Hello semuanya.
Happy reading!
__________
8 tahun yang lalu.
"Tahun ini adalah tahun terakhir anda berada di sekolah dan sekitar 8 bulan lagi anda akan lulus dan menerima gelar diploma. Tepat satu bulan setelah anda lulus, anda akan mulai bekerja di kantor sebagai pemagang." Ucap seorang pria tua yang telah bekerja sebagai sekretaris ayahnya selama puluhan tahun.
"Ayah anda meminta saya untuk membimbing anda mulai dari sekarang dan beliau meminta saya untuk mengatur semua jadwal anda mulai dari sekarang." Ucap pria itu dengan penuh hormat.
"Mohon bantuannya dan saya harap anda dapat bertahan dalam pekerjaan ini." Jawab Axton dengan wajah datarnya.
"Dengan segala hormat saya akan berusaha lebih keras agar anda dapat berhasil di dalam tugas ini." Ucap pria itu sambil membungkukkan badannya dengan penuh hormat.
Pria itu kembali membaca deretan panjang jadwal yang akan dilakukan oleh Axton mulai dari hari ini sampai beberapa bulan ke depan. Axton menatap pria itu dengan tatapan kosong. Dia masih tidak percaya kalau ayahnya benar-benar akan mengawasinya dengan ketat. Tampaknya ayahnya sama sekali tidak percaya dengannya jadi dia menyuruh sekretaris dan seorang asisten pribadi yang akan mengatur semua jadwal hariannya.
Axton tidak memiliki hak pribadi lagi sekarang. Dia tidak memiliki kebebasan sedikitpun untuk menentukan apa yang ingin dia lakukan. Semua hal sudah diatur dengan sangat rapi di dalam sebuah jadwal panjang yang sudah tersusun dalam sebuah agenda. Bahkan ada kegiatan baru yang sebelumnya belum pernah Axton lakukan seumur hidupnya. Seperti latihan menembak, kelas beladiri yang bertambah menjadi tiga aliran karena sebelumnya Axton menekuni seni beladiri judo.
Selain itu ada juga kelas renang di akhir pekan dan kelas bahasa asing yang akan diambilnya setelah kelas renang. Ada juga kelas berkuda dan sejumlah kegiatan lain yang katanya akan membantunya nanti saat sudah bekerja sebagai pemimpin perusahaan. Axton menghembuskan nafasnya dengan pelan sambil menatap ke arah luar jendela. Sekretaris ayahnya masih sibuk menjelaskan semua kegiatan baru yang akan dia lakukan dan Axton sama sekali tidak tertarik dengan apa yang pria itu katakan.
Sudah dua hari ini dia selalu mendengar semua rencana dan kegiatan yang sudah direncanakan oleh ayahnya dan sudah dua hari ini juga dia mendatangi semua tempat yang akan menjadi tempatnya berlatih nanti. Dia sama sekali tidak bersemangat dengan semua kegiatan membosankan yang akan dia lakukan beberapa bulan ke depan. Baginya semua itu bukan untuk kebaikannya melainkan untuk kebaikan reputasi ayahnya yang sempurna.
Menurut Axton, ayahnya itu hanya ingin pamer di depan para koleganya kalau dia memiliki seorang anak laki-laki yang sempurna dan tidak bercela. Axton sangat yakin sekali kalau pria tua itu hanya ingin membanggakan dirinya sebagai ayah yang telah berhasil mendidik anaknya sampai sukses. Bahkan Axton akan mempertaruhkan semua yang dia punya jika omongannya tidak benar.
"Untuk saat ini hanya itu saja yang bisa saya sampaikan mengenai jadwal anda besok." Ucap pria itu dengan sopan.
"Kerja bagus." Ucap Axton dengan datar.
"Terima kasih, Tuan muda." Jawab pria itu sambil membungkukkan badannya.
pria itu berpamitan lalu keluar dari dalam ruangan besar yang berfungsi untuk melakukan sebuah meeting dengan kolega bisnis ayahnya. Ruangan itu terasa sangat hening dan sepi setelah sekretaris ayahnya keluar dan meninggalkannya sendirian di dalam ruangan ini. Axton menatap cahaya senja matahari melalui sebuah kaca besar yang memungkinkan dia untuk melihat ke arah luar dengan lebih leluasa.
Tidak terasa hari sudah sore dan itu artinya hari akan segera berganti hari yang baru beberapa jam lagi. Besok dia masih belum bisa masuk sekolah karena satu dan lain hal. Mungkin dia akan kembali masuk sekolah setelah semua urusannya selesai atau kemungkinan terburuknya adalah dia akan belajar di rumah sampai hari kelulusan tiba nanti. Bisa dibayangkan betapa sedikitnya kenangan yang dia miliki di tahun terakhirnya di sekolah.
Ponsel genggam milik Axton tiba-tiba berbunyi. Ada sebuah panggilan telepon masuk ke nomornya namun Axton sama sekali tidak berniat untuk mengangkatnya. Nomor asing yang tertera di layarnya menjadi alasan utama kenapa dia tidak menerima panggilan itu. Sudah tidak terhitung jumlah nomor asing yang selalu mencoba menelponnya dan sudah berkali-kali juga dia mengganti nomor ponselnya karena ponselnya tidak berhenti berdering setiap saat.
Panggilan itu akhirnya berhenti dan kemudian nomor itu kembali menelponnya lagi dan lagi. Axton hanya menatap ponselnya dengan tatapan datar. Setelah panggilan itu berhenti untuk yang kesekian kalinya, dia langsung memblokir nomor tersebut dengan cepat agar nomor itu tidak bisa menelponnya lagi. Dia tidak mau mengganti nomor teleponnya lagi kali ini karena dia tidak punya waktu untuk mengurus ponselnya. Sangat melelahkan jika harus mengganti nomornya dengan nomor baru lagi.
Sedangkan di tempat lain Sarah yang sudah pulang ke rumah dengan selamat terus mengecek ponselnya setiap detik. Dia sudah mencoba untuk menelpon Axton berkali-kali namun pria itu tidak pernah menerima panggilan teleponnya dan yang lebih parahnya lagi adalah nomornya malah di blokir Axton dan dia tidak bisa menelpon pria itu lagi sekarang. Sarah langsung berteriak dengan kesal sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Dia sudah kehabisan akal dan kini dia tidak tahu cara apalagi yang bisa dia gunakan untuk membuat Axton menyadari kehadirannya.
Sarah berjalan menuju meja kecil yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Dia memutuskan untuk menelpon Axton kembali menggunakan telepon rumah. Dia tidak akan menyerah sampai pria itu mengangkat teleponnya. Deringan pertama masih tidak ada jawaban, begitu juga deringan-deringan selanjutnya. Hingga pada deringan terakhir sambungan telepon itu terhubung namun Sarah tidak bisa mendengar suara Axton karena pria itu hanya diam saja.
"Axton, apa kamu mendengarku?"
Axton tetap diam namun dia tetap mendengarkan Sarah dengan serius. Pria itu cukup merasa terkejut karena Sarah yang tiba-tiba menelponnya padahal dia tidak pernah memberitahukan nomornya pada Sarah. Awalnya dia merasa bingung Sarah bisa mendapatkan nomornya dari mana namun setelah dia pikirkan lagi bisa saja perempuan itu mendapatkan nomornya dari Aiden. Dia cukup yakin tentang hal itu.
"Baiklah, aku akan menganggap kau mendengarku sekarang."
"Bagaimana kabarmu?"
"Aku hanya ingin mengetahui kabarmu karena kau tidak masuk sekolah selama dua hari ini tapi sepertinya kau baik-baik saja karena kau bisa mengangkat telepon ini."
Axton menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Sarah selalu bisa membawa energi positif pada dirinya meskipun mereka tidak berdekatan. Suasana hatinya yang awalnya terasa sangat buruk berubah menjadi lega dan ringan setelah mendengar suara Sarah. Seperti sebuah magic yang hanya bisa bekerja pada dirinya saja. Seperti itulah definisi Sarah untuknya.
"Kau tahu, aku sangat kesepian di sekolah. Aku tidak punya teman, kau tidak kunjung masuk sekolah dan Aiden selalu sibuk dengan ponsel genggam sialannya."
"Aku harap kau bisa masuk sekolah lagi besok agar aku punya seseorang yang bisa aku ikuti hahaha. Aku bercanda."
Axton menarik kedua sudut bibirnya ke atas sambil melihat pemandangan taman yang berada di halaman depan rumahnya karena letak ruangan meeting ini berada di tempat yang paling bagus. Ruangan ini berada di lantai pertama namun pemandangan yang bisa dia dapatkan sangatlah luar biasa. Kolam renang dengan pepohonan disekitarnya membuat mata kita merasa betah untuk menatap pemandangan itu lama-lama.
"Axton."
"Aku tidak tahu kehidupan pribadimu seperti apa dan aku juga tidak tahu masalah apa yang sedang kau hadapi tapi aku yakin kalau kau bisa bertahan. Aku percaya padamu."
Axton berhenti tersenyum. Sorot matanya kembali berubah menjadi kosong. Kenapa Sarah bisa mempercayai orang seperti dirinya? Mereka hanya bertemu dalam waktu yang singkat tapi Sarah sudah percaya dan yakin padanya. Axton menurunkan ponsel genggamnya dari telinganya lalu mengubah mode panggilan menjadi mode speaker agar dia bisa meletakkan ponselnya di atas meja.
Dia sama sekali tidak mengerti dengan perubahan perasaan seseorang. Bukannya pada awalnya Sarah membencinya? Mereka bertengkar dari awal bertemu kan? Tapi kenapa kini perempuan itu menjadi peduli? Axton tidak mengerti kenapa orang lain cepat sekali menyimpulkan perasaannya dengan mudah. Axton menyatukan jari-jari tangannya menjadi satu sambil menatap ponsel genggamnya. Dia akan melihat sampai sejauh apa hal ini akan terjadi.
"Kalau urusanmu sudah selesai nanti, cepat kembali ke sekolah lagi. Aku tidak peduli jika kau masih mengabaikanku atau menghindariku di sekolah. Aku tidak apa-apa asalkan aku bisa melihatmu di sekolah."
"Jujur saja.. Aku merindukanmu."
Kedua mata Axton langsung melebar dan jantungnya juga berdetak dengan kencang. Pengakuan Sarah membuatnya tidak bisa berpikir sama sekali. Mendadak dia kehilangan akal sehatnya sekarang padahal pengakuan cinta seperti ini sudah sering dia dapatkan selama ini. Tapi entah kenapa pengakuan Sarah terasa lebih bermakna dari yang lainnya. Seperti ada sebuah getaran listrik di dalam tubuhnya yang tidak bisa dijelaskannya menggunakan teori ilmiah maupun logika.
"Aku rasa itu saja yang ingin aku katakan padamu dan oh ya jangan memblokir nomorku!"
"Aku akan mencari rumahmu kalau kau masih memblokir nomorku! Dengar itu, Axton! Ya sudah kalau begitu sampai jumpa."
Axton menekan layar ponselnya agar sambungan telepon mereka terputus. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi sambil menatap lampu gantung yang ada di dalam ruangan ini. Inilah kenapa dia memilih untuk menjaga jaraknya dari Sarah karena perempuan itu berbahaya untuknya. Bukan dalam artian berbahaya untuk nyawa atau keselamatan dirinya. Ini lebih ke sesuatu yang berhubungan dengan sebuah perasaan dan jujur saja Axton tidak menyukai sesuatu yang berhubungan dengan sebuah perasaan.
___________
To be continuous