Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 13 - Chapter 12

Chapter 13 - Chapter 12

Selamat datang di chapter 12

Buat diri teman temin senyaman mungkin saat membacanya

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (maklum kadang suka gentayangan)

Thanks

Happy reading

Hope you like it

❤❤❤

____________________________________________

Daddy told me, when I'm falling in love with someone, I will never be the same person anymore

••Olivia••

____________________________________________

Jakarta, 7 Januari

14.25 p.m.

"Kakak balapan?"

"Booossss," teriakan Tito mengagetkan kami.

Jayden yang berdiri di sebelah kursi samping kemudi dengan pintu terbuka pun menoleh padanya. Mengacungkan semua telapak tangan sebagai tanda isyarat agar menunggu sebentar. Sementara aku masih memperhatikan raut wajah datar Jayden.

"Kunci pintunya, jangan kemana - mana sampe gue balik," perintah Jayden. Ia baru hendak beranjak pergi tapi kutarik jaket kulitnya dan bertanya, "boleh ikut?"

"Nggak."

Aku ternganga dan bingung. "Kenapa?"

Bukannya menjawab, Jayden malah kembali bertanya, "emang lo takut gue tinggal di sini?"

Tempat ini lebih baik dari pada luar gedung yang di penuhi orang - orang dengan dandanan berandalan. Jadi aku sudah tidak takut, karena percaya tidak ada yang berani melawan Jayden. Itu terbukti dari salah satu selentingan yang tadi aku dengar. Tapi tetap saja, bersama Jayden jauh lebih baik dari pada di sini sendirian. Jadi aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Jayden namun tetap menuntutnya dengan bertanya, "kenapa nggak boleh ikut?"

"Boooosssss." Tito lagi. Boleh tidak Tito ini kulembutkan dengan mortir seperti puyer? Nggak sabaran banget sih orang lagi nanya juga, batinku. Namun bertolak belakang dengan Jayden yang nampaknya memang sudah ingin pergi.

"Gue pergi dulu. Inget jangan keluar mobil, tunggu sampe gue balik." Sekali lagi ia memperingatkan.

"Iya deh," kataku lemas. Berharap Jayden cukup simpati. Tapi tampaknya ia tidak peduli. Buktinya, Jayden tetap pergi.

Dengan malas aku menutup pintu lalu menguncinya dan mulai menyalakan mesin mobil serta AC agar lebih sejuk. Selain untuk mengusir kesunyian agar suasana gedung tua ini tidak terlalu menakutkan dan dari pada tidak ada kerjaan, aku menyalakan pemutar musik.

Apa kau tahu jenis musik apa yang terdengar pertama kali? Ya. Lagu extreme metal yang sangat kencang. Sampai - sampai aku kaget kemudian reflek mengecilkan volume musik tersebut.

Dasar manusia itu! Apa tidak tuli telinganya mendegarkan lagu sekeras ini?

Apa sih enaknya lagu ini? Bagaimana bisa aku menikmati lirik lagu jika vocalist-nya berbicara tidak jelas? Hanya terdengar teriakan - teriakan saja mirip orang sakau?

Ini namanya skills tau.

Tiba - tiba terdengar suara Jayden yang menginterupsi dalam lamunanku. Kata - kata yang dulu pernah ia ucapkan saat pertama kali kencan. Seolah - olah tidak terima jika aliran musik kesukaannya tidak kupahami.

Baiklah jika itu katanya, aku akan berusaha mendengarkannya secara baik - baik. Pertama aku akan mendengarkan tanpa memikirkan suara vokalist-nya dari intro musik ini terlebih dahulu, sementara sandaran kursi yang kududuki kuturunkan pelan - pelan agar lebih santai.

Setelah beberapa saat kupikir Jayden benar. Suara gitar ritem, bass, mau pun melodinya sangat cepat. Tidak sembarang orang bisa memainkan alat musik seperti itu jika tidak mempunyai skills dewa. Tidak hanya itu, suara drum dan orgen juga sama. Lalu aku mulai memikirkan suara vokalist-nya.

Beberapa saat mendengarkan vocalist group band tersebut menyanyi. Sekali lagi aku menyetujui pendapat Jayden tentang cara bernyanyi lagu ini yang harus menggunakan teknik khusus. Teriak - teriak selama beberapa menit tanpa henti seperti itu pasti langsung sakit tenggorokan. Harus menggunakan skills.

Baiklah, kurasa cukup di sini dulu pemahaman musik kesukaan Jayden. Lain kali akan kupelajari lagi karena aku sudah mengantuk sekarang.

Lalu entah sudah berapa lama setelah satu uapan lolos, aku tertidur sampai suara ketukan kaca pintu mobil sebelahku membangunkanku. Aku melirik sebentar. And it's him. Jadi dengan segera kubuka kunci pintu mobil dan ia langsung duduk di kursi kemudi sambil memandangiku yang sedang menguap.

"Sorry, bosen ya?"

Masih kau tanya juga bambank?!

"Em dikit, kenapa sih nggak boleh ikut? Padahal nggak akan ganggu kok." tanyaku dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Begundal - begundal itu ngelirik lo terus," jawabnya dengan nada datar namun aku tahu ia sedang geram. Entah kenapa aku selalu bisa membaca emosinya walau ia menampilkan nyaris tanpa ekspresi wajah seperti itu. "Sadar nggak sih lo tuh manis, uda gitu imut?"

What just he said? Aku tidak sedang salah dengar kan? Aku juga tidak sedang delusi kan?

Betapa jantungku berdetak kencang akibat omgongannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa aku sesenang ini di puji Jayden. Lantas aku harus menjawab apa? Terima kasih? Tapi auranya sendiri masih tampak geram. Seakan tidak membutuhkan jawaban apa pun dariku. Namun aku tidak ingin membiarkan suasana menjadi canggung hanya karena 'manis dan imut.'

Astaga, kurasa aku harus memegangi pipiku agar tidak naik dan membentangkan senyum lebar - lebar kemudian salah tingkah di depan Jayden.

Untuk mengalihkan betapa kerasnya detak jantungku dan rasa panas yang menjalar di pipiku, akhirnya aku mengganti topik pembicaraan dengan bertanya, "Gimana hasil balapannya?"

Beruntungnya Jayden tidak menyadarinya dan menjawab pertanyaanku dengan tenang. "Si Arga yang dibilang Tito tadi yang menang."

Mulutku membentuk huruf O tanpa suara kemudian baru menanggapi."Gue turut sedih kakak nggak menang," tukasku sambil memandangnya dengan prihatin. Tapi kenapa Jayden malah tampak keheranan?

"Gue nggak balapan," jawabnya enteng.

Sekarang gantian aku yang heran dan bingung. "Terus ngapain di sana?"

"Gue yang nentuin siapa yang menang atau kalah." Lagi - lagi jawabannya seringan bulu.

Bertolak belakang denganku yang semakin heran. "Kok bisa gitu?"

"Biaslah politik, kan gue bandarnya."

"Hahahaha jangan ngibul dong!" Sumpah aku ingin tertawa sepuasnya. Aku tidak menyangka jika di balik wajah seram dan datar, ternyata Jayden sejenaka ini.

"Oon! Oneng!" tukasnya sambil menjitak kepalaku.

Ck, gara - gara gahul sama kak Brian nih, jadinya Jayden begini!

"Oneng," panggilnya lagi.

Aku yang masih mengusap kepalaku bekas jitakannya tadi pun menjadi geram. "Apaan sih lo!" tukasku tanpa menggunakan embel - embel 'kakak.'

Terserah. Kau mau menganggap hal ini sopan atau tidak. Aku tidak peduli karena sedang kesal padanya saat ini.

"Ngegas, ngegaaasss."

Aku reflek melipat kedua tangan di dada. "Sejak kapan sih lo jadi kayak kak Brian? Nyebelin banget jitak - jitak kepala!"

"Brian bener, lo tuh asyik di jahilin," uajarnya sambil tertawa.

Astaga! Jayden Wilder tertawa! Selama beberapa bulan ini mengenal dan beberapa hari menjadi pacarnya, baru kali ini aku melihatnya tertawa.

Jayden malah semakin... semakin... Argh! Ya gitu deh pokoknya!

Kontan perasaan kesalku menguap begitu saja. Badanku seperti sudah di setel untuk berdiam diri dan menikmati wajah tertawanya. Padahal dalam hatiku ingin menjerit, jangan ketawa kayak gitu Jayden! Curang! Gimana kalo gue jatuh cinta sama lo cuman gara - gara liat muka ketawa lo?!

"Beneran gue nggak ngibul oneng." Sekali lagi ia menjitak kepalaku. Membuyarkan aktivitasku dalam mengamati wajah tertawanya.

"Aw," gaduhku. Berusaha menampilkan wajah geram lagi karena jitakannya tadi.  "Bisa nggak sih, jangan nambah member jahilun?!"

"Member jahilun?"

"Daddy sama kak Brian, terus lo mau gabung gitu?"

"Hahaha."

"Stop berenti ketawa."

Bukannya berhenti, ia malah semakin terpingkal - pingkal. His smile face is so damn gorgeous! Sekali lagi aku diam. Bukan karena kesal, tapi karena terpaku pada wajah tertawanya.

Ketika sudah puas tertawa Jayden baru menjelaskan sesuatu. Pertama - tama ia berdehm dulu mirip bapak kepala sekolah yang akan memulai pidato. "Ekhm, jadi misal nih, ada tim si A mau balapan sama tim si B."

Aku memperhatikan Jayden menjelaskan.

"Mereka, pasti bakalan pasang taruhan. Nah bagian yang pegang duit taruhannnya itu gue. Semuanya. Baik taruahan buat si A, mau pun si B."

Aku masih diam, berusaha mencerna penjelasan Jayden.

"Gue pasti bakalan ngitung, gedhean mana duit yang di pasang buat taruhan antara si A sama si B. Di situlah gue baru main politik."

"Main politik gimana?" tanyaku penasaran.

"Misal, banyakan duit taruhan yang di pasang buat tim si A, gue bakalan bilang ke pembalab kedua tim, kalo duit hasil pasang taruhannya lebih banyak si A. Jadi gue nyuruh si tim A buat ngalah waktu balapan. Dan itu tanpa sepengathuan orang - orang yang masang taruhan."

"Kok gitu?" tanyaku heran.

"Di akhir pertandingan karena tim A udah kalah, gue bagi duit hasil taruhan tadi ke tim si A dengan jumlah lebih banyak dari pada tim si B. Dan beberapa persen buat gue."

"Ha?"

"Jadi baik yang menang mau pun yang kalah tetep sama - sama dapet duit, termasuk gue. Bandarnya. Kalo di pertandingan biasa cuman yang menang doang yang dapet duit kan? Nah ini enggak, semua gue bikin dapet duit. Jangan terlalu polos, semua permainan itu kadang udah di atur dari awal."

Rasanya baru kali ini aku mendengarnya ngomong panjang lebar. Ditambah suaranya yang berat itu membuatku tenang, meskipun aku tidak benar - benar paham dengan apa yang ia jelaskan karena terpaku memandang wajahnya.

"Paham?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Hehe." Aku hanya nyengir kuda. Jayden yang menyadari ketidakpahamanku pun berdecak dan menghembuskan nafas kasar.

"Prinsip hidup gue tuh, nakal boleh, goblok? Jangan!" ungkapnya sambil ngetuk - ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. Dan aku masih terpaku dengan wajah Jayden.

"Oneng, yok kita nonton aja!"

Ck, tarik saja kata - kataku tadi yang mengatakan jika Jayden is gorgeous. Aku sudah kesal lagi karena ia memanggilku oneng!

"Serah lo aja deh," jawabku singkat.

~~~

Jakarta, 7 Januari

17.10 p.m.

Kau tahu, Jayden membeli tiken nonton film apa? Film horor triller! Film yang paling kubenci di seluruh dunia persilatan. Aku tidak suka yang berdarah - darah apa lagi di tambah horor. Tapi aku juga tidak bisa menolak ketika melihat raut wajah bahagianya.

Jayden penggila film horor triller! Tempat duduk kami saja sampai ia pilihkan pas di tengah - tengah layar. Jadi semua adegan berdarah - darah, sayat - sayatan, setan - setanan sangat terpampang jelas di depam mataku. Apa lagi di tambah suara sound system bioskop yang menggelegar. Menambah jumlah daftar bulu kudukku merinding disko.

Selama film berlangsung aku hanya menutup mata. Walau pun Jayden membelikanku sekotak popcorn ukuran jumbo rasa caramel kesukaanku dan segelas soda, rasanya percuma. Itu semua tidak bisa mengusir rasa takutku. Tapi anehnya lagi di tengah - tengah film ia mengajakku keluar theater.

"Kok keluar sih?" tanyaku bingung, masih dengan memegang popcorn di tangan kiri, sedangkan gelas sodanya sudah ditangan kanan Jayden. Tangan kirinya sudah pasti menggandeng tangan kananku, Jayden kan possessive.

"Oneng oon, kalo lo nggak suka atau takut, bilang aja," katanya ketika sampai di koridor bioskop.

"Abisnya, muka kakak sebahagia itu, mana tega gue bilang takut," jawabku implusif.

Dan kau tau bagaimana pengaruh jawabanku denga sikap Jayden? Ia melempar gelas sodanya sembarangan kemudian menyeretku ke lorong rest room yang sepi, mendorongku ke dinding laku menciumku yang masih memegang popcorn jumbo dan masih di dalam gandengannya.

"Kak... hhmmppp—"

Aku berusaha untuk tidak hanyut dalam ciumannya yang terasa lebih manis karena rokok itu. Berusaha waras. Berpikir secara logika jika ini sedang di tempat umum.

"Bales ciuman gue," pintanya di tengah - tengah ciuman kami.

"Gu-gue, gue belum bisa caranya," jawabku jujur.

"Lakuin apa yang kayak gue lakuin ke lo," ucapnya kemudian mencontohkan bagaimana cara dia menciumku. Memerintahku membuka mulut dan menjelajahiku dengan lidahnya yang manis.

Dan aku mempraktekkan apa yang ia ajarkan.

"Lo gemesin banget, gue kasih tanda ya?!" ucapnya dengan mata menggelap.

Aku tidak bisa menjawab, karena Jayden terus saja menghujamiku dengan ciuman lembutnya. Anehnya lagi aku malah merasa ciuman dengan aroma rokok lebih membuatku hanyut dan berdebar. Seperti ada sensasi tersendiri. Rasanya aku tidak berdaya sama sekali. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.

Perlahan ia mulai menciumi rahangku dan turun ke leher.

"Ngghhh... Ah..."

Entah kenapa aku bersuara seperti itu ketika Jayden mencium leherku. Rasanya seperti sesuatu yang tidak dapat di jelaskan. Rasanya secara naluriah tubuhku sudah seharusnya di setel bersuara demikian.

Jantungku memukul kencang, kupu - kupu dalam perutku rasanya berterbangan kala Jayden menjilat, menyesap kemudian menggigitnya. Mataku memejamkan secara ototmatis dan sekali lagi mulutku mengeluarkan erangan itu.

"Ahhh... Kak..."

Aku tidak tahu kenapa semua itu malah semakin membuat Jayden menggila. Ia lebih semangat mencium, menjilat, dan menggigit leherku. Rasa gigitannya tidak hanya di satu tempat, tapi di seluruh leherku.

"Ah..."

"Gue suka aroma lo. Vanilla. Rasanya pengen gigit terus," katanya dengan suara serak dan berat. "Gue nggak bisa berhenti sebelum lo bilang stop."

"Sto—hhmmmpp. Kak..Jay...aaahh deenn, ss... stoop."

Bagaimana aku bisa bicara jika ia terus saja menciumku seperti itu? Padahal aku sudah berusaha keras memintanya berhenti. Tapi sebelum Jayden menghentikan aksinya, ada suara langkah kaki mendekat ke arah rest room. Kami kaget dan reflek melepas ciuman. Saking kaget dan paniknya, popcorn dalam ganggaman tanganku terlepas, jatuh dan berserakan di lantai marmer.

Sementara Jayden menarikku untuk berlari sambil bergandengan tangan. Menghiraukan popcorn jumbo yang tumpah dan tertawa sepanjang jalan.

~~~

Jakarta, 7 Januari

20.30 p.m.

"Gimana? Seru ya?" tanyanya ketika kami berhenti di parkiran.

Seru seru your head! Seru!

"Dasar! Jantung gue rasanya mau copot waktu ada yang jalan ke rest room!"

Ia hanya tertawa dan melajukan motornya lebih cepat karena sekarang sudah hampir jam sembilan malam. Jika tidak segera pulang daddy plus kak Brian pasti akan menceramahiku.

Aku mengeratkan pelukan dan bersandar di punggungnya. Hal yang dulu pernah ingin kulakukan baru sekarang terlaksana. Aku suka punggungnya. Seperti putri mahkota Shin Chaegyung yang menyukai punggung putra mahkota Lee Shin dalam serial drama Princess Hours. Ya, rasanya seperti itu, atau mungkin lebih.

Dan kau tahu, rasanya aku jadi seperti anak nakal yang suka melanggar aturan ketika bersama Jayden. But I think this is so fucking fun. He gives me a lot of happiness.

____________________________________________

Ada yang sudah paham penjelasan Jayden mengenai balapan? Atau sudah pusing? 😂😂😂

Well, terima kasih sudah meluangkan waktu membaca cerita ini

Terima kasih juga yang udah vote dan komen

See you next chapter teman - temin

With Love

©®Chacha Nobili

👻👻👻

Post : 28 Juli 2019

Repost : 26 April 2020