Chereads / Echoes Of The Past / Chapter 30 - Echoes Of The Past|GAoW2| [29]

Chapter 30 - Echoes Of The Past|GAoW2| [29]

Hello semuanya.

Happy reading!

__________

8 tahun yang lalu.

Axton langsung berhenti melaju dan memilih untuk turun dari alat tersebut saat dia bisa melihat ayahnya yang sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya didepan dada di ujung ruangan. Ayahnya menatap Axton dengan tatapan yang tajam dan terlihat sangat mendominasi. Axton meletakkan paper bag yang berisi sekotak kue keju di atas meja yang berada di dekatnya. Dia tidak tahu apa yang akan ayahnya katakan karena mereka baru bertemu lagi setelah beberapa minggu tidak bertemu.

"Aku ingin berbicara berdua denganmu, Son." Ucap pria itu dengan serius.

Ayahnya berjalan ke arah sofa lalu duduk dengan penuh wibawa. Seketika ruangan ini penuh dengan aura yang sangat mengintimidasi. Ayahnya itu memang orang yang berkuasa dan mendominasi. Tidak hanya di kantor namun juga di dalam rumah. Dimanapun ayahnya berada, pria itu akan selalu membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Axton hanya memasang wajah datarnya dan memutuskan untuk ikut duduk di atas sofa yang terletak tepat di hadapan ayahnya. Mereka hanya dibatasi oleh satu meja berbahan kayu dan kaca berukuran panjang yang terbentang diantara mereka berdua. Axton menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik, nampaknya pembicaraan mereka akan berlangsung dengan sangat serius karena Axton dapat melihat keseriusan di wajah ayahnya.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya pria tua itu.

"Kabarku baik, bagaimana denganmu?" Jawab Axton dengan wajah datarnya.

"Kabarku baik, seperti biasanya. Tidak ada yang spesial." Ucap pria itu sambil mencebikkan bibirnya.

Axton hanya diam sambil menatap ayahnya. Berbicara berdua seperti ini dengan ayahnya membuatnya merasa sangat tidak nyaman karena sebelumnya mereka tidak pernah duduk dan berbicara seperti ini. Biasanya mereka akan berbicara di dalam ruang kerja ayahnya. Dia akan berdiri layaknya seorang bawahan dan ayahnya akan duduk di atas kursinya layaknya seorang boss. Mungkin terdengar sangat aneh tapi itulah kenyataannya.

"Nampaknya kau baru pulang dari suatu tempat." Ucap pria itu sambil menatap pakaian rapi yang dikenakan Axton.

"Benar." Jawab Axton singkat.

"Tidak biasanya kau pergi sendirian ke suatu tempat di akhir pekan." Ucap pria tua itu.

"Aku selalu pergi sendirian dan terkadang aku juga ingin pergi ke suatu tempat di akhir pekan." Jawab Axton.

"Biasanya kau tidak akan pergi ke suatu tempat jika itu tidak terlalu penting." 

"Kali ini penting." Ucap Axton dengan wajah datarnya.

"Seberapa pentingnya hal itu untukmu?" Tanya pria itu dengan nada yang terdengar tegas.

"Maksudmu?" Tanya Axton kembali.

"Apa kau menikmati pesta yang diadakan oleh keluarga Abhivandya, son?" Tanya pria itu dengan tenang.

Axton menatap ayahnya dengan tatapan terkejut karena selama ini ayahnya tidak pernah peduli anak-anaknya pergi kemana. Selama ini ayahnya tidak pernah bertanya ataupun merasa penasaran dengan apa yang dilakukan anak-anaknya di luar rumah. Dia juga tidak pernah peduli jika salah satu anaknya terkena sebuah masalah karena dia telah membayar beberapa pengacara handal yang akan mengurus semua masalah itu dengan sempurna.

"Kau mengawasiku, dad?" Tanya Axton dengan nada tidak percaya.

Pria itu hanya menatap Axton tanpa berminat untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Axton. Dia benar-benar merasa kecewa karena ayahnya mengawasi semua kegiatannya di luar rumah. Pertanyaannya adalah kenapa hanya dirinya yang diawasi seperti ini? Bukankah seharusnya pria tua itu harus lebih waspada jika kedua anak perempuannya mengalami kejadian buruk diluar sana? Kenapa malah dirinya?

"Aku hanya ingin melindungi anak-anakku dari kejahatan, apa itu salah?" Jawab pria itu yang sedang sibuk mengeluarkan rokok dan pemacik dari dalam saku celananya.

"Seharusnya kau melakukan hal itu kepada anak-anak perempuanmu bukan aku!" Ucap Axton sambil mengerutkan dahinya.

"Kau anak terakhirku yang paling berharga untukku jadi aku memperlakukanmu sama seperti kakak perempuan mu." Ucap pria itu sambil menyelipkan sebatang rokok di bibirnya.

"Aku bukan anak kecil lagi, dad! Aku sudah dewasa dan bisa melindungi diriku sendiri!" Ucap Axton dengan marah.

Pria itu memberi kode kepada seorang pelayan untuk menyalakan pemacik untuknya dan pelayan pria itu langsung melakukan tugasnya dengan cepat lalu menghilang setelah tugasnya telah selesai. Axton menghembuskan napasnya dengan kasar. Mendadak dia jadi marah sekali karena ayahnya selalu memutuskan sesuatu tanpa memikirkan perasaannya ataupun bertanya padanya terlebih dahulu dan dia benci saat orang lain melakukan hal itu padanya.

"Apa kau merasa sudah dewasa karena kau berpikir kalau kau sudah bisa berhubungan dengan seorang wanita?" Tanya pria itu sambil meniup asap rokok yang ada di dalam mulutnya ke udara.

"Sejak kapan kau mengawasiku?" Tanya Axton dengan terkejut.

"Apa aku benar? Sepertinya aku memang benar." Ucap pria itu sambil mengangkat salah satu alisnya ke atas.

"Aku bilang sejak kapan kau mengawasiku?!" Teriak Axton dengan marah.

"Aku rasa hubunganmu dengan perempuan ini cukup serius." Ucap pria itu sambil menghisap rokoknya dengan serius.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku, dad!" Ucap Axton dengan nada tinggi.

"Siapa perempuan yang kau antar pulang tadi?" Tanya pria itu lagi dengan serius.

"Dad, kau tidak bisa melakukan ini padaku-" Jawab Axton dengan tegas.

"Dari keluarga mana perempuan itu berasal?" Tanya pria itu lagi.

"Dad!" 

"Apa kau berpacaran dengannya?" Tanya pria itu dengan tegas.

Axton mengepalkan tangan kanannya dengan sangat kuat hingga kuku-kuku miliknya berubah warna menjadi putih pucat. Rahang dengan potongan sempurna itu juga terlihat mengeras karena dia menekan gigi atas dan bawahnya dengan kuat. Dia tidak pernah suka jika ayahnya mencampuri urusan pribadinya karena pria yang tengah duduk di hadapannya ini tidak pernah melakukan perannya sebagai seorang ayah di rumah ini. 

Bahkan Axton tidak pernah melakukan hal-hal yang selayaknya dilakukan oleh seorang anak bersama ayahnya. Dari dia kecil sampai sekarang, ayahnya tidak pernah ada di dalam hidupnya. Yang dia tahu hanyalah kesibukan ayahnya dan pencapaian hebat berkat pekerjaan yang pria itu lakukan selama ini. Ah iya, jangan lupakan pujian-pujian yang orang lain berikan atas keberhasilan perusahaan yang dipimpin oleh ayahnya sejak dari dia masih muda sampai sekarang.

"Putuskan dia sekarang kalau kalian memang berpacaran atau aku yang akan mengurus masalah ini." Ucap pria itu dengan tegas sambil menghisap sebatang rokok yang sudah berada di mulutnya.

"Kami tidak berpacaran dan sekalipun kami memang berpacaran. Itu bukanlah urusanmu, dad." Ucap Axton dengan nada marah didalamnya.

"Kalau begitu menjauh darinya karena aku tidak ingin dia mengganggu masa depanmu." Ucap pria itu setelah menghembuskan asap rokoknya ke udara.

"Kau sudah berjanji kalau kau tidak akan mencampuri urusan pribadiku setelah aku memenuhi permintaanmu." Ucap Axton dengan sangat serius.

"Kesepakatan kita tetap berjalan dan aku tetap memegang janjiku. Aku sudah mengubah keputusanku yang terakhir berkat kakak mu dan berhubung kau belum lulus SMA jadi kau belum memenuhi permintaanku. Itu artinya aku bisa melakukan apapun untuk membuat kesepakatan kita terwujud." Jawab pria itu dengan santai.

"Setelah kesepakatan ini berakhir, aku harap kau tidak mencampuri urusanku lagi." 

"Tentu saja." Jawab pria itu dengan santai.

"Aku ingin kau berhenti mengawasiku jika ingin kesepakatan ini berjalan dengan lancar." Ucap Axton dengan nada mengancam.

Axton berdiri lalu berjalan meninggalkan ayahnya di dalam ruangan itu sendiri. Kotak kue yang dia bawa tadi hanya tergeletak di atas meja dengan sangat menyedihkan. Axton sudah tidak berminat untuk menemui ibunya karena dia tahu kalau ibunya itu tidak bisa melakukan apa-apa kalau hal itu sudah berhubungan dengan suaminya. Axton menahan amarahnya yang kini sudah mencapai batas maksimal.

Dia tidak mengerti kenapa semua ini harus terjadi padanya. Baru saja dia ingin membuka sedikit hatinya untuk seorang perempuan dan kini dia harus kembali menutup pintu hatinya dan mengubur semua harapan-harapan yang baru saja muncul di dalam dirinya. Dia sangat membenci dirinya sendiri karena bersikap lemah seperti ini. Dia tidak pernah bisa melawan keputusan ayahnya dan dia benci pada kenyataan itu.

Axton mengepalkan tangannya yang dia letakkan di depan dinding dengan sangat kuat. Hidupnya terlihat sangat sempurna di mata orang lain. Bagai seorang pangeran berkuda yang hidup di dalam istana emas yang indah. Semua orang menatapnya dengan tatapan memuja dan tidak sedikit dari mereka yang merasa iri dengan kehidupan Axton yang terlihat sempurna. Tapi apakah mereka tahu kenyataan yang sebenarnya dibalik kehidupan  yang mereka anggap sempurna itu?

Kepalsuan, persaingan, reputasi keluarga, tuntutan, harapan semua orang, tanggung jawab dan kebebasan yang hilang. Apa mereka tahu berapa banyak hal yang harus keluarganya korbankan hanya untuk dipandang sempurna oleh orang lain? Ini bukan keinginannya melainkan reputasi sempurna yang dimiliki keluarganya. Ada begitu banyak hal yang harus dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu dan Axton tidak pernah merasa bangga dengan apa yang telah dimiliki oleh keluarganya. 

______________

To be continuous.