Selamat datang di chapter 9
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
________________________________________
Year's end is neither a nor the begining
But a going on
••Hal Borland••
________________________________________
Paris, 31 Desember
17.50 p.m.
This is Paris, the most romantic city in this world. Tempat bersejarah berbagai bangunan dengan gaya artistiknya yang khas, tempat menara Eiffel yang sering digunakan pasangan kekasih untuk melamar, menikah mau pun bulan madu, tempat makanan - makanan mewah dan pelayanan seperti raja, serta jembatan - jembatan harapannya.
Kami mendarat di Charles de Gaulle Airport dua jam yang lalu setelah berada di dalam privat jet selama enam belas jam dua puluh menit. Kemudian menaiki taxy menuju Hotel Peninsula di dekat Arc de Triomphe—tempat kami akan menghabiskan malam tahun baru di sepanjang Champs-Élysées jam sembilan malam nanti.
Aku melirik jam tangan Dior kesayanganku yang menunjukkan pukul lima sore. Masih ada beberapa jam lagi sebelum acara tahun baru, pikirku. Mengambil langkah mengendap - ngendap keluar dari kamar hotel dan menilik ke arah kamar sebelahku yang nampak sepi. Mungkin semuanya sedang tidur karena jet leg, jadi aku diam - diam pergi jalan - jalan sebentar menuju Pont Des Arts naik metro yang stasiunnya tidak jauh dari hotel.
Beberapa menit terlewati, aku melangkah keluar stasiun dengan berjalan menaiki tangga menuju jalanan kota yang terlihat begitu banyak salju yang menutupi jalan - jalannya di sepanjang sungai Seine. Di tambah hiruk pikuk jutaan pejalan kaki dari berbagai penjuru dunia, juga pemandangan matahari terbenam yang memantul dari sungai Seine, seperti kaca besar berwarna orange cantik, memperlihatkan raut wajahku dengan balutan coat coklat tua tebal, syal warna maroon, boots hitam setinggi lutut dan sarung tangan putih—yang masih membuatku kedinginan.
Kaki - kakiku berdiridi Pont Des Arts yang dulunya dipenuhi gembok - gembok—sekarang sudah tidak ada—kedua tanganku mencengkram pagas pembatas, dan kepalaku sedikit menunduk, memperhatikan lagi pantulan diriku pada sungai Seine—tempat favorite Tara Dupont dan Tatsuya Fujisawa dalam novel Autumn in Paris karya Ilana Tan, novel kesukaanku yang sanggup membuatku menangis meski ratusan kali membacanya. Tapi aku bukan Tara yang berpikir ingin bunuh diri di jembatan ini sebelum Sebastien Geraudeau menemukannya.
Aku hanya sedang ingin menyendiri—mungkin karena tempat ini meruapakan tempat yang sama dalam novel Autumn in Paris—kisah cinta Tara dan Tatsuya yang berakhir sedih terlintas begitu saja dalam pikiranku. Kemudian tanpa sengaja otakku beralih memikirkan percintaanku sendiri.
Aku menghembuskan napas perlahan dan menutup mata sejenak, menghiraukan asap yang keluar dari mulut serta hidungku ketika melakukan itu. Untuk bebera detik, menikmati angin dingin yang menerpa wajahku dan dapat membuaku rileks.
Baru saja otakku merasa sedikit jernih untuk menghadapi pikiran yang bimbang tentang bagaimana harus mengatakan pada laki - laki itu jika aku salah menyatakan perasaan, saat perlahan membuka mata, bayang - bayang lelaki itu sudah berada tepat di sebelahku. Bahkan rambutnya sedikit berantakan karena terpaan angin yang terlihat dari pantulan air sungai.
Kau pasti bertanya - tanya, bagaimana bisa Jayden Wilder ikut ke Paris? Jawabannya adalah, ia menang taruhan dengan kak Brian dan daddy saat bermain PES tadi malam! Jadi di sinilah sekarang ia berada, karena Jayden ikut, kak Brian juga mengajak kak Bella untuk jadi roommate-ku.
"Lagi mikirin apa?" Suara berat yang sangat khas membuatku menoleh padanya. Ia berdiri sejajar denganku, memasukkan tangan - tangannya ke dalam coat hitam yang tidak di kancing, memeperlihatkan turtle neck warna biru tuanya. Ia tidak memakai ripped jeans karena cuaca di Paris sedang minus delapan derajat saat ini. Aku juga dapat melihat boots-nya yang tertutup salju sedikit.
"Mikirin Tara sama Tatsuya," jawabku asal tapi benar. Minus mikirin salah nembak. Tambahku dalam hati karena masih belum berani mengatakannya.
"Temen lo?"
Aku mengerjab beberapa saat. Di luar perkiraan ia akan menanyakan Tara dan Tatsuya sebagai temanku. "Bukan." jawabku.
"Terus ngapain dipikirin?" Nada Jayden memang datar, tapi entah kenapa seperti ada pesan tersirat jika itu merupakan sebuah sarkasmenya?
Kembali menatap sungai Siene, aku menjawab sambil nyengir kuda. "Kurang kerjaan aja."
Dari pantulan sungai tersebut ekor mataku menangkap bayangan wajah datar Jayden membentuk sebuah smirk smile.
Aku kembali menoleh padanya. "Btw kok bisa tau gue di sini?"
Jayden tidak menjawab, malah mengambil dan menyalakan rokok di tengah cuaca musim dingin dan berangin. Percuma.
"Sial!" umpatnya.
Aku ingin menertawakannya namun berusaha menahan diri. Karena gagal menyalakan rokok, ia memyimpan benda itu dalam kantung celananya dan beralih menatapku. "Kenapa nggak minta ditemenin? Kalo ilang gimana?"
"Nggak bakalan, lagian udah sering juga kesini. Kok bisa tau sih gue di sini?" protesku tapi sekali lagi ia tidak menjawab, hanya memberikan menyeriangai yang terlukis pada wajahnya.
~~~
Paris, 31 Desember
17.21 p.m.
Aku benci diriku sendiri yang tidak tegas seperti sekarang, yang sama sekali tidak menolak atau melawan ketika Jayden menggandeng tanganku, memasukkannya dalam coat hitamnya dan berjalan sepanjang jembatan ini menuju kapal Calife. Kapal yang di gunakan untuk dinner para pasangan. Bukan super yach mewah, melainkan hanya boats sederhana tapi sangat nyaman. Dan lagi - lagi aku terkejut ia sudah reserve.
Setelah makan, aku berdiri di pembatas kapal, merasakan angin musim dingin yang menerpa wajahku dan menikmati pemandangan kota. Entah sudah berapa kali aku berkunjung ke Paris tapi tetap saja, pemandangan malam dengan lampu - lampu kota selalu menjadi bagian favoriteku, hingga tidak terasa Jayden berdiri tepat di belakangku. Tubuh tingginya seperti menghalangi angin pada punggungku, bahkan kedua tangannya mencengram pagar pembatas kapal di antara tubuhku, seperti mengunciku. Ia menunduk, mensejajarkan kepalanya dengan telingaku lalu berbisik, "udah jam setengah delapan, yuk balik hotel."
Kau tahu efeknya? Seketika membuatku merinding.
~~~
Paris, 31 Desember
20.03 p.m.
Masih ada satu setengah jam sebelum parade pesta tahun baru di sepanjang Champs-Élysées di mulai. Sisa waktu itu juga yang rencananya kugunakan untuk berendam air hangat ketika sampai hotel. Mewujudukan recana tersebut, saat langkah kakiku baru mencapai pintu depan kamar mandi, kulihat sekilas kak Bella baru bangun tidur. Wajahnya bikin iri, bangun tidur saja masih terlihat cantik.
Dddrrrtttt
"Mel, hp kamu bunyi tuh." Suara kak Bella mengagetkanku yang masih menikmati lilin aroma terapi lotus di bathtub hotel.
"Biarin aja kak," teriakku masih tidak ingin di ganggu.
Kembali memilih menenggelamkan diri hingga mencapai leher pada bathtub, setengah jam kemudian kuputusan untuk keluar dari kamar mandi sehingga kak Bella bisa mendapat giliran membasuh diri dan aku mulai menggeledah koperku untuk mencari pakaian. Karena cuacanya yang sangat dingin, pakaian serba tebal menjadi pilihanku untuk merayakan tahun baru.
Setelah siap, aku beralih menilik ponsel yang menampilkan pesan masuk dari Karina. Baru saja akan membaca pesan tersebut, ada yang mengetuk pintu. Masih dengan menggegam ponsel, kuintip sang pengetuk tersebut melalui celah pintu dan mendapati kak Brian berdiri di sana dengan coat hitam dan syal krem.
Tepat ketika dirinya nyelonong masuk dan celingukan, seketika koneksi otakku mengarah ke kak Bella. Jadi aku memberitahunya jika pacarnya itu sedang mandi. Kupikir ia sedang menunggunya karena mengambil duduk di sofa sementara aku fokus ke ponselku lagi. Namun ternyata kak Brian menepuk sofa sebelahnya duduk untuk membicarakan sesuatu denganku.
"Dek," panggilnya. Mengharuskanku meletakkan ponsel di sebelah duduk bersilaku. "Gue kepikiran daddy."
"Kepikiran apa kak?"
"Lo ke sini ama Jay, gue ke sini juga ama Yayank gue, nah daddy?"
Mendapat kesimpulan dari kalimat kak Brian, aku jadi merasa kasihan dengan daddy. Untuk beberapa saat diriku merasa seperti anak yang egois. Setengah hatiku yang lain juga memikirkan bagaimana jika seandainya daddy sudah menemukan teman kencan lagi. Apa aku sudah akan berniat punya ibu baru? Rasanya hatiku berkata belum sepenuhnya. Apakah kak Brian berpikiran sama sepertiku?
"Cariin yok," ajak kak. Kontan membuatku menggeleng. "Tapi gue belum siap punya—"
Kak Brian mengibaskan tangannya sambil berkata, "mikir lo kejauhan, cuman buat temen makan doang malem ini."
Aku mengangguk. "Gimana caranya?"
"Tinderlah, gimana lagi coba uda jam segini."
~~~
Paris, 31 Desember
20.48 p.m.
Kami pergi ke kamar daddy dan merampas paksa ponselnya, mendownload aplikasi itu dan mulai menggunakannya langsung.
Jari kak Brian menari lincah di atas layar ponsel untuk mencari teman makan malam daddy. Beberapa kali ia meminta pendapatku.
"Dek yang ini gimana?" tanya kak Brian sambil menyodorkan ponsel milik daddy kepadaku.
"Rambutnya kek jagung, g'suka, cari yang khas orang sini dong kak. Rambutnya merah alami."
"Pada ngapain sih wahai anak - anak daddy?" Pertanyaan daddy tidak serta merta membuat kami berhenti.
"Uda dad santai aja, pake baju bagus. And go to date." tukas kak Brian yang melirik daddy sekilas lalu fokus ke ponsel milik beliau lagi.
"Sama siapa?" tanya beliau heran, juga setengah mengingatkan jika beliau tidak punya pasangan sekarang.
"Tenang, dad, masih kita cariin," tukasku kemudian menghentikan jari kak Brian yang masih menari di layar ponsel. "Yang ini kak comel, umurnya juga uda sip nih."
Daddy hanya senyum jemawa ketika kami mulai memberi wejangan pada beliau yang sudah berpakaian rapi.
Btw my daddy is so handsome, I mean, he's more handsome tonight.
"Dilarang keras gandengan tangan, pelukan, apa lagi ciuman!" perintah kak Brian.
"Dilarang ekstrovert, nggak boleh pamer kekayaan," lanjutku.
"Inget, ini cuman nraktir makan malem sampe tahun baru. Pokoknya abis itu harus pulang ke kamar hotel ini," kata kak Brian denganku bersahut - sahutan. Sedangkan daddy hanya tertawa.
"Ya Tuhan harusnya itu kan wejangan daddy buat kalian, tapi ya udalah terserah kalian aja, daddy juga g'minat sebenernya."
"Oke deal, selamat berkencan," tukasku, lalu daddy pergi.
Saat ingin berbalik keluar kamar, mataku tidak sengaja menangkap Jayden yang sudah berganti pakaian sedang merokok di balkon kamar.
Kenapa aku tidak menyadarinya dari tadi? Dan kenapa ia selalu merokok?
"Mau mencar sendiri - sendiri nih?" Kak Brian menawarkan ketika melihatku melirik Jayden.
Ha! Itu pasti keinginan kak Brian kan? Berduaan dengan kak Bella di kota romantis ini? "Bilang aja lo pengen berduaan," ucapku implusif.
"Nah tuh peka. Lo juga temenin tuh." Kak Brian menunjuk ke arah Jayden lalu keluar kamar.
Kenapa gue jadi berduaan di kamar gini ya?
Dengan cepat aku menghampirinya dan mengajaknya keluar juga. Takut terjadi fitnah.
"Kak, keluar yuk, ngapain di balkon kek gitu?" teriakku masih enggan terlalu mendekatinya yang hanya menoleh. Tapi ada yang aneh, tatapan matanya bukan keliahatan seram seperti biasanya, melainkan sedih. Jadi aku segera menghampirinya.
"K-kakak kenapa?" tanyaku menatap mata sedihnya.
"Kenapa apanya? Tau sendiri lagi ngerokok."
"Mata kakak kayak sedih," ucapku implusif.
"Perasaan lo aja."
"Nggak mau cerita?"
"Cerita apa?"
"Ada masalah ya?"
"Nggak ada."
"Gue bisa jaga rahasia kok," paksaku.
"Lo masih kecil."
"Ya udah kalo nggak mau cerita, gue mending keluar, bye," tataku sebal lalu berbalik badan berniat keluar kamar tapi Jayden yang sudah tidak memegang rokok menarik tanganku, membawa tubuhku ke dalam dekapannya. Ia memelukku erat. Jantungku rasanya tidak karuan, ia pasti akan mendengarnya. Aku kaget dan bergeming sesaat lalu memberontak.
"Kak, lepasin, nggak bisa nafas."
"Bentar aja." Suaranya yang berat dan dalam seakan menghipotis tubuhku yang diam dengan sendirinya. "Gue cuma iri sama keluarga lo," ungkapnya. "Keluarga gue, nggak seharmonis itu," lanjutnya lagi.
Entah kenapa aku malah membalas pelukan Jayden, mengusap punggung laki - laki itu pelan, berusaha menenangkannya. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Aku tidak berani bertanya lebih, biarkan Jayden sendiri yang menceritakannya. Jika bukan sekarang, mungkin lain waktu. Aku mungkin akan menunggunya.
Pelukannya sangat hangat di tengah musim dingin kota Paris. Rasanya aku tidak butuh pengahangat apa pun sekarang selain ini.
Ya Tuhan kenapa aku jadi begini? Harusnya aku membicarakan tentang itu bukan? Tapi melihat mata sedihnya, malah membuatku mengurungkan niat.
"Thanks," ucapnya sambil mengurai pelukan beruangnya dan menatap mataku. Kali ini tatapannya sudah tidak sesedih tadi.
"No problem," jawabku singkat, ingin melihat ke arah lain, tapi tatapan matanya seakan mengunciku. Jadi tidak ada pilihan selain menatapnya. Ia bahkan memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya yang hangat. Padahal ia tidak memakai sarung tangan.
"Gue suka lo jadi cewek gue," katanya.
Kenapa rasanya rongga dadaku semakin mengahangat ya? Dan senyumku mengembang secara automatis.
"Berlian Melody."
"Ya?"
"May I kiss you?"
________________________________________
Thanks for reading this chapter
Terima kasih juga yang uda sempetin baca, komen dan vote
See you next chapter teman temin
With Love
Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 25 Juli 2019
Revisi : 26 Maret 2020