation / Chapter 25 - part 24

Chapter 25 - part 24

Apa yang Qween lihat dengan mata kepalanya sendiri membuatnya mengerti kenapa Zavier bisa jatuh hati pada sosok Bryssa. Wanita ini memiliki wajah yang cantik begitu juga dengan hatinya. Baru saja Bryssa menolong seorang anak kecil yang hampir tertabrak di jalanan.

Seseorang yang cocok mendampingi Zavier ya memang sosok seperti Bryssa. Tangguh tapi masih memiliki hati. Sosok yang bisa mengarahkan langkah Zavier, atau mungkin sosok yang bisa membuat Zavier menurut padanya.

Tiba-tiba Qween menjadi sedih, kedua tangannya saling meremas. Mulai hari ini dan seterusnya ia tak akan bisa lagi mendekati Zavier. Qween tak ingin membuat Zavier berada dalam dilema. Ia juga benci ketika Zavier bertahan didekatnya karena rasa kasihan, dan lagi selama ini Zavier telah bersandiwara di depannya. Ia sudah terlalu terlihat menyedihkan bagi Zavier.

Menarik nafas dalam lalu menghembuskannya, Qween mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia meraih cangkir lalu menyesap minumannya.

Mata Qween melebar, tiba-tiba memarah dan berair. Kedua tangannya mencengkram gelas dengan kuat.

Tar... Gelas itu pecah di tangan Qween. Sisa pecahan kaca di tangannya masih ia genggam dengan erat.

"Qween!" Suara Bryssa tak didengar sama sekali oleh Qween. Ia seperti patung, tatapannya kini jatuh pada pahanya, ia seperti anak kecil yang sedang ketakutan. "Apa yang terjadi? Qween!" Bryssa menggoyangkan tangan Qween.

Bryssa mencoba membuka tangan Qween yang terkepal kuat, darah mengalir deras dari sana, "Qween, buka tanganmu!" Bryssa cemas.

"Apa yang terjadi?"

Bryssa mendongakan kepalanya, "Aku tidak tahu, Zavier."

Zavier menggeser Bryssa, ia menggenggam tangan Qween, "Buka tanganmu, Qween." Zavier mulai panik. Tangannya bergerak membuka kepalan tangan Qween, "Angkat kepalamu, lihat aku, Qween!"

Perlahan-lahan suara Zavier membuat Qween mengangkat kepalanya. Air mata Qween mengalir deras seperti anak sungai.

"Buka tanganmu!"

Qween perlahan membuka kepalan kedua tangannya, pecahan gelas yang ada disana segera dibuang oleh Zavier.

"Kita pulang, Qween." Zavier membantu Qween berdiri, ia meraih tas Qween dan segera keluar dari cafe.

Bryssa menatap punggung Zavier yang menjauh, "Kenapa rasanya sakit sekali?" Bryssa memegangi dadanya yang terasa sakit. Melihat bagaimana Zavier mengkhawatirkan Qween terlalu membuat pedih mata dan hatinya. Zavier mungkin tidak menjadikan Qween sebagai rumahnya lagi tapi kepedulian Zavier pada Qween bisa membuat Zavier meninggalkan rumahnya.

"Kemana aku harus berpegang, Zavier? Apa aku harus menunggumu mengakhiri segitiga yang ada di antara kita? Aku terlalu berpikir sederhana, sakit melihat kau pergi bersamanya tanpa melihat ke arahku." Bryssa meringis sendirian. Ia baru menyadari bahwa ia terlalu bersikap santai tentang hatinya. Kali ini ia merasa tak bisa merelakan tapi untuk merasakan hal seperti ini untuk kedua kalinya dia juga tidak mampu.

Bagaimana bisa dia menjadi rumah Zavier jika Zavier masih menjadi rumah orang lain? Bagaimana bisa ia menahan Zavier jika Zavier tak ingin melepaskan seseorang yang bersandar di dirinya? Bagaimana mungkin ia memiliki Zavier seutuhnya jika sebagian dari Zavier adalah milik Qween? Bagaimana bisa?

Ring,, ring,,

Bryssa mengeluarkan ponsel dari sakunya, "Ada apa, Bev?"

"Pergi ke pergudangan dekat pelabuhan. Andresco tengah berada disana."

"Baik."

Bryssa memutuskan sambungan telepon itu. Hiburan datang tepat pada waktunya. Ia butuh sesuatu untuk melupakan kejadian hari ini. Setidaknya membunuh beberapa orang bisa membuat rasa sakit dihatinya menghilang.

Melangkah pergi, Bryssa kembali ke mobilnya. Ia masuk dan berkendara dengan kecepatan tinggi. Adresco adalah seorang gembong narkoba yang kabur dari penjara. Misi Bryssa kali ini hanya satu, membunuh Andresco.

**

"Sampai kapan kau akan terus seperti ini, Qween?" Zavier menatap wajah Qween yang sedang terlelap, "Melukai dirimu sendiri seperti ini tak akan bisa merubah apapun."

"Sudah aku katakan, ide buruk mempertemukan Qween dan Bryssa. Qween pasti tidak bisa menahan dirinya sendiri." Gea sejak awal menentang Zavier yang ingin mengikuti kemauan Qween untuk bertemu dengan Bryssa tapi dia tidak bisa apa-apa jika Zavier sendiri yang mengizinkan Qween melakukan itu.

"Aku keluar sebentar, Gea. Tolong jaga dia." Zavier melepaskan genggaman tangannya di tangan Qween. Ia bangkit dan melangkah keluar dari kamar.

Zavier berakhir di pantry, ia menuangkan wine ke dalam cangkir lalu meneguknya. Nyatanya ia benar-benar terganggu melihat Qween menyakiti diri tepat di depannya.

"Bryssa." Zavier baru mengingat bahwa ia telah meninggalkan Bryssa di tempat cafe. Ia turun dari tempat duduknya dan segera pergi kembali ke cafe.

Di tempat lain saat ini Bryssa sedang bersembunyi di sebuah tempat dengan senjata api laras panjang yang ia arahkan ke Andersco. Bryssa sendirian, ia tidak bisa membunuh dari jarak dekat karena mungkin ia yang akan terbunuh mengingat jumlah orang-orang yang ada disana.

Menajamkan penglihatannya, Bryssa membidik sasarannya. Satu peluru tepat mengenai kepala Andersco. Lalu ia memuntahkan puluhan peluru dari senjatanya, ia membunuh beberapa orang yang ada disana untuk meluapkan amarahnya.

"Misi selesai." Ia melepaskan alat komunikasi di telinganya, menyimpan kembali senjata ke dalam kotak hitam, lalu segera turun dari lantai 3 gedung tak terpakai itu. Masuk ke dalam mobilnya dan segera pergi.

Di dalam mobil Bryssa masih merasa tak puas, "Brengsek kau, Zavier! Apa yang sudah kau lakukan padaku, sialan!" Bryssa memukul setir mobilnya. Ia ingin sekali meledakan kepala Zavier, bagaimana bisa pria itu membuatnya jatuh hati dan tak mempedulikannya.

**

Zavier menghubungi Bryssa, ia saat ini berada di rumah mode milik Bryssa. Tadi ia ke cafe dan ia tak menemukan Bryssa.

"Kau dimana?" Setelah beberapa saat akhirnya panggilan Zavier dijawab oleh Bryssa.

"Aku sedang di jalan. Ada apa?"

"Aku di rumah mode."

"Aku sedikit lelah, aku tidak kembali ke rumah mode."

"Aku akan segera pulang." Zavier menutup panggilannya, ia segera keluar dari ruangan kerja Bryssa.

Ring.. Ring..

"Ya, Gea?"

"Qween, dia ingin kembali ke apartemennya."

"Katakan padanya aku tidak mengizinkan dia kembali ke apartemen." Zavier tak ingin ambil resiko. Saat ini bukan waktu yang tepat bagi Qween untuk kembali ke apartemen. Selain belum sembuh ia takut Qween akan melakukan hal buruk lagi.

"Aku ingin tinggal di tempatku sendiri, Zavier." Qween mengambil alih panggilan itu.

"Kau tidak bisa, Qween. Jangan membuatku mengulang kata-kataku!"

"Ini bukan tempatku, Zavier. Aku tidak bisa menuruti kata-katamu lagi." Panggilan diputus oleh Qween.

Zavier menggenggam ponselnya erat, ia segera melanjutkan kembali langkahnya. Masuk ke mobilnya dan melaju, tapi tujuannya bukan kediaman Bryssa tapi mansionnya sendiri.

Sampai di kediamannya, Zavier sudah tak menemukan Qween di tempat itu.

"Kenapa kau biarkan dia pergi, Gea?!" Zavier memarahi Gea.

"Dia ingin pergi. Kenapa kita harus menahannya?"

"Dia bisa melakukan hal bodoh, Gea! Dia harus selalu dipantau agar tak melakuan hal itu!" Zavier menatap Gea putus asa.

"Kau tidak bisa terus menahannya setelah kau sudah menentukan pilihan." Gea menegaskan pada Zavier, "Kau bersikap seperti ini sama saja dengan memberikan harapan pada Qween. Biarkan dia pergi, tempatnya memang bukan disini."

"Tapi membiarkan dia sendiri juga salah, Gea!"

"Apapun yang terjadi padanya bukan tanggung jawabmu lagi. Kalian sudah tidak bersama lagi, Zavier."

Zavier tidak bisa berbicara dengan Gea, ia merasa Gea tak mengerti bahwa saat ini ia sedang cemas dan takut sesuatu terjadi pada Qween. Akhirnya ia memilih pergi, tujuannya adalah apartemen Qween.

"Bryssa, aku tidak bisa pulang. Aku akan mengirimkan orang untuk mengantarmu ke pesta Oriel dan Beverly." Zavier kembali membuat Bryssa kecewa.

"Hm."

Zavier memutuskan panggilan itu setelah mendengar balasan dari Bryssa.

tbc