Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 20 - Chapter 19

Chapter 20 - Chapter 19

Chapter 19

There is no simple love stories

If it's simple, it's not love

If it's love, it'll get complicated

TheLoveBit

___________________________________________________________________________

Jakarta, 9 Januari

11.05 p.m

Aku menjatuhkan semua paper bag yang kutenteng sedari tadi guna mengusap air mata dengan tangan seperti anak kecil yang menangis minta di belikan balon saat tiba-tiba Amanda mendekat dan berkata, "Brian, harusnya kamu jangan marahin Melody dulu, dia kan baru masuk rumah."

Sedang apa Amanda di sini tengah malam? Lalu di mana daddy? Apa karena itu daddy tidak kemari hanya untuk sekedar meleraiku dengan kak Brian? Karena bersama wanita asal Texas ini? Karena Amanda berhasil memonopoli satu-satunya orang tuaku?

Jujur saja aku tidak suka saat Amand Cabral mencoba meyentuh lenganku walau untuk menenangkanku. Aku yakin beliau pasti sedang mencari muka di depanku dan kak Brian. Akan tetapi, aku sendiri juga tidak berusaha menepis tangan lembut ini akibat tidak mendapat kendali diriku.

Aku masih terisak ketika mendengar kak Brian membuka suara untuk Amanda. "Maaf tapi itu bukan urusan Anda. Usai berbicara dengan Amanda, ia memerintahku. Mel, masuk kamar!"

Kak Brian memanggil namaku. Itu artinya ia sedang sangat serius saat ini. Menyadari hal tersebut, yang bisa kulakukan hanya melaksanakan perintahnya. Saat melewati dapur aku bertemu mak Rami yang berwajah sedihmungkin karena melihat keadaan keluargaku sekarang namun aku menghiraukan tatapan kasian pengurus rumahku tersebut dan terus berlari menaikki tangga menuju ke kamar sambil menangis dengan perasaan campur aduk.

Dalam kamar, aku menatap pantulan diriku pada cermin. Melihat maha karya laki-laki itu yang masih belum hilang. Sekali lagi berusaha menghapus tanda-tanda tersebut dengan menggosoknya kasar. Padahal aku tahu itu tidak akan berhasil. Padahal aku tahu bukan seperti itu cara menghilangkan hickey berbekal dari apa yang pernah kubaca di beberapa situs web. Namun aku hanya terlalu kesal sekaligus tidak rela tanda itu hilang dengan cepat dan mudah. Tapi lagi-lagi otakku memaksa logikaku berpikir. Menduga-duga sesuatu yang tidak ingin kupikirkan. Aku tidak bisa mencegah diriku sendiri untuk bertanya apakah laki-laki itu juga menadai wanita yang ada di apartement-nya tadi pagi?

Aku masih menggosok semua hickey sambil menangis kala kak Brian mengetuk pintu kamarku.

Tok tok tok

"Dek, tolong bukain pintunya," pintanya dengan suara lemah. Namun aku belum cukup simpati pada kakakku, terlebih setelah ia membentakku tadi. Meskipun sudah memang-gilku dengan sebutan biasa, tapi aku masih sakit hati dan kecewa.

Tok tok tok

"Dek, maaf Dek, bukain pintunya." Sekali lagi kak Brian mengiba namun aku masih enggan menjawab.

Melihat kembali pada cermin, aku memutuskan mengganti bajuku menjadi pakaian tidur panjang. Bermaksud menutupi tanda laki-laki itu.

"Dek, gue minta maaf Dek, gue nyesel bentak lo."

Kak Brian tidak putus asa, ia berulangkali mengucapkan kalimat serupa sambil mengetuk pintu. Hingga rasanya telingaku panas dan risih. Pada akhirnya dengan malas serta masih sesenggukanwalaupun sudah tidak sekencang tadiaku membukaan pintu.

"Mau apa?!" Itu merupakan kalimat pertama yang kuucapkan tepat pintu terbuka tanpa berniat mempersilahkannya masuk. Aku menyuarakannya dengan ketus. Berharap kak Brian sangat mengerti arti dari tidak tandukku.

"Boleh ngobrol di dalem?" pintanya. Lagi-lagi mengiba. Meskipun pandanganku ka-bur akibat air mata, namun aku bisa melihat wajah menyesal kak Brian.

"Bilang aja mau apa?!" Aku masih menggunakan nada yang sama.

Kak Brian menarik panas berat yang panjang serta mengeluarkannya perlahan. Seperti menimbang apakah ia harus bicara di depan kamarku atau tetap memaksa masuk. Pada detik yang lain, mungkin perasaan bersalahnyalah yang menang sehingga laki-laki yang sedarah denganku ini akhirnya membuka suara.

"Gue minta maaf, Dek," katanya. Mungkin kakakku sudah mengucapkan kata maaf sebanyak 321 kali. Mungkin kakak menganggap aku tidak bisa mendengar kata yang ini. Se-hingga ia harus mengucapkannya terus-menerus.

"Sorry tadi kalap. Gue cuma khawatir lo kenapa-kenapa. Kalau lo pikir cuma lo do-ang yang depresi liat daddy hubungan ama Amanda, lo salah, gue juga, Dek," jelasnya yang salah megartikan tangisku. Memang itu menjadi sebagian alasan, tetapi bentakannya serta laki-laki yang sedang tidak ingin kusebut namanya jugalah yang menyebabkanku pulang malam. Malah, laki-laki beraroma mint tersebut merupakan penyebab utamanya.

Aku menyeka air mataku dan membuang napas berat kemudian membuka pintu lebar-lebar sehingga kak Brian bisa masuk kamarku. Ia mengambil duduk bersila di kasurku. Aku-pun mengikutinya. Bedanya aku meraih salah satu bantal untuk kupeluk.

"Sorry Dek. Gue paham apa yang lo rasain, tapi kasian daddy juga. Yok coba kenalan sama Amanda lebih deket lagi. Lo nggak liat tadi dia belain lo?"

Jika itu menyangkut daddy mungkin iya kakak bisa paham. Aku hanya berpikir mungkin saja Amanda sedang mencari muka dengan cara membelaku seperti tadi? Bukannya ini kesempatan untuk mendekati keluarga kami? Mengambil hati kami agar luluh?

Sekali lagi aku meyakinkan diriku sediri apabila kak Brian tidak tahu jika aku mena-ngis bukan karena hal itu saja. Melainkan juga karena sahabat premannya. Coba lihat hubu-ngan kakakku dengan kak Bella. Selama ini lancar-lancar saja, baik-baik saja. Tadi di PIM kak Bellaun tampak berbinar baagia dengan senyum yang terukir hanya karena pesan dari kakakku. Mereka seperti dua orang yang saling kasmaran terus satu sama lain. Dan untuk yang kesekian kalinya aku merasa iri. Sekarangpun aku bahkan tidak tahu sebutan apa yang cocok untuk hubunganku. Walau secara logika laki-laki itu masih pacarku karena belum ada yang megnucapkan putus. Akan tetapi, aku tidak ingin kakakku tahu. Membayangkan kak Brian menghajar laki-laki beraroma mint sebab membuatku menangis merupakan hal yang tidak ingin kujumpai. Oleh karenanya, aku hanya akan membahas dari permasalahan ke-luarga.

"Apa kakak nggak ngerti juga? Nggak ada yang bisa gantiin posisi mommy!" Aku ingin menyuarakannya dengan normal namun entah kenapa malah berupa bentakkan di sertai deraian air mata yang membanjiri pipiku kembali. Aku sadar ada perubahan sikap kakakku kala kusebut kata mommy secara jelas. Ia memejamkan mata sejenak, sekali lagi meng-hembuskan napas yang panjang sambil menunduk. Sebelum akhirnya memandangku.

"Mommy udah meninggal Dek. Emang nggak ada yang bisa gantiin posisi itu tapi co-ba pikirin juga perasaan daddy, ungkap kak Brian." Suaranya jauh lebih lemah dari kalimat terakhir yang ia ucapkan tadi. Membuat perasaanku yang semula sudah campur aduk semakin tidak karuan. Selaras dengan suara isakanku yang semakin mengeras.

Ya Tuhan sejak kapan sih hamba jadi cengeng seperti ini?

Untuk malam ini saja, aku akan menangis sepuasnya. Akan kuhabiskan semua air mataku untuk mengenang mommy, depresi memikirkan daddy yang berusaha menggantikan so-sok mommy dengan Amanda, atau untuk menangisi laki-laki berandalan itu yang bahkan tidak mempedulikanku sedikitpun.

Ya tuhan kenapa rasanya hanya aku sendiri yang terluka akibat laki-laki itu? Apabila ia menganggap hal ini cukup serius dan masih ingin mempertahankanku, bukankah minimal ia harus berusaha menjelaskan padaku atas semua yang telah terjadi? Bukan malah menghilang tidak ada kabar seperti ini?

Apabila memang niat, bukankah minimal ia bisa saja bertanya tentang keberadaanku atau bagaimana kabarku kepada kak Brian? Ia juga tahu alamat rumahku, lantas kenapa tidak kemari?

Jadi untuk malam ini saja aku akan menuntaskan tangisanku untuknya. Aku tidak a-kan menangis lagi untuknya besok. Walupun tidak yakin, tapi aku janji.

Jakarta, 10 Januari

15. 30 p.m.

Hari ini merupakan hari ulang tahun Karina. Awalnya kak Brian menawariku ikut mobilnya seraya menjemput kak Bella, namun aku menolak secara halus. Selain nanti aku pasti akan iri dengan kemesraan merekayang pasti akan aku bandingan dengan hubungan-ku sekarangaku juga sudah berjanji berangkat dengan kak Jordan.

Ketika kak Jordan menjemput, aku berusaha menjadi Berlian Melody yang terlihat normal-normal saja. Semobil dengan kak Jordan, tidak serta merta melunturkan pikiranku tentang laki-laku itu. Tentang bagaimana apabila seandainnya ia tahu aku semobil dengan la-ki-laki lain?

Lo lupa Mel? Cewek sexy kemaren yang nongol di tempaat tinggalnya? Dia nggak bakalan peduli ama lo! Tiba-tiba hatiku berkata demikian. Menamparku kembali ke dunia nyata. Aalhasil aku hanya dapat memejamkan mata sejenak untuk mengusir pikiran tersebut.

"Lo nggak apa-apa?" tanya kak Jordan. Sesekali ia melirikku melalui kaca spion tengah. "Kok diem aja dari tadi?" lanjutnya.

Aku harus bangga pada diriku sendiri karena dapat menoleh padanya serta memasang senyum natural. Alih-alih membahas bagimana perasaanku yang sangat jelas jauh dari kata baik-baik saja, aku lebih memilih topik lain.

"Btw gimana hubungan Karina sama kak Rico?" tanyaku untuk mengalihkan perha-tian kak Jordanyang dulu pernah kusukai.

Aku melihat KETOS ini mengangkat kedua alisnya. Bukannya menjawab, ia malah bertanya, "emang Karina belom cerita lo kalau mereka udah jadian?"

"Oh wow," ucapku berusaha seantusias mungkin. "Well yeah, Karina itu emang sengaja bikin gue penasaran."

"Gitu ternyata," gumam kak Jordan di selingi senyum yang dulu kuanggap hangatnya mengalahkan mentari pagi. Itu sebelum aku bertemu senyum menawan milik berandalan itu.

Tanpa sadar aku mencebik karena kesal terhadap diriku sendiri yang terus saja memi-kirkan laki-laki preman tersebut. Beruntungnya kak Jordan menganggap cebikanku sebagai bentuk kekesalanku terhadap Karina.

"Jangan marah ama yang lagi ulang tahun hari ini."

"Enggak kok Kak," ucapku jujur. Berusaha mengubah ekspresiku menjadi ceria.

"Gue kasih spoiler deh. Mereka emang lagi pdkt, terus jadiannya waktu taun baru kemaren. Rico nembak Karina di depan kita semua pakek bunga."

Tahun baru kemarin laki-laki itu mencuri ciuman pertamaku di Paris.

Hah! Kenapa aku memikirkannya lagi?!

"Wah sayangnya gue nggak ikutan. Padahal gue pengen liat muka cengonya Karina waktu di tembak," balasku.

Tidak lama kemudian kami sudah tiba di rumah Karina yang sudah berhiaskan balon-balon yang di bentuk bunga apik.

"Happy birthday my bessttt," ucapku sambil memeluk Karina sambil memberi kado. Sedangkan kak Jordan sendiri, usai mengucapkan selamat ulang tahun pada sahabatku, kini sudah bergabung dengan kak Rico dan kak Henry di kursi tanpa lengan yang terletak sedikit jauh dari kami.

"Aaaakkkk thank youuu, my best… Eh lo bareng kak Jordan ciee," goda Karina yang menurutku tidak perlu. Aku sudah tidak punya perasaan apapun terhadap Jordan. Laki-laki berandalan itu telah mengambil semua perasaanku nyaris tanpa sisa.

"Eh lo ya pake nggak cerita ke gue kalau udah jadian! Terus yang waktu sebelum li-buran itu berarti lo udah dapet lampu ijo dong?"

"Aduh Mel, jangan keras-keras ngomongnya, gue malu!" jawab Karina sambil menggeretku ke salah satu area yang tidak begitu di penuhi tamu-tamu undangan meski suara musik masih agak terdengar mendominasi. "Nah sekarang di sini baru bisa ngomong agak los dikit. Eh btw yang waktu malem-malem abis pesta topeng lo nelpon gue itu?"

"Iya, Kar, lo kan lagi pdkt tuh!"

Bukannya menjawab, Karina malah bertanya. "Terus lo sendiri gimana jadinya?"

"Apa?" tanyaku bingung.

Karina berdecak. "Lo udah bilang kalau salah nembak siapa namanya? Jayden?"

Ah iya Belum sempat aku melanjutkan omongan, tiba-tiba...

"Jadi gitu..."

Suara itu...

Aku dan Karina praktis menoleh ke sumber suara tersebut dan mendapati Jayden telah berdiri beberapa lagkah tepat di belakangku. Rasanya jantungku berhenti berdetak sesaat sebelum kembali memukul lebih kencang. Tubuhku kembali terasa dingin begitu melihat wajah datar Jayden. Namun aku bisa merasakan kepedihan yang begitu mendalam pada tatapan matanya.

Aku mendektinya dan berkata, "K-Kak. Ini—"

"Sorry, selama ini ternyata gue cuma ge er," ungkapnya disertai senyum getir kemu-dian berjalan pergi. Aku berusaha mengejarnya.

"Kak, ini nggak kayak yang lo kira, kak Jayden tunggu!"

Aku di abaikan. Pada akhirnya berakhir memanggil namanya tanpa embel-embel kak agar ia paham apabila aku sedang serius serta setengah putus asa mengejarnya.

"Jaydeeennn!" teriakku sambil mengejarnya, berusaha menyamai langkah lebar laki-laki tersebut dan berhasil membuat Jayden berhenti serta berbalik menatapku.

"Jay—"

Jayden menutup mulutku dengan jari telunjuknya sambil menggeleng pelan dan de-ngan tenang berkata, "kali ini tembak cowok yang bener, jangan salah orang lagi. Dan Mel, I hope you be happy." Suaranya lirih. Nyaris berbisik kala mengucapkan kalimat terakhir. Pada detik yang lain ia melepas jari telunjuknya pada bibirku sambil tersenyum lalu pergi.

Demi neptunus! Kenapa ia malah tersenyum? Kenapa hatiku semakin sakit berkali-kali lipat?

Saat aku tersadar dengan apa yang baru saja terjadi, aku kembali mengejarnya. Namun suara panggilan kak Jordan berhasil menghentikan langkahku. Tapi tidak dengan Jayden, ia hanya terus berjalan tanpa menoleh.

"Melody? Lo deketin Jayden juga? Gue kira lo deketin gue selama ini, ternyata lo deketin semua cowok ya? Termasuk cowok berandalan kayak Jayden. Nggak yangka banget. Lo murahan tau nggak?!" bentak kak Jordan lalu...

Bugh bugh bugh

"Kkkkyaaaaa" teriakku kala melihat Jayden menghajar kak Jordan habis-habisan. Seketika itu juga pertahananku runtuh. Aku melanggar janjiku sendiri untuk tidak menangis. Dan ya, aku menangis sekarang.

"Jayden udah, berhenti Jayden!" teriakku sambil menangis. Bukan karena aku membela kak Jordan mana mungkin aku membela orang yang sudah menghinaku. Melainkan tidak ingin membuat kegaduhan di pesta Karina yang keberadaanya sudah tidak kupedulikan.

"Jaydeenn berhentii! teriakku lagi." Ketika ia tidak mendengarku sama sekali, aku memutuskan memeluknya dari belakang.

Sungguh. Aku juga tidak ingin orang-orang berpikiran negative tentangnya walau-pun penampilan preman Jayden sudah membuat orang-orang berpikir demikian, terutama sahabatku, Karina.

"Jjjaayddeenn!" teriakku berulang kali sambil menangis. Sesaat kemudian ia baru berhenti ketika kak Jordan sudah tersungkur di lantai dan aku segera melepas pelukan untuk berdiri di antara mereka menghadap Jayden.

Dari balik punggungku, kak Jordan yang sudah babak belur berucap, "kenapa lo berhenti?! Kakak tiri gue tersayang?! Setelah sekian lama nahan diri akhirnya lo hajar gue juga kan?!"

Kakak tiri?

Apa yang baru saja kak Jordan ucapakan? Kakak tiri? Kak Jordan saudara tiri Jayden? Anak Gamelita yang katanya ambisius itu?

Kenapa hatiku jadi semakin sakit memikirkan perasaan Jayden? Lebih sakit lagi saat Jayden melihatku dan kak Jordan bergantian, tidak mengatakan apapun lantas pergi.

"Jaaaydeeenn!" teriakku. Lagi-lagi sambil mengejarnya. Tetapi laki-laki itu semakin mempercepat langkah sehingga aku tertinggal jauh.

Menghiraukan tatapan orang-orang di pesta Karina, aku tetap berusaha keras mengejar Jayden.

Jaydeennn, tunggu! teriakku keras namun ia menghiraukanku. Sedetik kemudian sudah masuk mobil Hummernya dan bersiap pergi.

Aku membuang stilleto sepuluh senti yang kupakai agar dapat berlari lebih cepat, namun terlambat. Jayden sudah pergi. Aku baru berhenti berlari saat mobilnya sudah jauh, lalu terduduk di aspal tengah jalan sambil menangis keras. Menangisi kepergian Jayden.