Hello semuanya.
Happy reading!
___________
8 tahun yang lalu.
"Aiden." Panggil Sarah sambil menusuk-nusuk lengan Aiden dengan jari telunjuknya.
"Apa?!" Tanya Aiden sambil menghindar dari serangan tusukan jari Sarah.
"Hari ini Axton tidak masuk sekolah lagi?" Tanya Sarah pada Aiden.
"Iya." Jawab Aiden dengan cuek.
"Kau tahu kenapa dia tidak masuk sekolah dua hari ini? Apa dia memberitahumu kenapa dia tidak masuk sekolah?" Tanya Sarah lagi.
"Tidak." Jawab Aiden tanpa menatap Sarah.
"Kenapa kau tidak pernah tahu apapun sih?!" Tanya Sarah dengan kesal.
"Memangnya aku harus selalu tahu jadwalnya?! Aku ini temannya bukan sekretarisnya!" Jawab Aiden dengan penuh emosi.
Sarah menghembuskan nafasnya dengan kasar. Berbicara dengan Aiden selalu mampu membuatnya marah dan kesal. Pria itu sama sekali tidak mengerti perasaannya yang sedang tidak menentu dan malah memperburuk keadaan. Aiden benar-benar pria yang tidak peka dan menyebalkan. Sarah jadi kasihan pada istri Aiden kelak. Walaupun hal itu masih lama untuk terjadi namun Sarah sudah bisa melihat gambaran masa depan Aiden yang suram.
Sarah memanyunkan bibirnya ke depan sambil menatap Aiden yang sedang sibuk dengan ponsel genggamnya. Sekarang adalah jam istirahat dan mereka berdua memutuskan untuk tetap berada di dalam kelas karena mereka berdua sama-sama sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Sarah yang sibuk dengan pikirannya yang kacau sedangkan Aiden sibuk dengan ponsel genggamnya. Sarah tidak tahu apa yang sedang pria itu kerjakan namun tampaknya dia sangat serius sekali.
"Hei! Apa kau punya nomor telepon Axton?" Tanya Sarah sambil menendang kursi Aiden.
Aiden hanya menatap Sarah dengan tatapan tajam sambil memindahkan kursinya agar Sarah tidak bisa menendangnya lagi. Namun bukan Sarah namanya jika dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Sarah menarik kursinya ke depan agar dia bisa lebih dekat dengan Aiden sedangkan Aiden yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi hanya bisa pasrah dan mengabaikan Sarah.
"Aiden." Panggil Sarah sambil menendang kursi Aiden lagi.
"Kau punya tidak nomornya? Kalau punya tolong berikan nomornya padaku." Tanya Sarah lagi.
"Aiden!" Panggil Sarah sambil menepuk punggung Aiden hingga pria itu terkejut dan menjatuhkan ponselnya ke lantai.
"Kau ini selalu saja menggangguku! Bisa tidak sehari saja kau diam dan tidak membuat orang lain kesal?!" Ucap Aiden sambil menatap Sarah dengan tatapan kesal.
"Kalau dari awal kau menjawab dengan benar, aku tidak akan mengganggumu!" Ucap Sarah dengan kesal.
"Arrgghh!!"
Aiden menahan amarahnya yang telah sampai di ubun-ubunnya. Rasanya dia ingin sekali melempar Sarah ke tengah lautan agar perempuan itu berhenti mengganggunya. Dari kemarin hingga hari ini, Sarah selalu saja mengganggunya dengan terus bertanya hal-hal yang bahkan dia sendiri tidak tahu jawabannya. Dia dan Axton memang berteman tapi bukan berarti dia tahu segalanya tentang kehidupan Axton. Konyol sekali jika orang lain menganggap dua orang yang berteman itu harus tahu semua hal pribadi satu sama lain.
Pertemanan itu tidak dinilai berdasarkan seberapa jauh kau mengetahui kehidupan pribadinya. Melainkan sebuah pertemanan itu dinilai dari seberapa pedulinya seseorang pada temannya hingga dia tahu batasan dalam berteman. Saling menghargai satu sama lain. Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Selalu ada dalam suka dan duka. Itu baru namanya sebuah pertemanan yang sebenarnya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi." Ucap Sarah sambil mencolek lengan Aiden.
"Aku punya nomornya. Puas?" Ucap Aiden sambil menatap Sarah.
"Kalau begitu beritahu aku nomornya. Aku butuh nomornya." Ucap Sarah sambil mengeluarkan ponsel genggamnya.
"Aku tidak bisa memberikan nomor telepon temanku kepada orang asing." Ucap Aiden dengan nada mengejek.
"Aku bukan orang asing, aku ini dekat dengan Axton. Kau ini bodoh ya." Ucap Sarah tidak terima.
"What? Apa katamu barusan? Bodoh? Siapa yang bodoh?" Ucap Aiden dengan nada marah.
"Kau." Jawab Sarah dengan wajah polosnya.
"KAU!" Ucap Aiden dengan kesal.
"Wow, bro. Hold on. Don't be mad at me. Peace be upon you." Ucap Sarah dengan cengiran lebarnya.
Aiden memejamkan kedua matanya. Rahang tajam pria itu terlihat mengeras dan itu tandanya Aiden sedang menahan amarahnya dengan sekuat tenaga. Sarah menatap Aiden dengan tatapan khawatir sambil tertawa canggung. Dia takut kalau Aiden benar-benar akan menendangnya keluar dari dalam kelas. Ya, walaupun hal itu tidak pernah terjadi namun tidak ada salahnya kan kalau dia selalu bersikap waspada.
"Aku bukan orang asing jadi cepat berikan nomornya padaku." Ucap Sarah sambil menengadahkan tangan kanannya ke arah Aiden.
"Oh ya? Bukannya sudah satu bulan ini kau dicampakkan dia? Aku lihat dia sengaja menjauhimu, tuh." Tanya Aiden sambil menarik salah satu alisnya ke atas.
"Siapa yang mengatakan hal konyol seperti itu? Aku tidak pernah dicampakkan. Hah, konyol sekali. Kami hanya sedang menjaga jarak saja sekarang dan akan kembali membaik jika waktunya sudah tepat." Jawab Sarah dengan kesal.
Aiden langsung tertawa dengan keras. Baginya hubungan Axton dan Sarah sangat lucu dan unik. Bagaimana bisa dua orang dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang saling tertarik satu sama lain? Apalagi hubungan tarik ulur yang sedang mereka lakukan sekarang. Yang satu mengejar seperti orang gila dan yang satu lagi menghindar seperti seorang pencuri yang takut jika tertangkap. Lucu sekali kan? Saling peduli tapi sama-sama saling egois.
Ya, apapun akhirnya nanti, Aiden hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk keduanya. Kasihan saja jika hubungan mereka harus berakhir begitu saja padahal mereka belum memulai apapun. Aiden berharap semoga Sarah dapat mencairkan tembok es yang dibangun Axton selama ini. Aiden ingin melihat sahabatnya itu bahagia dan menjalani kehidupan layaknya orang normal lainnya.
"Kenapa kau malah tertawa? Tidak ada yang lucu disini!" Tanya Sarah sambil menendang kursi Aiden lagi.
"Aku hanya ingin tertawa saja. Memangnya tertawa itu dilarang?" Jawab Aiden.
"Menertawakan orang yang sedang mengalami kesusahan itu tidak baik. Percuma saja sekolah di tempat yang mahal dan pintar dalam segala hal tapi perilakumu tidak bagus." Ucap Sarah dengan prihatin.
Aiden mengerutkan dahinya sambil menatap Sarah dengan tatapan aneh. Kenapa jadi dia yang diberi nasehat seperti ini? Bukankah seharusnya dia yang memberikan nasehat kepada Sarah agar perempuan itu berhenti melakukan kegilaan dimana-mana? Bukankah terbalik? Seharusnya Aiden yang menasehati Sarah dengan kata-kata yang diucapkannya tadi.
"Mana nomornya?" Tanya Sarah dengan bersikeras.
"Aku harus bertanya pada Axton dulu." Jawab Aiden dengan tegas.
"Jangan tanya dia!" Ucap Sarah panik.
"Kenapa tidak boleh?" Tanya Aiden dengan heran.
"Pokoknya tidak boleh." Jawab Sarah dengan serius.
"Ya sudah kalau begitu aku tidak bisa memberimu nomor teleponnya." Ucap Aiden dengan cuek.
"Tidak bisakah kau memberikan nomornya padaku tanpa memberitahu Axton terlebih dahulu?" Tanya Sarah dengan nada memohon.
"Tidak." Jawab Aiden dengan tegas.
Sarah kembali memasang ekspresi kesalnya lagi. Dia juga kembali menyerang Aiden dengan membabi buta hingga Aiden menyerah dan memohon agar Sarah mau berhenti menggila di dekatnya. Dan pada akhirnya setelah negosiasi yang berlangsung sangat panjang dan berbelit, Sarah mau berhenti dan kembali duduk dengan tenang di bangkunya.
Aiden akhirnya bisa kembali bernafas dengan lega. Dia kembali duduk sambil menatap Sarah dengan tatapan waspada karena bisa saja Sarah menggila kembali nanti. Aiden kembali fokus pada ponselnya setelah memastikan kalau Sarah tidak akan berulah lagi. Meladeni Sarah sama saja seperti melayani orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Lama-lama dia bisa ikut gila jika terus berdekatan dengan Sarah.
"Ini nomornya." Ucap Aiden sambil menyodorkan secarik kertas pada Sarah.
"Ini benar-benar nomornya kan?" Tanya Sarah dengan serius.
"Iya itu benar-benar nomor Axton. Kalau tidak percaya biar aku telepon dia." Jawab Aiden dengan setengah hati.
"Tidak perlu!" Ucap Sarah dengan cepat.
"Kalau begitu urusan kita sudah selesai ya sekarang. Jangan menggangguku lagi!" Ucap Aiden sambil menatap Sarah.
"Siap boss! Terima kasih!" Ucap Sarah dengan sikap yang siap dan tegap.
"Awas saja kalau kau masih menggangguku." Ucap Aiden sambil menggerutu di dalam hati.
Sarah hanya memberi tanda ok pada Aiden sebelum perempuan itu keluar dari dalam kelas. Aiden menatap Sarah hingga perempuan itu benar-benar keluar dari dalam kelas. Akhirnya dia bisa benar-benar bernafas dengan lega sekarang. Rasa stress nya juga perlahan mulai berkurang sekarang. Untung saja Sarah cepat pergi dan menjauhinya karena dia tidak bisa membayangkan kegilaan apa yang akan dilakukannya jika dia berada di dekat Sarah lebih lama lagi.
Aiden membuka kunci layar ponselnya lalu dia mengirim sebuah pesan singkat kepada Axton karena Axton sedang dalam kondisi tidak bisa menerima panggilan telepon dari siapapun sekarang. Sebenarnya dia tahu apa yang sedang terjadi pada Axton namun tidak mungkin dia memberitahu masalah pribadi Axton pada Sarah yang tidak tahu apa-apa tentang masalahnya Axton.
Mereka berdua sepakat untuk tidak melibatkan orang lain dan akan menyelesaikan masalah mereka berdua dengan cara mereka sendiri. Masalah Axton biar Axton yang menyelesaikannya dan masalah miliknya biar dia sendiri yang menyelesaikannya. Bisa dibilang ini adalah sebuah kebiasaan mereka berdua dari kecil karena orang tua mereka mendidik mereka dengan keras.
Dari kecil mereka sudah menanggung banyak beban di kedua pundak mereka. Harapan, tuntutan orang tua, pengakuan, nama baik keluarga, pewaris dan tentu saja harta warisan. Orang tua mereka punya banyak sekali harta. Namun Aiden lebih beruntung dari Axton karena dia merupakan anak tunggal dari pasangan keluarga kaya Abhivandya. Tapi terlepas dari semua itu, kita bisa membayangkan betapa banyaknya hal yang akan menjadi tanggung jawab mereka berdua di masa depan.
Betapa berat tanggung jawab yang akan Axton dan Aiden bawa di punggungnya. Begitu banyak harapan dan tuntutan yang mengikat mereka berdua hingga mereka kehilangan kebebasan untuk memilih sesuatu di dalam hidup mereka. Termasuk masa muda yang seharusnya menjadi kenangan terbaik dalam hidup setiap manusia. Dengan berat hati mereka harus merelakan masa muda itu demi masa depan yang orang tuanya inginkan.
Hidup ini terkadang memang tidak terasa adil karena pada akhirnya kita selalu ditempatkan pada sebuah pilihan yang sulit untuk dipilih.
___________
To be continuous