Chereads / Echoes Of The Past / Chapter 37 - Echoes Of The Past|GAoW2| [36]

Chapter 37 - Echoes Of The Past|GAoW2| [36]

Hello semuanya.

Happy reading!

_________

7 tahun yang lalu.

Sarah menelpon nomor Axton menggunakan telepon rumahnya. Nomor pria itu selalu aktif namun panggilan teleponnya tidak dijawab sama sekali hari ini. Sudah lima kali Sarah mencoba untuk menelpon Axton dan sudah lima kali juga teleponnya hanya diabaikan. Hari ini adalah hari dimana dia telah menerima surat balasan dari beberapa universitas terkenal termasuk universitas tujuan Axton.

Beberapa surat dari berbagai universitas sudah ada di atas meja belajar Sarah namun dia belum berencana untuk membuka semua surat itu sebelum Axton menerima panggilan teleponnya. Biasanya pria itu akan menjawab pada panggilan kedua tapi anehnya hari ini Axton tidak mengangkat teleponnya meski dia sudah menelpon pria itu berulang kali. Ya, walaupun Axton selalu diam setiap kali teleponnya diterima namun Sarah tetap merasa bahagia.

Itu tandanya Axton masih mau mendengar suaranya meskipun pria itu tidak pernah mengucapkan sepatah kata apapun kepada Sarah. Ya, setidaknya Sarah bisa tahu kalau Axton masih hidup dan bernafas di dunia ini. Walaupun hanya lewat telepon dan Axton juga jarang mengangkat teleponnya namun Sarah tetap merasa senang saat dia bisa membicarakan semua yang dia pikirkan dan rasakan langsung kepada Axton.

Panggilan kelima juga berakhir dengan sama. Axton tidak menerima panggilan teleponnya. Sarah mencoba menelpon Axton lagi kali ini dengan harapan pria itu akan mengangkat teleponnya namun harapan Sarah harus hilang di tengah jalan karena nomor Axton sekarang malah tidak aktif. Sarah menelpon sekali lagi nomor Axton dan ternyata nomor pria itu tetap tidak aktif. Sarah menurunkan gagang telepon itu dengan kecewa lalu kembali ke meja belajarnya dengan langkah yang gontai.

"Sepertinya dia ingin aku benar-benar menyerah." Ucap Sarah pada dirinya sendiri.

Sarah menghembuskan nafasnya sejenak lalu memutuskan untuk membuka semua surat yang diterimanya siang ini. Sarah membaca surat itu satu per satu dengan jantung yang berdebar-debar. Dia takut jika dia gagal masuk ke universitas yang sama dengan pilihan Axton. Dia belum mau menyerah untuk mendapatkan Axton. Pokoknya selama dia masih bisa dan mampu untuk mengejar Axton maka dia akan terus berjuang sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.

Sarah menahan jeritannya saat semua surat yang ada di atas mejanya tertulis kata diterima. Dia langsung berdiri dari tempat duduknya lalu melompat-lompat kesana kemari karena rasa bahagia yang meluap-luap. Perasaannya sangat bahagia sekali karena semua harapannya terwujud. Dia sangat bersyukur karena dewi keberuntungan berada dipihaknya kali ini dan dia semakin yakin kalau Axton adalah pria yang layak untuk dia perjuangkan.

"YEAY!!" 

Sarah berteriak sambil menarikan gerakan acak yang terlihat aneh. Bibi pengasuhnya yang baru saja masuk ke dalam kamar Sarah langsung terkejut saat melihat Sarah yang bertingkah seperti orang kerasukan. Sarah kembali tertawa dengan keras sambil mengambil ponsel genggamnya yang berada di atas kasurnya tanpa menghiraukan orang lain sedangkan bibi yang tadinya khawatir saat Sarah berteriak kembali keluar kamar setelah memastikan Sarah baik-baik saja.

"Aku harus menelpon Aiden." Ucap Sarah sambil membuka kunci layar ponselnya.

Sarah menempelkan layar ponselnya ke telinga kanannya sambil berjalan ke arah jendela. Dia harus memastikan sekali lagi kepada Aiden kalau Axton benar-benar telah diterima juga di universitas tersebut. Dia tidak ingin terburu-buru dalam memutuskan sesuatu karena ini menyangkut masa depannya bersama Axton. Dia tidak mau kehilangan satu saja kesempatan untuk bisa bersama dengan Axton.

"Hello, Aiden." Ucap Sarah dengan senyuman lebarnya.

"Ada apa?" 

"Kau baru bangun tidur?" Tanya Sarah sambil tertawa.

"Tidak, aku belum tidur dari kemarin." 

"Kau harus cukup tidur setiap hari jika kau tidak ingin mati muda." Ucap Sarah dengan cengiran lebarnya.

"Kalau kau hanya ingin mengomeliku, aku tutup teleponnya."

"Eitss! Jangan ditutup!" Ucap Sarah dengan nada panik.

"Ya sudah, kalau begitu cepat katakan kau perlu apa."

"Tolong bantu aku sekali lagi." Jawab Sarah dengan nada memohon.

"Bukannya kau tidak perlu bantuanku lagi?"

"Aku hanya bercanda saat itu." Ucap Sarah dengan nada menyesal.

"Hahaha, tumben sekali kau tidak menyangkal perkataanku." 

"Karena aku butuh sesuatu darimu jadi aku tidak mau membuatmu kesal ataupun marah." Ucap Sarah dengan jujur.

"Hahaha, baiklah. Katakan padaku kau butuh apa." 

"Aku ingin memastikan apa Axton benar-benar diterima di universitas yang kau katakan?" Tanya Sarah dengan nada suara yang rendah.

"Dia bahkan diterima sebagai penerima beasiswa penuh disana jadi aku bisa menjamin kalau dia benar-benar akan masuk universitas itu."

"Serius?!" Tanya Sarah dengan terkejut.

"Apa kau pikir aku ini pembohong?!" 

"Tidak, hahaha. Baiklah kalau begitu terima kasih, bro." Ucap Sarah dengan nada yang terdengar ceria dan senang.

"Okay, bye."

"Bye."

Sambungan telepon mereka terputus dan Sarah langsung melemparkan ponselnya ke atas kasur. Dia kembali menari kesana kemari dengan sangat bersemangat sampai-sampai kedua kakinya sakit akibat terlalu banyak melompat dan melakukan beberapa gerakan aneh lainnya. Sarah mengambil kembali ponsel genggamnya lalu menyetel satu lagu up beat yang semakin membuatnya ingin menari semakin keras.

Sementara itu Aiden yang baru saja mengunci layar ponselnya langsung tertawa sambil menatap Axton yang tetap fokus pada layar laptopnya. Aiden sengaja mengganti mode teleponnya menjadi mode speaker agar Axton dapat mendengarkan obrolan mereka juga. Aiden menatap Axton dengan senyuman jahilnya. Dia ingin mengganggu Axton dengan harapan pria itu akan membuat sebuah ekspresi lucu namun pada kenyataannya wajah Axton tetap datar dan dingin seperti biasanya.

"Apa kau dengar barusan?" Tanya Aiden sambil menatap Axton.

"Iya." Jawab Axton dengan nada yang terdengar tidak berminat.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Aiden lagi.

"Percakapan kalian atau tentang Sarah?" Tanya Axton kembali.

"Keduanya." Jawab Aiden sambil tersenyum.

Axton menutup layar laptopnya lalu menatap Aiden dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan menggunakan kata-kata. Axton mengaitkan jari-jarinya sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Aiden. Dia tidak ingin jika hal pribadinya menjadi topik pembicaraan mereka kedepannya jadi dia akan menyelesaikan hal itu sampai disini. Dia juga tidak ingin jika ayahnya sampai tahu identitas asli Sarah karena Aiden terus membicarakan Sarah di tempat umum. 

Ayahnya itu masih mengawasinya dengan ketat dan Axton tahu kalau ayahnya juga memerintahkan beberapa orang bawahannya untuk mengikutinya kemanapun dia pergi. Bahkan Axton mengetahui identitas orang-orang yang mengikutinya namun dia memilih untuk diam dan berpura-pura tidak tahu agar ayahnya tidak melakukan hal-hal yang lebih parah dari sekarang.

"Percakapan kalian terdengar akrab dan tampaknya kalian berdua telah menjadi teman baik." Ucap Axton dengan serius.

"Bukan itu maksudku, bro. Bagaimana pendapatmu tentang Sarah yang ingin satu kampus denganmu?" Ucap Aiden dengan gemas.

"Menurutku tidak masalah jika Sarah ingin masuk universitas manapun. Selama dia menganggap pilihannya itu tepat, aku hanya bisa mendukung pilihannya." Jawab Axton dengan serius.

"Jadi kau tidak masalah jika dia kembali mengejarmu di kampus?" Tanya Aiden sambil mengangkat salah satu alisnya ke atas.

"Bangunan universitas itu sangat luas, bro. Aku dan dia tidak akan satu fakultas karena aku tahu dia sama sekali tidak tertarik pada bidang teknologi jadi aku pikir kecil kemungkinan kami akan bertemu di kampus." Jawab Axton.

"Tapi bisa saja kan kalian sering bertemu. Kita tidak tahu yang namanya takdir, bro. Mungkin kalian memang ditakdirkan untuk bersama jadi akan selalu ada kesempatan untuk bertemu seperti saat kita di SMA." Ucap Aiden dengan serius.

Axton hanya mendengus sambil menggelengkan kepalanya. Dia tidak percaya pada hal yang seperti itu karena selama dia hidup dia tidak pernah mengalami hal-hal yang berkaitan dengan takdir. Orang bilang kalau takdir itu sering dikaitkan dengan pasangan hidup dan Axton belum pernah merasakan punya pasangan dalam hidupnya jadi dia tidak bisa mempercayai hal-hal yang belum terjadi pada dirinya.

Tidak seperti Axton yang tidak percaya pada takdir, Aiden malah sangat mempercayai takdir. Aiden menganggap kalau pertemuannya dengan cinta pertamanya saat kecil adalah takdir dari Tuhan. Bahkan sampai sekarang Aiden masih sulit untuk melupakan cinta pertamanya. Meskipun banyak perempuan yang rela mengantri hanya untuk berkencan dengannya namun di dalam hati Aiden hanya ada cinta pertamanya.

Memang seseorang itu tidak bisa dinilai hanya dari penampilannya saja. Buktinya saja Aiden yang terlihat seperti pria yang suka mempermainkan perempuan malah setia pada cinta pertamanya dan Axton yang terlihat sangat setia pada pasangannya malah tidak percaya pada hal-hal yang berhubungan dengan cinta dan tidak pernah terlibat dalam hubungan percintaan sedangkan Sarah yang terlihat sangat membenci pria malah jatuh cinta pada Axton.

Jadi kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari luar. Kita juga tidak bisa sembarangan mengatakan sesuatu tentang seseorang jika kita tidak benar-benar mengenal seseorang itu dengan baik. Berpendapat memang boleh dan dibebaskan namun kita juga harus tahu batasan dan perbedaan yang mana pendapat dan yang mana hinaan. Sebagian orang menganggap kalau pendapat dan hinaan adalah dua hal yang serupa dan orang-orang cenderung mencampur keduanya dengan dalih kalau berpendapat itu dibebaskan.

Padahal kedua hal itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Berpendapat itu bisa kita lakukan jika kita sudah melihat sesuatu dari banyak sisi dan cenderung bersifat netral sedangkan hinaan adalah sesuatu hal yang tidak benar yang hanya berdasar pada sesuatu ketidakbenaran dan hinaan ini biasanya bersifat berpihak dan cenderung menyakiti perasaan orang lain. Dari sini saja kita sudah bisa membedakan keduanya dengan sangat jelas jadi sudahkah kita menjadi orang yang bijak dalam berkata-kata?

_____________

To be continuous.