Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 6 - Chapter 5

Chapter 6 - Chapter 5

Selamat datang di chapter 5

Buat diri kalian senyaman mungkin saat membacanya

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everone

Hope you like it

❤❤❤

________________________________________

Don't find love, let love find you, that's why it's calling falling in love, because you don't force yourself to fall, you just fall

••Anonim••

________________________________________

Jakarta, 19 Agustus

13.45 p.m

Hari ini aku di antar kak Brian ke sekolah. Demi neptunus! Aku sudah menolak karena takut di jahili. Berbagai cara sudah kulakukan untuk menolak ajakannya termasuk bersembunyi di balik pot besar pelataran rumah untuk mengendap ke garasi dan masuk mini cooper kuningku. Tapi dengan mudahnya Kak Brian menemukanku, menenteng tasku mirip gerakan memungut kucing liar sambil ceramah pagi. "Gini lho dek, bisa aja kan lo pulang sama gebetan? Modus minta anterin kek."

Dan aku akhirnya mengiyakan kakak super jahil di dunia yang tetap saja menurunkanku sepuluh meter dari gerbang sekolah. Sesuai dengan dugaanku.

Awalnya kupikir benar apa yang di katakan kak Brian. Tapi apa yang terjadi? Ketika aku modus bertanya kegiatan apa yang kak Jordan lakukan hari ini sepulah sekolah, kakak kelas kece itu menjawab latihan basket hingga sore. Sedangkan daddy? Mana mungkin mengijinkan anak perempuan kesayangannya pulang sore?

Aku ingin pulang bersama sahabatku, tapi Karina sudah pulang bersama kak Riko, btw sejak sepulangnya dari cafe, mereka jadi pdkt. Jadi aku terpaksa menunggu kak Brian. Katanya ia mau menjemputku mumpung jadwal kuliahnya sedang kosong.

Syukur deh sadar diri. Batinku saat sedang menunggunya tepat di depan gerbang. Bukan sepuluh meter dari jarak tempat kuberidiri seperti sekarang—tempat kesayangan kak Brian menurunkanku saat mengantar ke sekolah.

Kepalaku sesekali celingukan mengamati sekolah yang sudah sepi, hanya tinggal aku sendirian dan seorang security yang ada di post yang tempatnya membelakangiku. Namun tiba - tiba ada seseorang yang menarik lenganku dengan kasar, membuatku tersentak dan spontan menatapanya dengan geram sambil meringis karena sakit. Tanganku juga mengusap lengan yang di tarik tadi sekilas.

"Maksud lo apaan ngadu ke Jordan? Kan gue cuma nyuruh lo benerin tugas?!" tanya Kak Novem marah, jangan lupakan dua antek - anteknya yang selalu ikut kemana - mana.

"Nggak kok bukan gue yang ngadu," jawabku jujur. Benar kan bukan aku yang mengadu? Tapi Karina.

"Lu pdkt kan ama Jordan?"

"Lah, katanya ngomogin tugas, apa hubungannya ama pdkt?" tanyaku sesantai mungkin. Memasang wajah pura - pura bodoh. Tekhnik yang di gunakan untuk membela diri.

Btw sejujurnya lenganku yang di tarik kak Novem tadi sedikit sakit.

"Nggak usah sok nggak tau lo kalo gue mantannya Jordan! Lagian kami mau balikan! Lo pengganggu! Nggak usah ngrebut Jordan gue! Lo tuh nggak ada apa - apanya di bandingin gue! Tau lo?!" teriak kak Novem sambil mendorong bahuku keras, cukup dapat memundurkan langkahku walau sedikit.

Sekarang aku paham apa maksud tugas - tugas MOS-ku yang selalu di corat - coret karena salah. Ternyata itu cara kak Novem memperingatkanku agar tidak pdkt dengan mantan pacarnya.

Menyadari hal tersebut, aku jadi sedikit emosi, teringat wejangan kak Brian beberapa bulan lalu sebelum masuk SMA. Kakakku mengatakan, "dek, lo tuh kecil, muka kayak bocah, bullyable banget, jadi kalo ada yang bully, lawan balik, jangan takut! Jadilah kecil - kecil cabe rawit!"

Waktu itu aku malah merasa kesal karena mengataiku kecil dan mirip bocah, tapi sekarang aku paham. Dan saat ini aku akan memakai wejangan dari kakak. Lagi pula aku sudah kebal dengan segala macam pembullyan seperti yang selalu duo jahilun lakukan padaku karena mereka sayang. Bedanya sekarang yang melakukan bullying padaku adalah kakak kelas perempuan bersama dua antek - anteknya. Tapi aku berani.

Aku melotot, dengan keras memekik, "Jordan lo? Nggak salah?"

Itu malah membuat kak Novem bertambah murka. Dengan gerakan  cepat menjambak rambut ikalku yang hari ini di tata Karina dengan apik. Aku berusaha menepis tangannya tapi antek - anteknya memegangi tanganku.

Posisi kami sangat tidak menguntungkan bagiku karena membelakangi post security sehingga tidak bisa meminta bantuan. Maka dari itu aku harus mencari cara agar rambut apikku bisa terlepas dari cakaran kak Novem.

Karena tidak bisa leluasa menggunakan tangan sebagai senjata pertahannku, tidak kurang akal kutendang tulang keringnya menggunakan sepatu New balance hitamku sekeras mungkin. Kak Novem pun kesakitan dan melepas jambakannya. Dua antek - anteknya spontan melepas tanganku untuk membantu kak Novem.

"Aw, kurang ajar! Berani lo sama senior!" teriaknya sambil memegangi tulang keringnya.

"Gue nggak peduli senior atau bukan kalo kelakuan lo masih kayak bayi!" teriakku sambil bersendekap tangan seangkuh mungkin agar mereka takut.

"Awas lo!" teriaknya sambil berlalu pergi.

"Berani lo ngancem gue?! Lo salah orang!" teriakku sekali lagi tapi mereka tidak mendengar karena sudah menjauh pergi.

Kenapa anak jadi anak SMA seperti ini? Berkelahi gara - gara anak laki - laki?

Jika kak Novem ingin balikan dengan kak Jordan, ayo bersaing secara adil dan sehat. Bukan malah seperti ini, bully - membully satu sama lain. Norak. Aku tahu kau mungkin akan mengatakaiku karena terlalu percaya diri menggunakan wajah pas - pasan tapi ngotot ambil langkah mendekati kak Jordan.

Jika kau berada di dalam lingkup keluargaku, kau mungkin bisa paham, karena ini merupakan pertama kalinya duo jahilun itu mengaminiku untuk mendekati seorang laki - laki.

Jika kak Jordan tidak menanggapiku, aku juga tidak akan meneruskan perjuanganku. Lagi pula aku sudah setengah jalan mendekati kak Jordan, ditambah lagi sedikit lampu hijau dengan nongkrongnya kami di cafe baru beberapa hari yang lalu dan membelaku untuk tugas MOS tidak jelas kak Novem itu. Jadi aku tidak akan menyerah. Tekadku sudah bulat untuk mendekatinya berbekal dari buku keramat itu. Terserah kak Novem mau menganggapku pengganggu atau saingan. Selama kak Jordan masih single, why not?

Aku merapikan rambut sambil bermonolog, "sorry Kar, rambut hasil tatanan lo berantakan." Lalu kembali berdendekap tangan sambil menunggu kak Brian. Kira - kira sudah sekitar sepuluh menit ini aku menunggu. Tapi kenapa kak Brian tidak kunjung datang? Ini membuatku menggerutu dalam hati sambil memainkan kerikil dengan sepatu. Namun tiba - tiba ada sebuah suara motor yang berhenti tepat di depanku. Aku mendongak, mendapati seorang berhelm teropong hitam, jaket kulit hitam, ripped jeans hitam, boots dr. Marten's hitam dengan bantalan karet menaiki ducati srcambler wanra hitam. Seketika aku langsung dapat mengenalinya.

Perasaan kesalku terhadap kak Novem mau pun kak Brian yang tidak kunjung datang pun berubah antara takut dan bingung.

Ngapain cowok preman ini dateng ke sekolah gue?

Aku reflek mundur ketika Jayden Wilder melepas helm dan melihat dengan tatapan mata itu lagi. Tatapan yang berusaha aku lupakan selama beberapa hari ini karena menakutkan. Namun sekali lagi itu tidak membuahkan hasil apa pun.

"Brian ada pengganti kuliah dadakan, gue disuruh jemput lo, buruan naik, nih helmnya." Tanpa turun dari motor, Jayden berbicara dengan suara baritonnya seraya menyodorkan helm kepadaku yang masih sedikit ketakutan melihatnya tapi sebisa mungkin terlihat normal.

Aku reflek mengangkat tangan mengisyaratkan agar ia menunggu. "Bentar, gue WA kakak gue dulu," ucapku tidak mudah percaya begitu saja dengan apa yang di omongkannya. Apa lagi untuk seorang dengan penampilan preman sepertinya kan? Aku harus hati - hati.

To Kakak Laknat 💩:

Katanya jemput gue?

Sebentar kemudian ia membalas pesanku.

From Kakak Laknat 💩:

Sorry dek gue lupa bilang ada kuliah dadakan, Jayden gue suruh jemput lo.

To Kakak Laknat 💩 :

Yang bener aja dong kak, gue takut.

From Kakak Laknat 💩:

Dari pada lo pulang sendirian, mending ama Jay, lebih aman dan bisa gue percaya. Nggak ada bantahan! Buruan pulang! Uda hampir sore!

Sial! Batinku. Kenapa dengan hari ini? Bukan hanya hari ini saja. Kenapa  selama masuk SMA ini aku selalu sial?

Kumasukkan ponsel dalam tas cepat - cepat. Dengan takut melihat ke arahnya yang menatapku, masih dengan tatapan itu. Dan lagi - lagi jantungku...

"Udah? Buruan naik," titahnya dengan wajah datar dan suara seberat itu, yang malah terlihat semakin menakutkan, membuat siapa saja yang mendengarnya tidak bisa membantah sedikit pun. Seperti aku sekarang, dengan takut - takut mengambil helm yang dari tadi masih di pegangnya, lalu memakainya tapi sial, pengaitnya macet.

"Ck, dasar oon! Sini!" perintahnya sedikit geram menambah ketakutan dan debaran jantungku. Aku segera mendekat ke arahnya. Posisi kami jadi saling berhadap - hadapan. Walau pun menaiki motor, namun tinggi Jayden hampir menyamai tinggiku yang sekarang sedang berdiri. Entah karena jok motor yang di design lebih pendek, atau karena aku yang pendek?

Wajah Jayden sedikit mendongak bersamaan pergerakan tangan besarnya untuk meraih pengait helm lalu memasangnya dengan mudah.

Kau tahu apa yang kulakukan? Tanpa sadar, manik mataku terarah ke wajahnya, memperhatikan bulu matanya yang lumayan panjang. Mengamati wajah Jayden yang khas seperti bule Italy. Jika dilihat dari jarak sedekat ini, warna bibirnya merah gelap, mungkin karena terlalu sering merokok. Dan hidungnya mancung sempurna tanpa cela.

Selesai mengaitkan helm, ia mendapatiku mengamatinya, reflek saja aku langsung membuang muka dengan jantung berpacu lebih cepat dari sebelum ini.

Namun tampaknya ia tidak menggubris kelakuanku. Dan itu  membuatku bertanya - tanya. Apa yang sedang ia pikirkan? Mendapati seorang remaja umur enam belas tahun yang mengamati wajah garanganya?

"Naik!" perintah tegas dari Jayden dengan suara berat itu lagi.

Aku pun akhirnya naik ke motor duccati scrambler hitam miliknya. Detik itu juga seketika aku menghirup aroma mint segar Jayden. Dan lagi - lagi berpendapat jika aroma ini cocok untuknya yang beraura dingin.

"Ja-jangan ngebut ya kak," ucapku tidak lancar, karena di lihat dari penampilan Jayden, sepertinya ia suka ngebut. Bukankah memang demikian? Mostly people like him likes do that.

"Iya," jawabnya singkat. Setelah memakai helm teropong hitamnya kembali, ia melajukan motor dengan kecepatan standrat.

Syukurlah ia menurutiku. Tapi tidak sampai di situ saja debaran jantungku yang cepat ini belum ingin kembali normal, saat ini aku sedang melihat punggung lebarnya. Rasanya aku ingin menyentuhnya. Tanganku bergerak sendiri, saat jaraknya sudah sejengkal aku menarik tanganku dengan cepat kemudian menggeleng - nggeleng keras.

Astaga gue ngapain sih?! Bodoh! Rapalku dalam hati karena tidak percaya dengan kelakuanku sendiri yang nyaris menyentuh punggung lebar Jayden Wilder.

Dengan segenap kemampuan kendali diri yang ada, aku berusaha berkonsentrasi kembali ke arah jalanan. Sekitar lima menit kami berkendara, motornya berhenti di pom bensin.

"Turun," perintahnya yang langsung kulakukan. Ia mematikan motor, mencopot helm dan ikut turun berjalan meninggalkanku. Aku reflek berteriak, "hei! Mau kemana?"

"Pipis, ikut?" ucapnya asal tapi sukses membuat pipiku panas. Dasar gila!

Beberapa saat kemduian ia muncul. Karena tidak suka orang jorok, mulutku tidak bisa di kontrol untuk bertanya dengan gelagapan. "U-udah cuci tangan kan?"

Detik berikutnya merutuki diri sendiri. Kenapa aku malah menanyakan hal tersebut pada preman ini? Cari mati Mel? Batinku mengejek.

Namun bukannya menjawab Jayden malah menyodorkan tangannya ke hidungku otomatis membuatku mundur selangkah dan berusaha menepisnya.

"Wangi nggak?"

"Iya," jawabku singkat sambil nyengir kuda.

"Gue bukan orang jorok," katanya seperti dapat membaca pikiranku lalu memakai helm dan menaiki motornya lagi.

~~~

Jakarta, 19 Agustus

14.35 p.m.

Siang itu Jayden mengantarkanku pulang. Setelah dari pom bensin ia tidak bicara apa - apa lagi. Sepertinya ia memang irit bicara, cuek, dan dingin. Sekali ngomong hanya sekecap seperti perintah, tegas, dan masih menakutkan bagiku. Hingga tidak terasa kami sudah sampai depan gerbang rumah, aku pun segera turun.

"Makasih," kataku singkat sambil menyodorkan helm.

"Obatin tangan lo."

"Tangan gue?" Aku masih tidak mengerti, lalu melihat telapak tanganku sendiri namun tidak mnemukan adanya luka apa pun di sana.

Jayden berdecak, mengambil lengan kananku dan menunjuk lebam akibat ulah kak Novem tadi.

"Besok juga uda sembuh," ucapku sedikit ada perasaan senang karena merasa di perhatikan.

"Obatin aja. Dari pada abang sama bokap lo ceramah, tar gue yang di salahin." Jawabannya langsung membuatku bermuka datar. Ternyata ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Kenapa aku jadi sedikit kecewa?

"Gue cabut," pamitnya langsung pergi tanpa menunggu jawabanku.

Ya sudah terserah aku tidak peduli. Yang penting aku sudah sampi rumah dengan selamat.

Malam itu aku tidak akan memikirkannya! Jayden Wilder—maksudku, aku tidak mau. Lebih baik aku fokus pada kak Jordan yang sedang mengirimi pesan padaku sekarang.

From J.❤:

Tadi berantem sama Novem ya?

________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang uda nyempetin baca, vote, dan komen

Jangan lupa masukan ke perpustakan atau daftar list, juga shared jika kalian suka dengan ceritanya

Thanks

See you next time teman temin

With Love

Chacha Nobili

👻👻👻

Post : 21 Juli 2019

Revisi : 23 Maret 2020