Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 24 - Chapter 23

Chapter 24 - Chapter 23

Chapter 23

When the person tells you that you hurt them, you don't get to decide that you didn't

Louise C.K.

___________________________________________________________________________

Jakarta, 14 Januari

09.07 a.m.

Aku masih mempertahankan pandanganku pada Jayden yang kini rahangnya mengeras, darah segar bercucuran di dahi serta mulutnya. Kedua tangan laki-laki itu yang sedang di pegangi dua orang algojo mengepal erat. Berusaha menyentak-nyentak namun gagal. Kondisinya mengerikan. Akan tetapi ada yang lebih mengerikan dari itu. Tatapan Jayden yang melayang pada sumber sumber suara tersebut. Seperti ingin membunuh. Seperti ingin mengu-litinya hidup-hidup. Auranya menggelap berkali-kali lipat. Aku bergindik ngeri karena takut.

Dengan enggan kepalaku menyusuri arah pandangan Jayden dan mendapati seseorang yang sangat kukenal tengah duduk di kursi tanpa lengan dengan kaki disinglangkan. Sikap yang selama ini tak pernah ia tunjukkan padaku. Aku hanya tidak menyangka. Terlalu kaget untuk merespon dalam bentuk apapun.

Why must him?

"Sini Mel," katanya santai seperti sedang mengajakku ke taman bermain. Melihatku yang masih tidak mampu mengeluarkan suara sedikitpun, ia bertanya, "nggak mau?"

Lagi-lagi aku tidak bisa bereaksi walaupun hanya sekedar menjawab. Itu membuatnya sedikit tersulut emosi dan mengambil perintah melalui jentikan jari. Sehingga pada detik beri-kutnya algojo-algojo di sekitar Jayden kembali menghajarnya. Dari sana aku sudah cukup jelas menyimpulkan ancaman tersebut. Jadi apa aku punya pilihan lain selain mendekat kearah-nya?

"Stop!! Iya, gue ke situ!" teriakku lantang. Entah mendapatkan kekuatan dari mana aku dapat menyuarakannya. Itu membuat algojo-algojo tersebut otomatis menghentikan acara pukul memukuli Jayden.

Dengan pelan tapi pasti aku berjalan ke arahnya dan bertanya, "kenapa lo ngelakuin ini?"

Ia tertawa lepas. Bukan jenis senyum yang dulu sempat kuanggap hangatnya mengalahkan mentari pagi. Tidak. Sekarang hanya terdengar tawa sumbang yang aneh.

Aku reflek mundur kala ia mendeaktiku sambil menjawab, "lo masih inget gimana dia hajar gue di pesta Karina kan? Apa salahnya gue hajar balik? Well, tiap perbuatan pasti dapet balesannya. Dan ini balesan buat pacar lo." Nada suara yang ia gunakan sangat enteng. Kalau boleh jujur, aku tidak suka ia menambah gerakan tangan untuk memperjelas jawabannya.

Alisku berkerut samar. Tidak percaya ketika ia kembali menjelaskan alasannya melakukan hal ini. "Well, bukan itu aja sih. Gue kecewa sama lo, semua orang tau lo deketin gue, bahkan gue juga udah mulai suka sama lo dan bela-belain ngelarin masalah gue sama Novem. Tapi lo malah sama Jayden, kakak tiri gue?!" Bentakannya di akhir kalimat mem-buatku semakin mundur. "You..." Ia menunjukku dan Jayden. "Hurt me!" Anehnya lagi Jordan menambahkan senyum setelah mengatakan itu.

"Berarti urusan lo cuma sama gue! Kalau gitu lepasin Jayden!" Aku memkik. Itu me-rupakan satu-satunya caraku membela diri.

"Dengan senang hati, kalau lo mau having sex—" Ia menghentikan kalimat untuk mengoreksi. "Maksud gue, karena gue suka sama lo, jadi making love sama gue!"

"Bangsat!!"

"Berengsek!!" teriakku dan Jayden hampir bersamaan. Bedanya Jayden langsung di pukuli.

"Stop!!" teriakku lagi dengan tangan mengepal. Wajahku benar-benar menunjukkan ekspresi marah sekarang. Aku harap pandanganku cukup menusuk sehingga ia takut. Tapi tampaknya tidak ada tanda-tanda ketakutan sediktpun dari wajah yang dulu kuanggap tampan itu. Yang ada, dengan santainya Jordan—maksudku si berengsek—mengode ke algojonya agar berhenti memukuli Jayden dan kembali menatapku.

"Bukannya itu tujuan lo ke sini? Pake hot pants? Pengen godain gue kan? Lagian gue yakin lo udah pengalaman, apa lagi sama Jayden, so, apa masalahnya?" tanyanya tanpa rasa hormat.

Kali ini aku tidak bisa berdiam diri lagi saat si berengsek ini menghinaku. Jayden sudah mengumpat berkali-kali selaras pukulan-pukulan yang senantia melayang pada wajahnya.

Bugh

Rasain! Bainku berteriak seiring dengan kepalan tinju yang melayang ke udara dan mendarat tepat di hidungnya yang mancung. Ia agak terpelanting ke belakang dan langsung mimisan. Setelah mendatpatkan keseimbangannya kembali, ia melihatku dengan tatapan murka.

"You slutty bitch!!" makinya sambil memegangi hidung serta mengode penjaga pintu tadi untuk memegangi tanganku. Aku baru akan kabur tapi penjaga pintu lebih dulu menangkapku.

"Lepasin gue berengsek!!" teriakku sambil memberontak. Meronta-ronta tapi percuma. Kekuatan penjaga itu tentu tidak sebanding dengan kekuatanku yang berbadan kecil. Si berengsek itu kembali mendekatku. Kala tubuhnya berada sejengkal dari tubuhku, ia memegang rahangku. Menekannya begitu keras hingga rasanya nyeri dan aku takut tulangku akan patah. Aku masih berusaha berontak, ketika ia semakin dekat berusaha menciumku, kuludahi wajahnya. Kontan membuatnya bersingkut mundur.

"Hahaha, I like this girl!" akunya seperti orang sinting sambil mengelap ludah di wajahnya dan mendekatiku lagi. Kali ini aku mencoba menendang-nendang tapi nihil. Aku mu-lai putus asa dan melihat Jayden—yang sudah terlepas—tengah berusaha menghajar tiga o-rang algojo di sekitarnya secara brutal.

Sementara si berengsek itu semakin mendekat, sekali lagi menekan rahangku kuat-kuat dan aku tidak dapat melawan, saat itulah perasaan takutku muncul kembali dan mulai menangis.

Aku tidak tahu kapan persisinya. Semua terjadi begitu cepat sehingga aku tidak bisa merekam kejadian ketika detik itu juga Jayden meninju keras wajah si berengsek. Tahu-tahu ia sudah tersungkur di lantai. Aku sempat melihat sekilas ke arah tiga algojo yang memukuli Jayden tadi, kini juga sudah terkapar di tanah.

"Bangsat!! Apa yang mau lo lakuin bangsat!!" maki Jayden tepat di wajah si berengsek itu sambil terus memukulinya. Sedangkan penjaga pintu yang memegang tanganku mendorongku keras ke arah samping hingga aku oleng, tidak seimbang kemudian terjatuh dan mendarat dengan satu kaki. Rasanya sakit sekali kakiku yang di gunakan untuk bertumpu. Sambil memegangi kaki, aku melihat penjaga itu sudah mengeluarkan pisau dan menancapkannya ke punggung Jayden. Begitu cepat sehingga aku sama sekali tidak dapat mencegahnya.

"Jayden!!" teriakku sambil terisak. Berusaha bangkit berdiri tapi kakiku sangat sakit. Pada akhirnya aku tidak dapat melakukannya.

Sambil menangis, aku melihat Jayden bergeming, tidak kesakitan sama sekali atau minimal berteriak. Ia berbalik badan dengan tatapan yang berkali-kali lipat jauh menyeramkan dari tadi. Kilatan mata Jayden menatap nyalang pada algojo penjaga pintu yang menusukknya tadi. Tanpa jeda, dengan satu kali tendangan sangat keras, pria dewasa itu roboh.

"Jayden!" teriakku lagi.

Belum mempedulikkanku, ia mencabut pisau yang menancap di punggungnya dengan satu sentakan keras tanpa raut wajah yang menandakan kesakitan. Aku yang melihatnya ha-nya mampu meringis karena ngeri sambil terisak. Setelah membuang benda logam tajam tersebut ke sembarang arah, ia perlahan mendekatiku. Dan aku tidak bisa mencegah diriku sendiri dengan rasa takutku kala melihat tatapan murka Jayden yang masih bmenghiasi wajah tampannya walau penuh darah.

Jayden belum mencapai tempatku terduduk ketika si berengsek itu tiba-tiba bangun dan tanpa aba-aba memukul punggung Jayden dengan balok kayu—yang tidak aku ketahui dari mana asalnya. Sekali lagi Jayden murka dan menghajarnya habis-habisan seperti orang kesurupan, tanpa memperdulikan luka punggungnya yang darahnya mengalir banyak sekali.

"Jayden udaaahh!!" Lagi-lagi aku meneriakinya sambil menangis keras. Bukan bermaksud membela si berengsek itu, melainkan mengkhawatirkan luka tusukannya yang semakin banyak mengeuarkan darah akibat gerakan memukul terus-menerus.

"Bos udah bos dia bisa mati!" teriak Tito yang akhirnya datang. Ia berjalan terpin-cang-pincang mendekati Jayden bersama tiga teman berandalannya untuk berusaha memegangi bos mereka yang kini sedang kalap seperti orang kesetanan.

"Godverdomme!2" bentakknya entah pada siapa.

"Jayden stop!! Jayden!" teriakku lagi. Kali ini keras sekali dan berhasil menghentikannya.

"Kalau bukan Mel yang minta gue berhenti, pasti gue tarik usus lo hidup-hidup!" bentak Jayden. Tiga teman berandalannya berusaha menjauhkannya dari si berengsek yang sudah babak belur dan terkapar di lantai. Urus cecenguk ini! titah Jayden pada tiga teman berandalannya.

Jayden berbalik arah mendekatiku yang masih terisak keras. Tatapan matanya masih seseram tadi sehingga masih terasa menakutkan bagiku. Akan tetapi aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menangis seperti bayi sambil memegangi kakiku yang sangat sakit.

"Bodoh!" makinya ketika sudah berjongkok di depanku. Jayden mengusap air mataku menggunakan tangannya yang bersimpah dara sehingga bau anyir segera menyerbu udara di sekitarku namun tidak cukup membuatku jijik. "Ngapain sih ke sini?!" makinya lagi. Aku malah semakin terisak keras. "Biar gue hajar sekalian si Tito itu!!" ucapnya tegas masih sambil mengusap air mataku.

"Jangan, gue yang maksa kesini! ucapku dengan suara parau.

"Bahaya tau!!"

"Terus gue harus diem aja liat lo di pukulin sampe mati?!!" Aku sudah tidak takut lagi pada Jayden. Malah memakinya dengan posisi tangan masih memegangi kaki yang sangat sakit. Menumpahkan kekesalah lewat verbal bercampur air mata yang masih mengalir. Saat itulah ketegangan wajahnya memudar.

Jayden meraih wajah serta daguku bermasud menciumku dengan mulut yang berdarah. Aku sampai dapat merasakan rasa darahnya. Saat aku memeluknya, tanganku tidak se-ngaja menyentuh darah dari luka tusukannya.

"J-Jayden punggung lo, punggung lo!" kataku gelagapan. Ayo ke rumah sakit! ajakku sangat panik dan hobiku menggigiti kukupun kembali.

"Ck, Godverdomme," ucapnya pelan.

"Apa?" tanyaku tidak paham arti kata yang baru saja ia ucapkan. Jayden mengabaikan pertanyaan dan lebih memilih memperhatikan kakiku. Detik berikutnya laki-laki itu menggendongku ala bridal style dengan punggungnya yang masih berdarah-darah.

"Jayden punggung lo, punggung lo!" pekikku.

"Berisik!" protesnya dengan suara berat. Aku kontan diam sebab tahu arti dari jenis suara Jayden.

Dalam gendongannya, laki-laki itu membawaku berjalan ke arah Tito dan seorang berandalan untuk memerintah, "telpon dokter biasanya, kita ke basecamp!"

Setelahnya lanjut berjalan keluar gedung. Aku sempat melirik ke tempat si berengsek Jordan yang ternyata sudah hilang entah kemana. Kutebak dua orang berandalan tadi yang mengurusnya sesuai perintah Jayden.

Menatap lurus ke depan sambil berjalan, tatapan Jayden beralih ke padaku yang kini sudah melingkarkan seluruh lenganku pada leher Jayden. "Lo ke sini naik apa?" tanyanya.

"Mini cooper kuning," jawabku pelan sambil mengamati wajah Jayden yang penuh darah.

"Mana kuncinya?"

Aku merogoh kantung hot pantsku dalam gendongannya dan meberikan benda dengan gantungan LV pada Jayden.

"Lih, lo yang nyetirin Tito ke basecamp pake mobil cewek gue!" perintahnya sambil melempar kunci mobilku ke berandalan yang di panggil Lih itu—yang posisinya memapah Tito keluar gedung, tepat di belakang Jayden.

"Kenapa kita nggak ke rumah sakit aja? Kenapa kita nggak lapor polisi aja? Tolong teken luka punggung lo, iket pake jaket kulit ini!" Omonganku sudah ngelantur ketika ia mendudukanku di kursi samping kemudi mobil Hummernya tanpa memperdulikan luka tusukan di punggungnya sendiri. Seolah-olah tidak ada luka sama sekali di sana karena pemilik tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda kesakitan. Padahal darah yang keluar dari luka tersebut sudah merembes pada jaket kulit Jayden yang berlubang akibat tulusan pisau.

"Jaydeh bodoh! Oon!" teriakku yang sudah tidak kuat lagi dengan Jayden yang sama sekali tidak meresponku sejak tadi. Namun kali ini panggilanku dapat membuatnya menoleh. "Siniin jaket lo nggak ada protes!!" lanjutku.

Ia malah meimicingkan mata di selingi smirk smile. "Gue semenggoda itu ya sampe lo nggak tahan minta lepasin jaket gue?"

Aku ternganga dengan mata terbelalak. Tidak percaya, dalam keadaan segenting ini ia masih sempat bercanda. "Oon!! Bisa-bisanya lo becanda!! Gue mau ngiket luka lo itu, biar darahnya nggak keluar terus!! Lo udah mulai pucet oon!"

"Hhmm ternyata gue nggak semenggoda itu di mata lo," gumamnya datar. Seolah-olah itu merupakan kesedihan yang mendalam. Melukai hatinya yang rapuh.

"Terserah lo deh!" teriakku seperti orang frustasi serta melipat kedua tangan di dada dan mem buang wajah ke jendela.

_________________

2 umpatan dalam bahasa Belanda