Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 22 - Chapter 21

Chapter 22 - Chapter 21

Chapter 21

Those who act no different than the others are fake

••Simone Nobilli••

___________________________________________________________________________

Jakarta, 13 Januari

07.55 p.m.

Aku tidak tahu, berapa ratus kali harus terkejut kala mendapati wanita sexy di hadapanku yang mengenakan dress hitam selutuh tanpa lengan, dandanan tebal namun sangat pas dengan wajahnya yang sangat cantik serta polesan lisptik merah mentereng menghiasi bibir penuhnya. Aku baru akan membandingkan penampilanku ketika wanita itu bersuara.

"Lo lagi?" tanyanya. Melipat kedua tangan di dada sambil menatapku dengan panda-ngan tidak suka. Ini mah, kak Novem lewat! Kagak ada apa-apanya!

"Gue yakin lo nyari Jayden, dia nggak ada," tambahnya lagi sambil melihat kukunya yang di cat senada dengan polesan lipstik.

See? datang ke sini merupakan sebuah kesalahan. Bukan menyelesaikan masalah, tapi malah menambah sakit hati saja. Lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain pergi?

"Lo suka ama Jayden?"

Pertanyaan wanita itu berhasil menghentikan langkahku yang baru sejengkal. Akupun kembali menghadapanya dengan senyum hambar.

"Sudah gue duga, ucapnya. Cewek kayak lo suka sama Jayden gue?" Nada yang wanita itu gunakan memang datar tapi aku paham apabila ia meremehkanku. Terlihat jelas melalui caranya melihatku dari kepala hingga ujung kaki sebelum mengucapkan kalimat yang lain. "Lo pasti mimpi mau dapetin Jayden. Mending lo pergi aja deh." Tak cukup hanya dengan ucapan, wanita itu juga mengibas-ngibaskan tangan guna mengusirku.

Padahal ia sama sekali tidak mencakar atau menjambakku, tapi entah kenapa kata-ka-tanya malah membuatku seperti di tampar keras. Sadar bahwa apa yang dikatakannya memang benar.

Kenapa nyaliku jadi ciut? Jauh berbeda ketika berhadapan dengan kak Novem saat berkelahi setelah pulang sekolah gara-gara rebutan kak Jordan. Bukankah situasi ini mirip? Masalahnya yang menjadi sainganku wanita high class di hadapanku. Secuilpun aku bukan tandingannya. Apalagi wanita itu sepertinya memang sudah memutuskan tinggal bersama Jayden. Mengingat tiap kali aku datang kemari wanita itu selalu yang membukakan pintu. Mungkin wanita itu juga sudah nananina dengan Jayden. Hal yang tidak bisa kuberikan.

"Iya lo bener, gue harusnya tau diri", kataku implusif. Akupun terketjut dengan diriku sendiri yang mampu menyuarakan hal tersebut dengan sendu. Aku hanya tidak tahu apa yang terjadi padaku, kalimat ini meluncur begitu saja. Membuat wanita di hadapanku lebih tersenyum remeh.

"Lo bener, kalau di bandingin sama lo, gue nggak ada apa-apanya," tambahku lagi. Air mata yang sudah beberapa hari ini kutahan, entah kenapa malah mengupul di permukaan netraku, siap tumpah.

"Baguslah kalau lo sadar diri, terus ngapain lo masih suka sama Jayden?" tanya wanita itu seperti mendesakku.

"Falling in love with him wasnt my plan. Gue juga nggak tau kenapa bisa cinta sama Jayden. Bukannya cinta emang nggak butuh alasan ya?"  Lagi dan lagi aku mengatakan apa yang ada di pikiran dan hatiku. Entah apa yang ada di dalam wanita ini. Seolah-olah ia memiliki kekuatan magis untuk terus membuatku menjawab semua pertanyaannya. Padahal itu sama sekali tidak berguna, tidak penting lagi, toh Jayden sudah bersamanya. Aku sudah terlambat mengakui perasaanku pada Jayden. Maka dari itu lebih baik aku menyerah dan pergi sekarang.

Entah kenapa menyadari bahwa saat inilah waktunya aku menyerah, dadaku rasanya nyeri dan sesak. Tangisku baru akan tumpah, ketika tawa wanita itu pecah.

"Ppffttt hahahahahahahaha, Jay, udah denger kan? Keluar kagak lo! Sumpah gue nggak kuat, nggak tega liat muka polosnya!" aku wanita itu sambil membuka pintu lebih lebar dan yeah Jayden berdiri di balik pintu sambil merokok mendengarkan obrolan kami. Seketika aku langsung mati gaya.

"Ya ampun liat mukanya Jay! Udah ah gue ogah akting judes terus kek gini."

Tunggu! Akting?

Wanita itu masih tertawa melihatku dan Jayden bergantian kemudian mendekat mengulurkan tangan dan dengan tololnya kusambut. "Kenalin, gue Jameka, kakak kandung Jayden, hahahaha."

What? Kakak kandung?

Wanita  sexy yang membuatku cemburu tidak jelas ini kakak kandung Jayden? Kok aku baru sadar wajah, cara biacara dan tawa mereka mirip? Getsture tubuhnyapun mirip. Sepertinya memang kakak kandung. Apa karena cemburu jadi tidak menyadarinya dari awal? Atau karena make up tebalnya? Pantas saja ia mengiap di apartement Jayden dan mandi sana. But there're not hickey on her body. Itu artinya Jayden tidak menandainya. Jelas saja, mana ada manusia di bumi ini yang membuat hickey pada saudara kandungnya sendiri?

Ya Tuhan tenggelamkan saja aku di Antartika. Percuma sedih, galau tidak jelas, sampai di bentak kak Brian, hanya untuk cemburu pada kakak kandungnya? God, sekarang aku harap memiliki kekuatan super untuk menghilang dari sana! Atau minimal memiliki kekuatan super bisa menyamar jadi dinding. Atau lalat, atau nyamuk, atau apapunlah.

Astaga betapa malunya

"Ya ampun liat mukanya udah mewek gitu Jay! Bagian lo nih, utang gue pokoknya udah lunas ya buat jelasin hubungan kita," ucap kak Jameka pada Jayden yang kemudian beralih menatapku. Jangan di anggep serius ya omongan gue tadi. "Sekarang gue cabut dulu, bye Melody sayang, selamat nananina. Kapan-kapan kita makan bareng."

Usai mengatakan itu kak Jameka pergi begitu saja.

Btw, Kak Jameka bahkan tahu namaku? Apa Jayden yang cerita? Dan apa katanya ta-di? Nananina?

Aku reflek menggigit kuku dengan alis berkerut samar akibat menahan malu. Air mata yang tadi sudah terkumpul kini sudah hilang entah kemana. Aku tersenyum kikuk, baru akan melipir pergi namun deheman keras dari Jayden mengagetkan dan menghentikanku.

"Ekhm, apa itu bener?" tanyanya dengan suara itu. Suara yang beberapa hari ini kurindukan. Ia juga sudah mematikan rokoknya. Tanda keseriusannya, jadi akupun menghentikan hobiku.

"Iya," jawabku pelan, masih mati gaya.

"Nggak salah orang?"

Ah kenapa mendengar pertanyaannya yang ini jadi melow ingat drama di pesta ulang tahun Karina? Tapi bukankah ini satu-satunya kesempatanku untuk menjelaskan semuanya sebelum sepenuhnya menyerah? Mungkin Kak Brian benar, aku harus menjelaskannya sekarang atau menyesal karena tidak melakukannya sama sekali. Entah bagaimana hasilnya nanti. Yang penting aku sudah menuntaskan penjelasanku.

"It was," jawabku masih menggunakan suara pelan dan lirih sebab rasanya seperti menelan batu ketika mengatakannya. Tapi aku harus! "Tapi nggak tau sejak kapan, lo bikin gue jatuh cinta. Dan niat nggak akan cerita masalah itu ke lo karena gue pengen sama lo terus. Takut lo pergi kalau tahu kebenarannya." Kayak kemaren. Tambahku dalam hati. "Maaf lo malah harus denger dari orang lain soal itu," lanjutku masih dengan nada yang sama.

Lama kami saling diam tanpa saling menatap. Karena aku merasa Jayden tidak akan menjawab, jadi perlahan tubuhku kuputar berbalik dan berniat pulang.

"Then stay by my side," ucapnya dalam dan tegas.

Aku yang baru melangkah kontan berhenti dan memutar tubuh kembali menghadapnya. Berusaha mencerna apa yang baru saja ia katakan. Apakah aku salah dengar atau tidak.

"I said, stay by my side," ulangnya dengan nada yang sama.

Detik itu juga aku berlari menghambur ke pelukan Jayden. Menghirup aroma mint tubuhnya dalam-dalam. Aroma yang kurindukan. Semua yang ada pada diri Jayden yang kurindukan. How I miss him so much.

Jayden mengurai pelukan untuk menciumku, seperti mencurakan semua kasih sayingnya padaku dan akupun menerimanya dengan balas mengimbangi ciuman. Lucunya lagi aku juga merindukan sensasi manis serta aroma rokok dalam ciumannya yang selalu terasa me-mabukkan.

"Ehkem, dasar anak muda jaman sekarang, nggak tahu malu ya, ckckckck."

Mendengar suara orang lewat, kami reflek melepas ciuman dan tertawa karena baru menyadari kalau masih berada di koridor depan pintu apartement Jayden yang bahkan masih terbuka.

Jayden bergegas menarikku masuk, menendang pintu untuk menutupnya dan melanjutkan ciumannya. Aku hanya menurut, ikut melingkarkan tangan pada lehernya dan membalas ciuman dengan intensitas sama.

Jakarta, 13 Januari

21.03 p.m.

"So Kak Jayden, ceritain tentang kak Jameka," pintaku ketika duduk di pangkuannya pada sofa depan TV setelah ciuman di depan pintu tadi. Ia memeluku dari belakang dan meletakkan wajahnya pada pundakku.

"Oon, Oneng!" Tanpa merubah poisisi, Jayden menowel kepalaku menggunakan telunjukanya. Towelan yang pelan tapi dengan dorongan kuat.

"Aw, sakitlah," protesku sambil mengusap bekas tolewannya.

"Makanya, jangan keburu kabur dulu Oneng! Udah gitu pakek acara ngilang! Hp nggak aktif! Mau hubungin Brian takut dia nanya macem-macem terus tambah khawatir!" omelnya masih dengan menowel-nowel kepalaku.

"Sakit tau! Abisnya kak Jameka gitu sih, siapa yang nggak salah paham coba?! Lagian lo ngomong kayak gitu apa nggak ngaca? Pakek acara kabur lagi waktu di pesta Karina, bikin drama aja tau nggak?!" Aku protes sambil menghindari towelan telunjukanya.

"Oh iya ya, kok bisa sih gue ketularan keoonan lo?" tanyanya setengah mengejek.

"Makanya jangan suka ngatain, ketularan kan, syukurin! balasku tidak ingin kalah.

Bukannya menjawab, Jayden memalingkan wajahku menghadapnya, siap menciumku lagi. Tapi sepertinya ia harus mengurungkan niatnya sebab ponselku bergetar dalam tas yang tergeletak di meja.

"Ck, ganggu aja!" kata Jayden datar tapi aku tahu ia sedang kesal.

"Kayaknya itu kakak deh. Dia tadi yang nganter gue ke sini. Pasti khawatir gue belum ngabarin. Kasian lagi nungguin di parkiran sekarang."

Jayden mengambil ponsel yang masih bergetar dari tasku lalu mengangkat telpon dari kakak dan berkata, "pulang aja lo, adek lo nginep sini!" Dan telponnyapun di tutup.

"Ih! Jangan ngomong sembarang!" protesku seraya memukul lengannya pelan.

"Emang bener gue nggak ada niatan nganter lo pulang," katanya datar yang kuhadiahi pelototan.

"Gue bisa naik taxy kalau nggak mau nganterin!" ucapku sambil bersendekap tangan.

"Gue bahkan nggak ngijin lo keluar dari sini.

"Jang—hhhmmppp." Aku ingin protes tapi ia sudah membungkam mulutku dengan ciumannya.

"Bawel," tukasnya setelah melepaskan diri. Aku hendak protes lagi namun ia menciumku lagi. Setiap kali aku akan protes, ia selalu menciumku.

Baiklah akhirnya aku menyerah, membiarkan Jayden menciumku lama dan membalasnya dengan intensitas sama.

"Tandanya udah ilang," ucapnya saat melihat ke area leherku.

Saat ini aku memakai lace mini dress warna army milik Ky&Q yang bagian lengan dan leher bawah kerahnya transparan, jadi ia bisa melihatnya. Sedangkan aku sendiri malah tidak sadar tanda itu sudah hilang sebab beberapa hari ini tidak fokus, mengabaikan hal-hal tersebut.

Tanpa ijin, Jayden mulai menciumku lagi. Jantungku selalu berpacu cepat jika berciuman dengannya. Aku tidak bisa melawan ketika ketika tangan Jayden berpindah ke punggungku, mencari zipper dress yang kukenakan. Usai menemukan apa yang ia maksud, Jayden menurukannya sambil terus menciumiku dengan lembut. Rasanya ada jutaan sengatan listrik yang menjalar di seluruh tubuhku ketika tangan hangatnya menyentuh permukaan kulit punggungku. Berpindah secara perlahan menurukan dress hingga setengah dada lalu menandaiku dimana-mana. Seperti saat di rest room bioskiop dulu.

Aku mengerung, menggigit bibir bawahku keras-keras, berusaha agar tidak mendesah selaras meremas kaos hitamnya saat laki-laki beraroma mint itu mulai mendaratkan salah satu tangan dan meremas pelan dada datarku.

Setelah menandai leher dan dadaku secara rata, Jayden memakaikan dressku dengan benar dan menutup zipper-nya. Sejenak aku meresa tidak rela. Detik berikutnya Jayden ke kamarnya—meningglakanku yang masih berdebar tidak karuan. Sebentar kemudian kembali membawa jumper Alan Walker hitam kesukaannya dan memakaikannya padaku.

Jumper itu ukuran Jayden, bisa kau bayangkan ketika aku memakainya? Seperti tenggelam, panjang badan jumpernya saja lumayan menutup pahaku.

"Lain kali jangan pakek baju kayak gini lagi," katanya sambil menunjuk lace mini dress yang tertutup jumper. "Gue nggak suka lo diliatin cowok lain. Paham?" lanjutnya tanpa memutus pandangannya.

"Iya, Kak."

"Satu lagi, gue seneng lo manggil nama gue. Sounds good. Jadi panggil gue Jayden atau Baby."

Sedangkan aku hanya bisa mengangguk patuh sambil tersenyum bahagia. Sedetik kemudian Jayden meraih daguku dan mendekatkan wajah hendak menciumku. Sebelum ke-tukan pintu menginterupsi.

Tok tok tok