Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 19 - Chapter 18

Chapter 19 - Chapter 18

Chapter 18

Dont cry when the sun is gone...

Because the tears won't let you see the stars

•Violleta Parra

___________________________________________________________________________

Jakarta, 9 Januari

08.00 a.m.

Kenapa ada cewek sexy ini di apartement cowok itu sepagi ini? Apalagi Cuma pake handuk doang, rambutnya juga basah. Apa dia barusan mandi karena nginep?

Tanpa sadar tubuhku bergeming, mengamati wanita di hadapanku selama beberapa saat sebelum suaranya mengalun, menabrak indra pendengaranku serta memaksa kesadaranku untuk bekerja pada kenyataan.

"Nyari siapa?"

Belum sempat menjawab, sudah ada suara lain yang menyelasuara laki-laki yang menjadi alasanku kemari.

"Siapa?" tanyanya.

Teriakannya berasal dari dalam apartement. Pada detik yang lain, pemilik suara tersebut sudah berdiri di samping wanita di hadapanku. Penampilannyapun tak kalah membuat otakku lantas tidak berpikir yang aneh-aneh. Hanya mengenakan celana boxer alias shirtless dengan rambut berantakan sambil memegang rokok yang asapnya mengepul.

Rasanya tubuhku seperti di siram es. Dingin dan kaku. Padahal matahari sedang hangat-hangatnya. Aku hanya bisa mematung, memandang lelaki serta wanita di sebelahnya se-cara bergantian sebelum mendapat kekuatan untuk berkata, "maaf, salah alamat."

Pada detik itu juga lantas berlari pergi, berusaha mati-matian menahan air mata yang bisa tumpah kapan saja.

Jadi itu alasannya nggak hubungin gue. Karena mbak sexy nginep di apartemennya?

"Mel, tunggu, teriak laki-laki itu." Dari suara hentak kaki sepertinya ia mengejarku. Tapi aku tidak peduli. Saat ini yang bisa kulakukan hanya terus berlari ke elevator yang kebe-tulan sedang terbuka. Sebelum ia berhasil mencapai elevator dan menangkapku, aku menutup pintunya secepat yang kubisa. Memenekan semua nomor lantai agar laki-laki itu tidak dapat mendeteksi dan mengejarku. Lalu berhenti di sembarang lantai.

Aku berjalan ke taman kecil yang ada di lantai tersebut. Beruntungnya taman sedang sepi. Jadi aku duduk di bangkunya sambil merapalkan mantra pada diriku sendiri, jangan na-ngis Mel, jangan nangis, lo nggak boleh nangis. Lo udah menangisin dia semaleman.

Percuma, tidak mempan alias sia-sia. Pada akhirnya aku tetap menagnis. Selewat be-berapa saat malah semakin terisak. Mengeluarkan semua rasa sakit hati lewat air mata yang bahkan tidak kunjung habis meski sudah terkuras semalaman.

Setelah tenang aku mencoba memikirkan hal lain yang lebih penting. Mengenai kado ualng tahun Karina besok sabtu. Aku berusaha menghirup napas dalam-dalam dan menge-luarkannya perlahan serta memutuskan menelpon kak Bella.

"Hallo," sapa suara lembut di seberang.

Sebelum menjawab aku berusaha menetralkan suaraku agar terdengar normal, tidak serak seperti usai menangis. "Halo Kak Bel."

"Ya Mel? Tumben pagi udah nelpon. Biasanya kan kamu masih tidur kalau pagi."

"Iya Kak, barusan di bangunin kak Brian. Btw Kak Bella udah beli kado buat Karina belom?"

"Udah sih kemaren sama Brian, kenapa Mel?"

Aku memejamkan mata sejenak sambil berucap, aku belum "Kak, temenin aku beli kado please."

Hening beberapa saat sebelum kak Bella menjawab, "hari ini aku ada KRS, harus ke-temu dosen jam sembilan, abis itu baru free. Gimana kalo kita ke PIM?"

"Boleh, aku juga belom mandi kok, santai, Kak. Kita langsung ketemu di sana aja ya," dalihku.

Usai memutus sambungan telpon, aku mengatur ponselku menjadi mode pesawat. Beralih menatap taman dengan tatapan kosong kemudian memindahkan pandangan ke ge-dung-gedung pencakar langit dengan posisi kedua tangan bertumpu pada lutut. Sesekali kali menunduk menatap Valentino Gavaraniku. Hingga tidak terasa sudah pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Itu artinya sudah sejam lebih aku berada di sini dengan posisi melamun.

Aku menghembuskan napas berat dan panjang sekali lagi, bermaksud mengumpulkan tenaga untuk turun ke Loby. Sebelum naik taxy menuju PIM, aku menyepatkan diri ke rest room untuk membenahi diriku. Mencuci muka, memoles bedak serta lip tint agar tampak lebih segar, walaupun mataku masih bengkak.

Dalam perjalanan, aku meminta supir taxy berhenti di Circle K sebab ingin membeli air mineral dingin dan kapas untuk mengompres mata bengkakku. Aku tidak ingin ketika ber-temu kak Bella nanti akan di tanyai macam-macam. Rasanya, aku masih belum  mampu men-jawabnya. Aku hanya akan berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti yang selalu laki-laki itu lakukan setiap saat.

Ah, kenapa gue memikirin dia lagi?

"Adanya Indomart, Non, gimana?" tanya supir taxy yang praktis membuyarkan lamunanku.

"Oh ya sudah nggak apa-apa, Pak," jawabku.

Jakarta, 9 Januari

09.30 a.m.

Setelah berhasil mendapatkan barang-barang yang kumaksud, taxy-ku membawaku melaju ke PIM. Selewat beberapa saat, setibanya di PIM, sebelum bertemu ka Bella, aku mencari nursery room yang sepi untuk mengompompres mataku menggunakan kapas yang kubasahi dengan air dingin.

Selama proses ini, tidak serta merta pikiranku lantas istirahat dari laki-laki tersebut. Semakin lama menutup mata tanpa melakukan apapun, semakin keras juga aku memikirkan-nya. Karena tidak tahan dengan keadaan ini, sekitar seperempat menit kemudian, aku menga-tur ponselku dalam mode normal untuk mengirim pesan pada kak Bella.

To Peri Bella :

Di mana kak? Aku udah di PIM

From Peri Bella :

Otw, lima belas menit lagi sampe

To Peri Bella :

entar kalau udah sampek langsung ke food court aja ya, aku di sana beli jajan.

From Peri Bella :

Oke Mell

Setelahnya, aku kembali mengatur ponselku dalam mode pesawat.

Well, aku harus bangga pada diriku sendiri ketika bersama kak Bella, aku bisa men-jadi Berlian Melody yang ceria seperti biasanya. Aku bahkan tidak menggigiti kuku.

Kami mencari kado yang cocok untuk Karina dan bercanda, sesekali gibah kak Brian. Dengan penuh semangat menceritakan semua kelakuan kakakku. Kak Bella yang mende-ngarnya semakin berbinar semangat, meandakan apabila ia sangat menyukai kakakku dan menerima apapun kekurangan kakakku. Betapa kak Brian sangat beruntung mempunyai ke-kasih cantik, baik dan penyayang seperti kak Bella. Dalam hati aku sungguh berharap hubu-ngan mereka baik-baik saja hingga ke jenjang pernikahan.

Ah, aku jadi iri dengan kakakku akibat sekelebat bayangan bagaimana ketidakjelasan hubunganku dengan laki-laki itu.

Foucus on your shopping, Mel! Rapalku dalam hati.

Oh ya, untuk mempertegas kepura-puraanku apabila aku baik-baik saja, aku membeli beberapa baju dan make up agar kak Bella tidak curiga. Padahal aku sama sekali tidak mood, baju dan make up yang kupilih juga asal-asalan.

"Mau makan apa Kak biar aku pesenin, aku traktir deh. Buat ucapan terima kasih u-dah nemenin nyari kado," ungkapku setelah kami duduk di food court atas dan aku meletak-kan beberapa paper bag di kursi sebelahku.

"Kamu ini kayak sama siapa aja nggak usah Mel," tolak kak Bella dengan halus. Maksudku, setiap saat kak Bella selalu menggunakan nada halus.

Jangan gitu dong Kak Bel, Pokoknya kupesenin makan di Papper Lunch, jawabku. Itu merupakan pernyataan, bukan penawaran ataupun negosiasi. Jadi tanpa menunggu jawaban kak Bella, kakiku langsung melipir ke Papper Lunch.

Jakarta, 9 Januari

12.23 p.m.

"Kamu ini suka banget ya makan daging?" tanya kak Bela ketika makananan kami sudah tersedia di meja food court. Sesekali ia menyesap minuman caronasi yang kupesankan tadi.

Iya biar cepet tinggi kayak Kak Bella, jawabku pasca menelan sepotong rib eye—yang biasa kupesan di Paper Lunch.

Aku melihat kak Bella menutup mulutnya sambil tertawa. "Haha kamu itu ada-ada aja. Kamu udah tinggi kok Mel. Nggak usah minder kalau lagi jalan ama Jayden, pakek wedges aja."

Mendengar kak Bella menyebut nama laki-laki itu, aku reflek memelankan kunyahanku. Entah kenapa rasanya daging ini menjadi hambar. Aku juga harus menelannya dengan susah payah. Padahal aku yakin sekali daging tersebut sudah kukunyah selembut mungkin. Sampai-sampai aku membutuhkan cairan untuk mendorong makananku agar turun ke lambung.

"Nggak nyaman Kak," jawabku akhirnya. Mungkin suaraku terdengar sedikit parau dan pelan. Namun beruntungnya kak Bella tidak menyadari perubahan kecil yang kutunjuk-kan karena sibuk dengan getaran ponselnya. Mungkin itu dari kakakku. Aku begitu yakin se-bab binar bahagia terpancar dari wajah cantik milik perempuan yang duduk di depanku.

Ah Lagi-lagi aku iri dengan hubungan kakakku dan kak Bella yang terlihat baik-baik saja. Padahal mereka sudah pacaran lama. Sedangkan hubunganku, baru beberapa hari, namun sudah tidak jelas bentuknya.

"Brian udah aku kasih tau kalau kamu lagi sama aku, kayaknya dia sempet khawatir hpmu nggak aktif."

Suara kak Bella menyentak lamunanku. Cepat sadar diri aku segera berlagak normal. "Makasih Kak, btw hpku aktif kok, coba aku cek dulu deh."

Aku mengeluarkan ponsel di clutch bag-ku dan pura-pura kaget. "Yah pantes aja, orang kepencet mode airplane."

Well, usai makan kami kak Bella mengajakku jalan-jalan lagi. Kami memasuki beberapa gerai toko namun tiba-tiba aku mengeluarkan mengeluarakan ponsel dan menempel-kannya di telinga. "Hallo," sapaku dengan suara lantang. Kak Bella yang sedang memilih bando pada arak yang terletak tidak jauh dari tempatku berdiripun menoleh. Aku reflek menutup ponsel menggunakan tangan sebelah dan mengucapkan nama Karina tanpa menyuarakannya pada kak Bella. Kemudian beralih ke ponsel kembali. "Bentar Kar, gue mau ngomong bentar ama kak Bella, jangan di tutup dulu ya."

Pada detik yang lain, aku menyusul kak Bella yang sudah membayar di kasir dan berkata, "Kak Bell, Kakak pulang duluan aja, Karina mau minta tolong buat pesta ulang tahunnya besok," bisikku.

"Ya udah Mel, aku pulang duluan ya, salam buat Karina." Kak Bella memelukku sekilas.

Ketika telepas, aku kembali focus ke ponselku lagi dengan suara lantang. "Hallo Kar, iya iya, bawel banget sih lo, bentar lagi gue ke situ." bersamaan dengan kak Bella yang me-lambaikan tangan.

Kala kak Bella sudah menjauh, aku segera menurunkan ponselku yang mati.

Ya aku hanya pura-pura.

Hembuskan napas yang tebentuk dari paru-paruku perlahan keluar. Aku melihat langit-langit PIM. Begitu sediirian, rasanya air mataku akan jatuh lagi. Tahu-tahu butiran be-ning itu sudah muncul di pelupuk mata. Dengan cepat aku mengelapnya dan pergi jalan-jalan sendirian untuk menenangkan pikiran. Aku pergi ke game centre, memainkan beberapa game, nonton film komedi dan akhirnya karaoke.  Teriak-teriak tidak jelas selama tiga jam hingga tenggorokanku sakit. Setelahnya melempar microphone asal dan terisak kencang de-ngan alunan musik yang kusetel keras sekali agar orang tidak mendengar tangisanku.

Hari ini, hidupku penuh kepalsuan. Mungkin aku bisa jadi actress terbaik pemenang Grammy Award. Rasanya aku tidak ingin pulang. Apabila pulang aku akan bertemu daddy dan teringat Amanda, lalu ujung-ujungnya teringat laki-laki itu lagi.

Patah hati ternyata sesakit ini, apa lagi untuk remaja usia enam belas tahun sepertiku. Apa aku terlalu muda saat ini untuk merasakan apa yang di sebut jatuh cinta dan berakhir patah hati? Apakah apabila aku jatuh cinta pada umur dewasa akan sesakit ini juga rasanya ketika patah hati?

Aku menekan dadaku meggunakan telapak tangan, rasanya sesak sekali. Seperti ada sesuatu yang membelenggu. Aku bahkan sudah menangis selama dua hari dengan durasi lama. Namun rasa sakit tersebut tidak kunjung menghilang. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku harus bagaimana lagi?

Jam sebelas malam tepat aku turun dari taxy depan rumahku dengan menenteng beberapa paper bag yang menurutku sama sekali tidak berguna. Kala menyusuri foyer depan, kak Brian sudah berdiri di sana dengan wajah marahnya.

"Dari mana aja lo? Hp mati, nggak bisa di hubungi! Jam sebelas malem baru pulang? Huh?!" bentak kak Brian tepat selangkah aku baru masuk rumah. Aku terlonjak kaget namun hanya bisa menunduk. Rasanya air mata ini akan keluar lagi.

"Maaf hp gue lowbat," jawabku pelan, hampir terdengar serupa bisikan dengan suara aneh akibat menahan air mata yang sulit kukendalikan saat menunduk. Setelahnya aku meng-gigit bibirku keras, aku bahkan tidak berani menggigiti kuku ketika kak Brian masih melanjutkan bentakannya.

"Duit jajan lo bisa buat beli hp sepuluh! Beli charger, beli power bank  atau beli hp baru kenapa nggak bisa cuma buat ngasih kabar gue?!"

"Maaf."

"Dan lo malah belanja?!"

Kenapa bukan daddy saja yang menungguku, mungkin beliau tidak akan membentakku sekeras ini. Rasanya baru kali ini aku melihat kakakku semarah ini. Biasanya kak Brian selalu jahil. Melihat dan mendengar makiannya membuat sakit hatiku bertambah berkali-kali lipat.

Aku ingat terakhir kali kakak marah, waktu itu umurku masih sepuluh tahun. Itupun hanya karena aku tidak sengaja menginjak dan mematahkan robot gundamnnya. Dulu masih ada mommy yang menenangkanku, juga mendamaikan kami. Sekarang mommy sudah di surga, bagaimana caranya ia bisa menenangkan keadaan kacau ini?

Mengingat mommy aku jadi tidak kuat lagi, aku menangis sekencang-kencangnya