Namaku Cyra Ghazala Nur Adiba, umur 18 tahun. Hidupku sangat membahagiakan bersama kedua orang tua dan 3 saudara serta 1 Adik perempuan. Panggil sesuka kalian, tetapi Mbak pondok sering memanggil Cyra. Kalau keluarga Nur, katanya aku seperti cahaya untuk mereka.
Ayah dan Ibuku seorang pekerja keras yang sangat tangguh. Ayah pensiun dari perusahaan. Sekarang ini beliau sedang bekerja sebagai petani, sementara Ibuku seorang penjahit.
Dua Kakak lelakiku sudah sukses dan sudah menikah. Satu Kakak lagi masih kuliah di luar Negeri. Sejatinya aku ingin melanjutkan studi di Al-Azhar, tetapi kedua orang tuaku membutuhkan aku di sini.
Hingga 3 tahun yang lalu aku izin mondok di pesantren Darul Huda sembari kuliah di Institut Agama Islam Negeri Ponorogo di singkat IAIN Ponorogo.
Aku mengambil fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Lalu tinggal sebentar lagi lulus, Alhamdulillah.
Semua kehidupan pasti ada rintangan bukan? Seperti diriku banyak sekali rintangan.
Aku menatap dari jauh Gus Afraz penuh damba. Iya aku mencintainya dalam diam dan sangat mengagumi sosok dingin itu.
Gus sangat tegas dan berpendirian teguh. Aku sangat mencintainya karena sikap dan akhlaknya yang baik. Budi pekerti santun serta memiliki segudang prestasi membuat aku jatuh hati. Aku mencintainya karena Allah.
Semua rasa sakit datang ketika Gus hendak menikah bersama Ning dari pendok Gontor Darussalam. Sakit sekali sampai rasanya begitu menyiksa batin.
Aku tetap kokoh mencintai Gus sekaligus Dosen di kampus IAIN. Apa daya cintaku terlampau besar membuat berdebar. Sebelum waktunya izinkan aku mengagumi sosok dingin itu sepenuh hati.
Gus Afraz adalah Dosen fakultas Syariah. Dia lulusan terbaik di Al-Azhar Kairo. Sayang sikap cuek, dingin, pendiam, tidak tersentuh dan tegas itu sangat tidak pantas.
Harusnya sebagai Gus memiliki sifat lembut, baik hati, pengertian dan ramah itu pasti. Namun, berbanding balik akan sosoknya seperti gurun es. Dia sangat berbeda pada Gus kebanyakan. Namun, apa daya cintaku sudah tertaut untuknya.
Sebelum Gus menikah dengan Ning, aku akan menatap sembari berharap memiliki Suami hebat seperti Gus. Semoga saja kelak Suamiku hebat seperti Gus Afraz yang memiliki sejuta pesona.
Gus Afraz, aku mencintaimu karena Allah. Ya Allah, ini cinta yang salah. Aku tidak boleh memikirkan calon Suami orang.
Sadar Cyra ... Gus Afraz milik Ning Akifah. Mulai sekarang kamu harus introspeksi bahwa kamu adalah gadis biasa. Sedangkan berangan mendapat Gus Afraz, memikirkan saja kamu salah. Aku tidak pantas untuknya yang memiliki segudang prestasi. Sementara aku hanya gadis sederhana tidak bisa apa-apa.
Sampai sekarang aku tidak pernah melihat senyum Gus Afraz padahal saudaranya Gus dan Ning ramah semua. Tetapi, beda dengan Gus Afraz yang terkesan masa bodo. Senyum Gus Afraz terdampar di planet uranus mungkin.
Aduh, aku harus mengaji Tafsir dulu. Gawat aku terlambat. Bisa gawat jika aku ketinggalan saat Pak Ustadz mbalah kitab. Ya Allah semoga aku tidak telat dan dapat masuk kelas.
***❤❤❤***
Mengajari Santriwan sudah hal biasa bagiku. Memberi pelajaran agar ilmu yang kudapat dari Kairo tidak sia-sia. Sebagai seorang Putra dari Abah Kiai aku harus menjadi sempurna. Nyatanya banyak kekurangan dari diriku yang mereka tidak tahu.
Anggapan mereka Afraz adalah sosok sempurna. Idaman, klise itu semua bohong. Jika aku bukan Gus apa mereka mau berbicara begitu? Pastinya mau pasalnya wajah dan tubuhku memiliki standar di atas rata-rata orang Indonesia. Kata mereka wajahku itu tidak pantas jadi orang pribumi. Jelas beda karena sejatinya aku memiliki rahasia sangat besar kenapa aku berbeda dari mereka.
Baik kalian ingin mengenal namaku, bukan? Namaku sangat panjang sampai pusing menyebut nama sendiri. Baiklah namaku, Muhammad Afraz Sakhi Zaviyar. Apa terlalu panjang? Ku rasa tidak terlalu.
Aku anak ke tiga dari 6 bersaudara. Dua kakakku lelaki dan sudah berumah tangga. Di bawahku Adik perempuan, lalu laki-laki lagi dan dua terakhir perempuan.
Umur, jangan tanya aku malu menyebutnya. Baik jika memaksa usiaku 28 tahun, status tunangan.
Di usia sedewasa itu, Abah dan Ummi terus mendesak supaya lekas menikah. Karena desakan akhirnya aku setuju untuk menikah. Semua terasa rumit saat aku dan Ning Akifah di jodohkan. Apa benar dia jodohku?
Sejatinya di setiap Shalat Istikharah, aku melihat gadis lain. Mungkin mimpi itu salah sampai membuat aku bingung.
Saat di kampus aku selalu melihat gadis kecil menatapku. Siapa gadis mungil itu? Setiap saat aku melihat dia menatapku dari jauh. Sebenarnya siapa?
Tidak sengaja aku melihat dia pulang ke Pondok Darul Huda. Oo, jadi gadis itu Santriwati di sini yang kuliah di IAIN. Mungkin saja gadis itu memiliki ketertarikan padaku.
Selalu begini, gadis itu setiap jam istirahat pasti melihatku. Sejatinya dia itu siapa? Apa dia seorang stalker? Apa tujuannya menatapku begitu intens?
Pada akhirnya aku tahu gadis itu bernama Cyra Ghazala Nur Adiba. Namanya agak sulit jadi yang terucap hanya Cyra. Gadis aneh yang sayangnya tidak terlalu supel. Baiklah lupakan gadis itu karena aku tidak ingin membuang waktu memikirkan si stalker.
"Tole," panggil Mas Erman. Dia Mas pertama yang sambang ke Pesantren.
"Dalem."
"Kamu dan Ning Akifah kapan menikah?"
Pertanyaan sensitif, sejatinya aku tidak ingin. Kalau begini harus bagaimana?
"2 bulan lagi."
"Alhamdulillah, Le."
"Maaf, Mas saya harus mengajar santri."
"Baiklah, jangan tegas-tegas kamu, Le. Memang kamu tampan Le, tetapi sayang terlalu kaku. Syukur ada Ning Akifah yang mau dengan kamu, Le. Jika tidak siapa yang mau dengan pria kaku sepertimu?"
"Terima kasih."
Dari pada mendengar ocehan tentangku lebih baik berlalu begitu saja. Tunggu aku di suruh Abah mengulang tafsir di Santriwati? Yang benar saja?
"Abah, saya tidak mau mengajar di sana."
"Mengertilah, Le. Pak Kholil yang sering mengajar sedang sakit. Makanya untuk beberapa hari ke depan Tole yang mengajar di Santriwati."
"Abah ... baiklah saya akan mengajar."
Abah tersenyum padaku sembari menepuk bahu. Dengan begini aku bertemu para Santriwati yang sangat heboh. Semoga saja ini akan lancar tanpa halangan apa pun.
****❤❤❤❤****