Chereads / MRS4 - Temptation / Chapter 24 - part 23

Chapter 24 - part 23

Ring.. ring.. ring..

Zavier keluar dari walk in closet dengan kemeja putih yang belum ia kancingi. Melangkah menuju ke arah ponselnya berada. Zavier mencabut kabel charge dari ponselnya, melihat siapa yang menghubunginya lalu menjawabnya.

"Ada apa, Qween?"

"Tidak ada. Hanya ingin menghubungimu saja. Aku merindukanmu.Kapan urusanmu selesai, Sayang?"

"Urusanku sudah selesai, Qween. Aku akan datang besok."

"Kau dimana sekarang?"

"Aku harus istirahat sekarang, Qween. Sampai jumpa besok."

"Ya, baiklah. Sampai jumpa, Sayang."

Zavier meletakan kembali ponselnya. Sudah 2 minggu ia tidak mengunjungi Qween. Satu minggu karena Bryssa dan satu minggu karena ia memiliki urusan pekerjaan di luar negeri.

Zavier mengancingkan kembali pakaiannya, ia melihat ke arah pintu masuk ketika pintu itu terbuka.

"Makan malammu sudah siap." Bryssa masuk dengan wajah manis.

"Baiklah. Ayo kita turun."

Bryssa melangkah di sebelah Zavier. Ia suka sekali bau tubuh Zavier sebelum atau sesudah mandi. Sangat jantan.

"Perhatikan jalanmu, Bryssa. Kau bisa mematahkan kakimu jika kau tidak fokus!" Zavier menyadarkan Bryssa dari kebodohannya.

Bryssa tidak membalas kata-kata Zavier. Ia hanya terus melangkah di sebelah Zavier.

Sampai di meja makan. Zavier mencium bau gosong.

"Percobaan keberapa makanan di depanku ini?"

Bryssa menarik kursi, merangkum tangannya di atas meja lalu menopangkan dagunya disana, "5."

"Terlalu banyak membuang makanan." Zavier duduk di tempatnya.

Bryssa mengangkat bahunya cuek, asalkan ia berhasil membuat satu makanan layak makan ia tak masalah melakukan banyak percobaan meski berakhir kegagalan.

Zavier mencoba steak yang Bryssa buat.

"Tidak buruk."

Penilaian Zavier membuat senyuman Bryssa mengembang, "Tentu saja, aku belajar giat untuk bisa memasak ini."

"Jika ini koki yang memasaknya maka aku katakan ini benar-benar buruk. Tapi karena ini kau yang memasak dan masih sangat pemula, maka ini cukup baik. Jangan terlalu bangga, cicipi dulu rasa masakanmu." Zavier seperti membawa Bryssa naik roller coaster. Tadi dipuji sekarang dihempaskan.

Bryssa mengiris steaknya kesal, ia memasukan irisan itu ke mulutnya.

"Astaga, tidak ada rasa!" Bryssa terkejut sendiri karena masakannya.

Zavier melanjutkan makannya, ia tidak berniat membuang masakan yang Bryssa buat untuknya. Wanita di depannya telah berusaha dan ia tidak akan menyia-nyiakan usaha itu.

"Mungkin kau harus melakukan lebih banyak percobaan, Bryssa." Zavier memberi saran namun yang dilihat oleh Bryssa adalah sebuah ejekan.

Bryssa menyipitkan matanya, "Aku pasti akan membuat steak yang enak." Ia bersuara yakin. Mengiris kembali steaknya dan memakannya. "Ah, sial, kenapa rasanya hambar seperti ini?" Bryssa menggerutu.

Zavier tersenyum kecil dan terus melanjutkan makan malamnya.

"Jangan mengunjungi club lagi."

"Baik." Bryssa menjawab patuh. "Tapi,,, kenapa kau bisa tahu aku ada disana? Apa kau memasang chip ditubuhku?" Bryssa memeriksa pergelangan tangan dan lehernya.

"Kau mendatangi club malam milikku, Bryssa."

"Astaga. Ternyata aku sudah mabuk sebelum aku mengunjungi club."

"Sepertinya ditinggal satu minggu membuatmu kehilangan fokus. Begitu merindukan aku?"

Bryssa tersedak, ia meletakan kembali gelasnya ke meja, "Merindukanmu? Apa aku semenyedihkan itu?"

Zavier berdiri dari tempat duduknya, "Merindukanku bukan hal yang menyedihkan, Bryssa. Kau harus tahu, aku merindukanmu." Setelah mengatakan kalimat yang membuat Bryssa diam, Zavier melangkah pergi.

"Apa yang kau katakan barusan, Zavier?" Bryssa merasa tak yakin. Zavier bukan tipe manusia yang suka bicara manis padanya. "Zavier!" Dan Zavier tak menjawab. Seperti yang ia katakan hanya satu kali tak peduli didengar atau tidak.

"Aih, dasar pria dingin itu! Apa begini cara orang yang baru saja mengatakan rindu? Ditinggal sendirian!" Bryssa mengomel sebal. Ia melangkah menyusul Zavier.

Angin berhembus, rasa dingin menyentuh Bryssa. Dari tirai yang beterbangan sudah dipastikan jika Zavier berada di balkon.

"Kau tidak ingin tidur?" Bryssa berdiri di sebelah Zavier.

Zavier tak mengalihkan pandangannya. Tetap melihat ke langit malam yang dipenuhi jutaan bintang. Indah sekali.

"Aku ingin tidur. Satu minggu tidak dirumah membuat tidurku tidak nyenyak. Tapi, bukankah langit malam ini sayang untuk dilewatkan?"

Bryssa ikut melihat ke langit, "Hm, langit malam ini sayang untuk dilewatkan."

"Little Princess, apa hal yang paling kau inginkan di dunia ini?"

"Kebahagiaan." Bryssa hanya ingin bahagia, tentu saja dalam keinginan itu ada Zavier di dalamnya. Saat ini Zavier sumber bahagia, dan juga sakitnya. "Kau sendiri?"

Zavier memiringkan wajahnya menatap Bryssa. Apa yang aku inginkan sudah ada di depanku, Bry. Itu kau. "Hanya menginginkan kita tidur sekarang. Ayo masuk. Disini mulai dingin."

Bryssa mendengus, ia bertanya serius dan Zavier memberikan jawaban yang tak memuaskan.

**

Zavier pergi ke mansionnya. Niatnya ingin bertemu dengan Qween, tapi ia malah berakhir dengan Gea di mini bar.

"Dia tidak melakukan apapun selama aku tidak datang ke tempat ini, kan?" Zavier bertanya pada Gea.

Gea menatap Zavier seksama, "Dia melukai dirinya sendiri. Beberapa hari yang lalu ia menggenggam tangkai mawar di taman hingga tangannya terluka dan berdarah. Lalu kemarin, dia menggenggam gelas kaca hingga pecah ditangannya."

"Kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku ketika aku menghubungimu?"

"Aku tidak mau pekerjaanmu terganggu. Lagipula, luka yang dialami oleh Qween tidak begitu parah."

Zavier diam. Entah sampai kapan Qween akan berhenti menyakiti dirinya sendiri. Zavier tahu kenapa Qween menyakiti dirinya sendiri, tak ada penyebab lain kecuali dirinya. Dulu Zavier selalu menjaga perasaan Qween, ia tak pernah menjadi alasan Qween untuk melukai dirinya sendiri tapi saat ini, ia adalah alasan utama Qween menyakiti dirinya sendiri.

"Kau sudah menentukan pilihanmu?"

"Pilihanku tidak pernah berubah, Gea. Masih Bryssa dan tetap Bryssa."

"Lantas, kenapa kau masih membiarkan Qween tinggal di tempat ini jika kau memilih Bryssa. Qween akan sangat terluka jika dia tahu kau mengasihaninya."

"Aku tidak bisa membiarkan dia keluar dari rumah ini sebelum dia sehat. Cinta untuknya sudah tidak ada lagi, Gea. Kesalahan bukan terletak padanya tapi padaku, aku mencintai Bryssa. Posisi Qween sudah terganti."

"Kapan kau akan memberitahunya tentang Bryssa?"

"Aku sedang mencari waktu yang tepat."

"Jangan membuang banyak waktu. Kau bisa kehilangan Bryssa jika kau tidak cepat."

"Bryssa tidak akan pergi dariku. Dia sudah tahu tentang Qween. Dan dia tidak memiliki niat untuk pergi."

Gea diam, jika Bryssa sudah tahu maka tak akan ada masalah untuk Zavier. Sejujurnya Gea lebih suka Zavier bersama dengan Qween, Qween adalah wanita lembut yang tidak pernah melukai fisik ataupun hati Zavier. Sementara Bryssa, wanita itu sudah mencoba membunuh Zavier. Tapi, Gea disini menyadari satu hal, bahwa Zavier yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Gea bisa berpikir Qween yang terbaik untuk Zavier tapi yang menjalani hidup adalah Zavier, dan jelas Zavier lebih tahu apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Intinya, Gea hanya ingin Zavier bahagia. Hanya itu saja.

"Dimana Qween?"

"Di taman."

Zavier turun dari kursi, "Aku temu dia dulu." Ia melangkah pergi setelah mendengar deheman dari Gea.

Di taman Qween tengah duduk di kursi rodanya, kakinya sudah terlalu lelah untuk berjalan.

"Kau tidak bosan terus berada di tempat ini, Qween?"

Qween memiringkan wajahnya, melihat ke Zavier tanpa senyuman sedikitpun.

"Apa kau lupa jika aku menyukai tempat ini?" Nada bicaranyapun menjadi dingin dan sarkas.

Zavier merasa ada yang salah disini, dulu Qween menggunakan nada seperti ini jika ia sedang marah dan kesal.

"Apa sesuatu membuatmu marah?"

"Situasi ini membuatku marah, Zavier. Sejak aku terjaga dari koma, aku merasa bangun di rumah yang sama, dengan pria yang sama tapi dalam situasi yang asing. Sebelum koma aku memiliki segalanya dan ketika aku terjaga, aku telah kehilangan segalanya."

"Kau terlalu banyak berpikir, Qween."

"Apa aku salah?" Qween kembali memperlihatkan tatapan kosong pada Zavier, "Katakan padaku, katakan padaku bahwa kau masih Zavier yang aku kenal. Katakan padaku bahwa kau mencintaiku."

Telak. Zavier bungkam. Dia bukan lagi Zavier yang Qween kenal. Dan dia sudah tidak lagi mencintai Qween.

"Kau tidak perlu menyembunyikan apapun lagi dariku, Zavier. Aku tidak akan melukai diriku sendiri karena kenyataan yang aku tahu sudah cukup membuatku terluka." Bukan hal seperti ini yang Qween inginkan ketika ia bertemu dengan Zavier setelah 2 minggu tidak bertemu tapi setelah ia mendengarkan pembicaraan Gea dan Zavier tadi ia merasa hatinya benar-benar sakit. Ia tidak pernah menyangka bahwa Zavier selama ini menahan diri karena tak ingin ia terluka. Ia ingin bahagia tapi mendengar Zavier lebih memilih Bryssa maka ia tidak bisa memaksa Zavier untuk bersamanya. Ia bukan wanita picik yang memaksakan perasaannya. Ia tidak ingin bersama dengan pria yang ia cintai dengan landasan kasihan.

"Kenyataan apa yang kau tahu, Qween?"

"Bryssa!" Qween menjawab berapi-api, "Aku tidak pernah mengkhianatimu, Zavier. Tapi ketika aku terjaga aku menemukan priaku telah bersama wanita lain. Aku pikir kau mungkin berpaling hanya karena aku koma tapi kenyataannya, kau benar-benar sudah berpaling terlalu jauh dariku. Ini tidak adil bagiku, Zavier. Benar-benar tidak adil. Bagaimana bisa kau melakukan semua ini padaku!" Qween tidak tahan lagi. Ia akhirnya menangis karena kemarahan dan ketidakadilan yang ia rasakan.

"Semua memang salahku, Qween. Maafkan aku."

"Tidak! Jangan katakan maaf. Yang harus kau katakan adalah, aku akan meninggalkannya. Bukan maaf!"Qween menolak keras permintaan maaf Zavier. "Aku tidak pernah berpikir bahwa cintamu padaku secepat itu berubah, Zavier. Aku berjuang untuk hidup demi kau tapi saat aku hidup, kau malah membuatku mati perlahan."

"Aku tidak bisa meninggalkannya, Qween. Sekali aku kehilangannya, aku mungkin tidak akan pernah bisa mendapatkannya lagi."

Jantung Qween bagaikan dihantam bongkahan batu besar, sangat sakit. Ia tidak pernah melihat Zavier takut kehilangan sesuatu tapi kali ini ia mendengar secara langsung bahwa Zavier takut kehilangan Bryssa.

"Seberapa istimewa wanita itu hingga dia bisa membuatmu seperti ini, Zavier?"

"Dia tidak sesempurna kau, Qween tapi dia memiliki semua yang aku butuhkan."

"Dan kesempurnaan ini telah dikalahkan oleh wanita itu, Zavier. Aku tidak bisa menerima semua ini. Aku tidak bisa merelakanmu tanpa aku bertemu dengan Bryssa. Atur pertemuanku dengan Bryssa. Aku ingin melihat sendiri wanita yang telah merebut milikku."

"Dia tidak merebut, Qween."

"Dia merebut, Zavier! Dia merebutmu dariku! Sebelumnya kau milikku dan sekarang kau sudah bukan milikku lagi!" Qween berteriak marah. Air matanya berjatuhan membasahi pipi pualamnya. Tak bisa ia jelaskan bagaimana sakit yang ia rasakan sekarang. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mencoba menjalankan kursi rodanya.

"Dia tidak tahu kau ada, Qween. Dan lagi bukan dia yang ingin berada di sisiku tapi aku yang ingin terus berada di sisinya. Semuanya adalah salahku."

Setelah beberapa kali gagal menjalankan kursi rodanya, akhirnya Qween pergi meninggalkan Zavier tepat setelah kalimat Zavier selesai.

"Apa yang terjadi, Qween?" Gea menghentikan Qween.

"Aku tidak akan melukai diriku sendiri. Jangan pedulikan aku." Qween terus menjalankan kursi rodanya dan masuk ke dalam kamarnya. Mengunci pintu dan mengubur diri di dalam ruangan itu.

"Zavier, ada apa dengan Qween?" Gea mencoba mendapatkan jawaban dari Zavier.

"Dia tahu tentang Bryssa."

Gea diam sejenak.

"Aku akan menyusulnya ke kamar. Dia mungkin akan melakukan hal nekat."

"Tidak perlu." Zavier melarang Gea. Ia mengeluarkan ponselnya, melihat apa yang dilakukan oleh Qween, "Biarkan dia sendirian." Zavier tidak bisa melepaskan Qween sendirian, tapi ia juga tidak bisa masuk ke dalam kamar Qween, satu-satunya jalan adalah dengan memantau Qween dari kamera pengintai di kamar Qween.

tbc