Chapter 5 - RINDU ANJELI

Anjeli telah menyiapkan semua keperluan yang akan dibawa ibunya ke Guangzhou China. Ya Mirza sudah mengurus semuanya. Pengobatan kangker yang modern untuk ibunya Anjeli. Pengobatan yang disebut model terapi komprehensif. Terapi ini adalah metode gabungan pengobatan timur dan barat bertarget minimal invasif.

Apapun akan dia lakukan untuk kesembuhan ibu Anjeli. Seperti halnya pada ibu kandungnya sendiri. Namun, ibunya tak sanggup bertahan meski Mirza telah mengupayakan pengobatan terbaik untuk ibunya. Mirza hanya berusaha. Selebihnya biar Tuhan yang mengaturnya.

Jika dia harus kehilangan ibunya untuk selamanya, setidaknya tidak bagi Anjeli. Semoga ibunya bisa sembuh dan berada di tengah-tengah mereka nantinya.

"Ibu, gapapa kan kita akan melakukan perjalanan jauh?" ibunya mengangguk. Mirza menggunakan  pesawat jet pribadinya untuk bisa sampai ke sana.

Mirza tidak ikut. Anjeli saat ini sedang libur semester, jadi bisa menemani ibunya berobat ke China. Randi tetap di rumah menjaga adiknya Dinda yang masih berusia 10 tahun.

Mirza menatap Anjeli lekat saat Anjeli akan naik ke pesawat. Ada gelenyar aneh dalam diri Anjeli saat Mirza mencium keningnya, lalu tersenyum dengan ramah.

"Hati-hati ya. Orangku sudah kusuruh mengurus semuanya di sana. Semoga ibu bisa disembuhkan. Kalau ada apa-apa kamu segera hubungi aku ya."

"Iya Mas, makasih. Mas sudah mengushakan semuanya untuk ibu."

"Ibumu, ibuku juga Anjeli. Jadi tidak perlu seperti itu." Mirza berjongkok mensejajarkan dengan ibu Anjeli yang berada di kursi roda. Mirza mencium tangan beliau. "Cepat sembuh ya bu. Maaf Mirza tidak bisa ikut."

"Tidak apa-apa Nak, Terimakasih kamu sudah banyak membantu kami."

"Sama-sama, Bu."

Mirza melepas kepergian istri dan mertuanya itu. Setelah itu dia kembali ke kantornya. Rasanya hidupnya setiap hari hanya berkutat pada pekerjaan kantor. Lelah tentu saja. Oleh sebab itu dia membutuhkan sesuatu yang bisa membuat dia tetap On setiap saat. Selalu tampil percaya diri di depan orang banyak. Pekerjaannya sebagai CEO, menuntutnya untuk selalu berfikir keras setiap hari. Dan keputusan penting setiap hari ada di tangannya.

"Ben, sudah ada barangnya?"

"Sudah bos. Sekarang semakin sulit mendapatkan barang itu. Pihak berwajib semakin ketat sekarang. Bos, kenapa tidak berhenti saja? bos bisa masuk rehabilitasi kalau mau." Benny tampak khawatir dengan keadaan bosnya yang semakin hari semakin tergantung pada barang haram itu.

"Aku pengen masuk rehab, Ben. Tapi bagaimana dengan perusahaan ini? siapa yang akan menangani selagi aku ga ada? Aku juga lelah seperti ini terus Ben. Kamu lihat sendiri kan, kakak-kakakku tidak ada yang mau peduli dengan perusahaan ini. Mereka hanya menerima uang bulanan saja. Tanpa mau membantuku sedikitpun." Mirza masih sibuk dengan laptopnya, sesekali melihat Benny yang duduk di depannya. Benny adalah satu-satunya orang yang bisa dia percaya saat ini. Bisa dibilang tangan kanannya. Bahkan urusan jodohpun, Benny yang mencarikan untuk Mirza.

Mirza mempunyai 2 orang kakak keduanya laki-laki. Tapi keduanya tidak ada yang mau membantu Mirza mengelola usaha almarhum ayahnya. Mereka hanya meminta jatah bulanan, tidak mau bekerja. Bahkan saat ibu mereka sakit, semua yang mengusahakan adalah Mirza. Bisa dibilang Mirza adalah putra kesayangan ibunya. Hingga beliau meminta bisa melihat Mirza menikah di akhir hidupnya.

"Tapi apa mbak Anjeli tahu kebiasaan Bos yang buruk ini?"

"Jangan sampai tahu, Ben. Kalau dia tahu, dia mungkin akan meninggalkan aku. Kini aku sendirian. Hanya Anjeli yang aku punya. Dia adalah wanita yang baik. Aku tidak mau membebani pikirannya dengan masalahku.

"Baiklah Bos."

"Permisi Bos. Hari ini jam 2 siang ada rapat membahas produk baru yang akan launchinh sebentar lagi, Bos."

"Oke.. kirim materi ke semua peserta rapat. Saya ingin semua efisien. Tidak bertele-tele. Lebih cepat selesai lebih baik." Mirza memang tidak pernah suka rapat dengan banyak orang. cukup beberapa orang saja. Agar lebih efektif dan efisien.

****

"Tumben lo ke sini?" Sapa seorang bartender yang bernama Romi yang sudah sangat mengenal Mirza. Disinilah Mirza sekarang. Sebuah club malam yang sangat terkenal dengan kaum borjunya.

"Cuma mau ngilangin suntuk aja."

"Mau minum?"

"Kasih gue wine. Rom"

"Oke."

"Gue denger lo udah merid."

"Iya, tapi bini gue lagi pergi."

"Pantesan lo kesini."

"Gue suntuk di rumah sendirian."

"Nih buat lo."

"Thanks."

"Hai Za, lama ga ngelihat lo di sini." Tiba-tiba ada yang menyentuh bahu Mirza dari belakang."

"Eh, elo Kel."

"Gue kangen sama lo. Kemana aja sih? ga pernah nongol di sini."

"Lepasin Kel. Jangan sentuh gue." Mirza menepis tangan Kelly dengan kasar yang mencoba menyentuh dada bidangnya.

"Upss.. Dulu lo seneng-seneng aja gue giniin. Napa sekarang lo berubah, Za. Rom, wine satu." Ucap Kelly sembari memesan wine juga untuk dirinya.

"Mirza udah merid, Kel. Jangan ganggu dia." Ucap Romy membela Mirza.

"Oh ya? Kapan lo merid? koq gue ga tahu?"

"Ga penting juga lo tau."

"Ketus banget sih lo sekarang. lo udah punya bini tapi masih ketempat kayak gini. Bini lo ga bisa ngasih kesenengan dirumah ya, Za?"ucap Kelly dengan senyum tersungging.

"Rom, gue balik dulu." Mirza meninggalkan Kelly begitu aja.

'Inget Za, kartu As lo ada di gue. Gue buka ke public, hancur reputasi lo.' Kelly tersenyum penuh kemenangan.

Mirza masuk ke dalam mobil mewah produksi Jerman. Sebelum mengemudi dia memeriksa ponselnya. Ada lima panggilan tak terjawab dari istrinya.

Mirza panik, dia segera menelpon balik istrinya. Dia selalu panik berlebihan ketika menyangkut istrinya.

"Assalamualaikum mas."

"Waalaikumsalam., An. ada apa?"

"Besok Insyallah aku dan ibu pulang ke Indonesia mas." hari ini tepat satu minggu Anjeli pergi ke China.

"Oh ya? bagaimana keadaan ibu?"

"Kondisinya sudah membaik Mas. Empat bulan lagi kontrol lagi ke sini."

"Alhamdulillah.. ga masalah An. Selagi ibu bisa sembuh."

***

Pagi-pagi sekali Mirza sudah bangun. Bahkan dia bisa juga tidak tidur semalaman kalau habis make.

Mirza segera mandi dan berganti pakaian dan segera menjemput Anjeli di bandara.

Mirza berjalan dengan langkah cepat. Dia tak sabar bertemu dengan Anjeli. Anjeli telah turun dari pesawat pribadi milik Mirza. Di bantu oleh beberapa stafnya yang setia menemani Anjeli selama di China.

Mirza melambaikan tangannya saat melihat istrinya semakin mendekat. betapa bahagianya dia.

"Assalamualaikum mas." Anjeli mencium punggung tangan Mirza. Mirza pun mencium tangan mertuanya.

"Waalaikumsalam.. kalian sehat?"

"Alhamdulillah mas."

Mereka pun pulang dengan mobil yang sama. Mengantarkan ibunya Anjeli pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Mirza bisa saja menyuruh sopirnya untuk mengantar mertuanya pulang. Tapi demi alasan kesopanan, dia akhirnya yang mengantar sendiri.

Setelah mengantar Ibunya Anjeli pulang ke rumahnya, Mirza dan Anjeli pulang ke rumahnya. Sudah ada dua perawat yang menjaga ibunya Anjeli dirumah beliau.

Tiba di rumah, Anjeli langsung membersihkan diri. Mirza pun masuk keruang kerjanya sebentar. Menghisap sesuatu yang bisa meningkatkan kepercayaan dirinya. Mirza keluar dari ruang kerjanya, tanpa mengetuk pintu, Mirza masuk ke dalam kamarnya. Tak ada Anjeli, tapi dia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Entah kenapa Mirza begitu begitu berani membuka pintu kamar mandi. Anjeli tak mendengar karena dia sedang mandi dibawah kucuran shower. Mirza berdiri hanya untuk menikmati keindahan tubuh Anjeli yang selama ini belum pernah dia lihat. Dia memandangnya dengan takjub.