Zainal tersenyum tipis ke arah Umar. Dia tidak menyangka bisa bertemu sahabat lama. Sewaktu di Kairo mereka bersahabat baik. Dan baru bertemu setelah lama berpisah.
"Mas Zainal, tidak menyangka jika saya bertemu di hari tua," kekeh Umar setelah acara akad nikah selesai.
"Aku juga tidak menyangka bisa bertemu dengan Umar si keras kepala dan penuh ambisi."
"Mas tidak perlu berkata begitu, saya merasa malu. Apa kabar, Mas?"
"Alhamdulillah, sampeyan?"
"Alhamdulillah."
Mereka lupa diri bahwa Afraz dan Cyra belum mandi. Dua pasangan baru ini terlihat canggung duduk berdampingan. Bahkan Cyra sampai bergetar merasa canggung. Untuk Afraz tampak datar mendengar percakapan Abah dan mertuanya.
Merasa sudah lengket semua Afraz berniat menyela perkataan Zainal dan Umar. Dia gerah ingin mandi supaya bisa lekas istirahat. Pemuda tampan menawan itu ingin menegaskan dirinya bau. Afraz begitu malas menatap para petinggi kampus yang telah merusak masa depan.
"Abah, ayo pulang saya belum mandi," celetuk Afraz karena mulai bosan.
"Oh, maaf Abah lupa waktu dan melupakan Putra Abah kesal. Umar, ayo ke rumah sekalian mengobrol tentang anak kita," ajak Zainal.
"Baik, Mas. Ayo kita sama-sama membahas ini."
Afraz jalan duluan sementara Cyra jalan beriringan bersama Ibunya. Tidak ada gandengan tangan atau saling sapa. Pasalnya pemuda ini tidak ambil pusing memikirkan Cyra. Ada kedua orang tuanya dan mertua. Lalu kenapa harus khawatir? Jika boleh jujur Afraz engan untuk berbalik menyapa Istrinya.
Cyra tidak mengharap Afraz menggandeng tangan atau menyapanya. Semua ini tidak terlalu penting untuk dipikirkan, pasalnya pernikahan terjadi karena terpaksa. Cyra menatap punggung tegap Afraz penuh arti. Punggung tegap itu akan ia lihat setiap hari sepanjang hidup.
Sampai pesantren, Cyra meminta Khatijah ikut menemani ke asrama. Dia ingin mandi dan berganti pakaian. Sebelum itu izin pada Afraz dan keluarga barunya.
Afraz pamit untuk mandi, sebelum itu melepas cincin pertunangan. Dia letakan di nakas dan melangkah pergi. Pemuda tampan berwajah maskulin itu mendongak merasakan situasi sulit. Mulai sekarang Afraz tidak akan mengenakan cincin itu. Hubungannya dengan Akifah telah berakhir begitu paksa.
Pemuda ini akan berusaha ikhlas menerima takdir Allah. Dia akan belajar mencintai Istrinya sedikit demi sedikit. Ia akan menghabiskan waktu sepanjang hidup bersama Istrinya. Afraz hanya berharap Cyra rekan yang baik dalam menjalin bahrera rumah tangga.
Khatijah sudah membawa koper untuk mem-packing pakaian Cyra. Dia akan menyerahkan Putrinya pada Afraz. Mulai sekarang Putrinya tinggal bersama Menatu yang sangat dingin. Apa sanggup Cyra hidup bersama Afraz? Khatijah berharap semoga saja mereka Sakinah Mawadah Warohmah, Amin.
Cyra mandi dengan santai. Pikiran melayang di udara memikirkan nasib bersama Afraz. 1 tahun, dia menaruh hati pada Gus dan kini semua seperti dongeng. Dia menikah dengan Afraz, walau terpaksa.
Apa nanti Cyra bisa bahagia? Apa ini keberuntungan atau kesialan? Cyra hanya berdoa semoga ini keberuntungan untuk menjadi Istri sang pria idaman.
Melihat Cyra bengong para Mbak pondok berkerumun. Mbak pondok mengerubungi Cyra dan bertanya dengan pertanyaan sama. Kenapa tidak pulang tadi malam? Ke mana saja?
"Aku sedang buru-buru, nanti aku jawab."
"Ayolah, Cyra. Kami sangat khawatir," pinta para santri wati.
"Aku terkurung di perpustakaan, suda aku harus menemui Ibuku."
Cyra langsung masuk asrama khusus para Mahasiswi. Dia tersenyum tatkala Khatijah membagi makanan pada santri. Ibunya memang suka membagi rezeki pada orang lain. Cyra menyapa sembari tersenyum manis.
Khatijah dan Mbak pondok lainnya menatap Cyra penuh arti. Mereka mengajak makan bersama. Namun, Cyra menolak halus ajakan mereka. Khatijah mengusap pipi gembul Cyra yang bersemu merah.
"Buk, Nur rias diri dulu."
"Iya, cepat ya nanti di tunggu, Bapak."
"Enggeh."
"Cyra, mau kelana?"
"Ndalem, ada urusan penting."
"Waduh, jangan bilang mau ...."
"Maaf," lirih Cyra.
Kini Cyra mengikuti langkah Khatijah menuju Ndalem. Dia terdiam seribu bahasa saat Ibunya menggandeng tangannya. Ia tidak mampu apa-apa selain berdoa pada Allah. Cyra berharap cintanya bisa terbalas dengan kehidupan rumah tangga manis.
Khatijah mencium pelipis Cyra sembari tersenyum tipis. Dia genggaman tangan Putrinya agar mendapat kenyamanan. Ia menitikkan air mata pedih jika ingat masa depan anaknya sudah terenggut. Khatijah hanya bisa berdoa demi kebahagiaan Cyra.
***❤❤❤
Cyra menunduk dalam tidak berani menatap depan. Di ruang tengah rumah Zainal. Perasaannya campur aduk menerima kenyataan pahit.
"Begini, saya ingin tinggal di apartemen. Selama ini saya sudah memiliki apartemen sendiri maka dari itu biarkan saya membawa Dik Cyra ikut bersama," to the point Afraz.
Afraz tidak mungkin tinggal di sini. Lagian apartemen sederhana sudah dia beli. Selama satu bulan mungkin dia hanya berdiam diri atau mengerjakan tugas kantor.
Cyra meremas tangan Khatijah. Bagaimana ini jika Afraz tahu dia belum bisa masak. Sejatinya bisa namun sederhana. Kalau tinggal berdua itu artinya hanya akan ada kecanggungan. Bagaimana nasibnya bersama pemuda dingin?
Khatijah paham sontak mengelus punggung tangan Putrinya. Sesekali dia usap pipi bulat Cyra agar tenang. Sebagai Ibu ia takut Putrinya di hardik tidak bisa masak. Semoga saja Afraz mampu memahami Putranha Cyra.
"Boleh saja, tetapi apa kamu siap menjaga Putri kami?" desak Umar.
"Insya Allah."
"Lalu, bagaimana jika sesuatu terjadi pada, Nur?"
"Saya akan bertanggung jawab atasanya kerena saya Suaminya. Saya akan mengayomi dan melindungi, Dik Cyra!" tegas Afraz.
"Alhamdulillah, Nduk Nur bagaimana?" tanya Khatijah.
"Saya ikut ke mana pun Gus membawa saya, Buk."
Obrolan berlangsung dan saat Adzan Dzuhur, mereka memutuskan untuk berjamaah. Mereka memutuskan untuk berjama'ah di masjid khusus laki-laki dan untuk Khatijah dan Cyra berjama'ah khusus Mbak pondok.
Afraz meminta keluarganya untuk sambang ke Darussalam. Dia ingin meluruskan masalah agar cepat kelar. Biarkan Afraz menyelesaikan masalah dengan bijak. Pemuda ini ingin Akifah ikhlas dia menikah dengan Cyra.
Usai jama'ah keluarga besar kembali berkumpul. Zainal dan Umar berharap anak-anak bahagia hidup baru. Bagi kedua kepala keluarga berharap Afraz dan Cyra mampu menjalani bahtera rumah tangga rumit.
"Kita akan pindah hari ini juga. Saya dan keluarga akan tindak sebentar. Mungkin hanya berapa jam setelah itu kita langsung pindah. Dik Cyra, tolong siapkan bawaan yang ingin di bawa!" tegas Afraz.
"Enggeh, Gus."
Detik itu juga setelah semuanya Cyra dan Afraz akan hidup berdua. Kini keduanya harus siap menjalani bahtera rumah tangga. Keduanya harus lapang dada menerima takdir Allah untuk mereka.
Baik Afraz atau pun Cyra berharap jalinan rumah tangga mereka akan mulus. Walau sadar semuanya tidak semanis ekspetasi. Keduanya harus rela berjuang demi mempertahankan hubungan walau tidak diinginkan.
*** ❤❤❤
Tepat di rumah Kiai penguras Pondok Pesantren Darussalam, keluarga Zainal berada. Keluarga besar Zainal menyapa calon mantan besan dengan ramah. Untuk Afraz seperti biasa datar tidak ada manis-manisnya.
Keluarga Akifah dan Afraz saling berbicara panjang lebar. Sekedar basa-basi sebelum bom meledak. Apa yang akan terjadi jika semua terungkap?
"Abah, Ning Akifah di mana?" tanya Afraz.
"O, Ning sedang mengajar, Gus. Tunggu sebentar."
Tidak lama orang yang di nanti hadir. Afraz tersenyum tipis melihat Akifah mengucap salam dengan suara teduhnya. Dia menggeleng untuk menghilangkan segalanya. Afraz sudah menikah dengan Cyra dan ia harus jaga jarak.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."
"Wa'alaikumssalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Akifah terkejut melihat Afraz datang bersama keluarga. Buru-buru dia menyalami tamu dengan sopan dan izin ke kamar untuk menaruh kitab.
Afraz diam saja menunggu saat yang tepat. Dia menghembuskan napas berat ketika Akifah kembali duduk manis di samping Buk Nyai.
Dua menit kemudian Akifah kembali ke ruang tamu. Dia tersenyum malu-malu saat Afraz menatap dirinya. Ia gugup berhadapan dengan tunangannya. Akifah begitu bahagia Afraz datang bersama keluarga.
"Pak Kiai dan Buk Nyai, terkhusus Ning saya mohon maaf atas apa yang akan terjadi. Saya membatalkan pernikahan dan ini cincin pertunangan kita!"
Inilah Afraz bicara tanpa di saring dan langsung ke inti tanpa peduli situasi dan kondisi. Baginya membuang waktu dan basa-basi itu tidak penting. Langsung ke inti permasalahan beres. Afraz bukan pria manis terkesan begitu dingin tidak suka basa-basi.
Zainal dan Aisyah sok mendengar perkataan Afraz. Kenapa bisa mereka punya anak to the point tanpa ada sambutan manis? Mereka menunduk melihat mats calon besan membulat sempurna.
Keluarga Zakaria terkhusus Ning Akifah tertohok mendengar perkataan Afraz. Apa ini sebuah permainan? Zakaria begitu marah tidak terima akan pembatalan pertunangan secara sepihak dengan cara kasar.
Akifah menunduk dalam menyembunyikan air matanya. Dia meremas ujung bajunya menghalau sesak. Sakit sekali sampai ia ingin menangis keras. Kenapa pria yang sangat dicintai memutus perjodohan secara kasar?
"Kenapa, Gus? Apa selama ini saya terlalu keras? Apa saya terlalu lama menyetujui pernikahan?" tanya Akifah beruntun.
Akifah memang memberi syarat pernikahan cukup enteng yaitu harus berlangsung setelah setengah tahun tunangan. Alasannya, Akifah ingin menghabiskan waktu lajang dengan mengajar santri wati. Lalu kurang 2 bulan lagi menikah kenapa putus?
Afraz menatap Akifah tanpa arti. Dia menautkan jemari untuk terdiam. Ia tersenyum tipis menghalau rasa bersalah. Afraz memejamkan mata sebentar lalu terbuka kembali.
"Semua pertanyaan Ning tidak menjadi alasan. Saya sudah menikah tadi pagi bersama Santriwati di Pesantren. Soal alasan kenapa saya menikahi gadis itu karena sebuah titah. Saya minta maaf atas semua ini, andai saya tidak terjebak mungkin kita masih bisa menikah."
Afraz berbicara begitu datar dan santai. Seolah semua baik-baik saja. Memang dasarnya Afraz sangat dingin dan irit bicara maka terimalah apa adanya. Afraz tidak suka berbicara pakai pemanis buatan lebih baik apa adanya asal jujur.
Zakaria dan Rukaiyah geram sementara Akifah tidak kuasa menahan air mata. Kenapa bisa begini? Terjebak, jangan bilang Afraz melakukan zina. Ya Allah tega sekali calon Imamnya melakukan hal hina begini.
Akifah menunduk dalam menyembunyikan air matanya. Dia mengepalkan tangan berusah mengontrol diri. Dia sangat sakit ingat permasalahan ini. Kenapa bisa Afraz menikahi Santriwati? Apa calon Suaminya begitu hina sampai serendah ini? Akifah ingin meluapkan emosi agar hatinya tenang.
"Kenapa Gus tega pada saya? Apa salah saya, Gus?" tanya Akifah bernada sendu.
"Maaf dan Ning tidak salah apa-apa. Saya dan gadis itu terkurung semalaman di perpustakaan. Mereka memaksa menikah padahal kami tidak melakukan apa pun. Sekali lagi maafkan saya."
Semua sudah menjadi takdir ketika Afraz membatalkan pernikahan dan memilih hidup baru bersama gadis Stalker. Setitik mimpi hidup bersama gadis dewasa seperti Akifah hinggap lalu kenapa lenyap. Kini semuanya terganti dengan gadis kecil. Semua takdir sudah tertulis membuat Afraz harus menerima dengan lapang dada.
Bagi Akifah, ini sebuah kesakitan luar biasa. Andai saja dia mau menikah lebih awal bersama Afraz mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Akifah sangat menyesal kehilangan Afraz dalam hidupnya. Pemuda yang di cintai sudah menjadi Suami orang. Sakit sekali sampai ia ingin menyerah pada takdir kejam.
Zainal terus menjelaskan secara rinci dan memberi pengertian untuk pembatalan pertunangan mereka. Dia bersyukur keluarga Zakaria menerima semua secara lapang dada . Hubungan silaturahmi akan selalu terjalin walau hubungan besan batal.