Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 21 - Chapter 20

Chapter 21 - Chapter 20

Chapter 20

I give you my heart

I just don't expect to get it back in pieces

••Anonim••

___________________________________________________________________________

Jakarta, 10 Januari

08.55 p.m.

Umurku baru enam belas tahun, badanku bahkan kecil, tapi kenapa masalah datang bertubi-tubi? Pertama wanita sexy yang memeluk Jayden di basecamp. Kedua, daddy yang sedang berusaha menggantikan sosok mommy dengan Amanda. Ketiga, wanita sexy—yang sama—muncul di aprtement Jayden pagi sekali dan hanya mengenakan handuk. Karena itu aku pulang malam dan akibatnya di bentak kak Brian. Dan yang terakhir sekarang ini. Jayden benar-benar pergi karena tahu aku salah menyatakan perasaan.

Rasanya otakku panas, menguap dan tegang. Hatiku sudah tidak karu-karuan lagi. Aku sampai lelah menangis, lelah sakit hati dan mencapai titik di mana tidak dapat menangis. Hatiku masih sakit—bahkan sangat—tapi seolah mati rasa.

"Sorry Kar, gue ngerusak pesta lo," tukasku sendu saat sudah tenang. Duduk di ru-ang pesta yang sudah sepi. Hanya ada aku, Karina, kak Rico dan kak Bella—yang tadi baru datang ketika aku mengejar Jayden. Sedangkan setelah babak belur di hajar Jayden, kak Jor-dan di antar kak Henry pulang.

"Gue bisa ngadain sepuluh pesta lagi," jawab Karina menggebu-gebu. Kak Rico berusaha menengakannya dengan mengusap-ngusap lengan sahabatku. "Harusnya gue yang minta maaf ke lo, Mel. Gara-gara gue, lo jadi kayak gini." Kali ini suara Karina pelan.

"Ya ampun," kata Karina lagi. Matanya berkaca-kaca sambil memegang dahi. "Nangis kejer, mata bengkak, idung merah, kaki lecet semua kena krikil, rambut kusut. Beneran gue nggak tega liat lo kayak gini Mel." Karina memelukku sambil terisak.

"Kar, kenapa malah lo yang nangis?" tanyaku.

"Pasti! Lo pasti sayang banget sama kak Jayden."

Masih kurang jelaskah? Tapi apa sekarang itu penting? Aku sudah kehilangan Jayden.

Jadi aku hanya diam. Selain berpikir sudah terlambat mengakui perasaanku pada Jayden, juga merasa Karina masih ingin bicara.

"Ya ampun mulut gue ini emang nggak ada kampas remnya. Harusnya tadi gue nggak perlu bahas masalah salah nembak di pesta."

"Bukan salah kamu Beb, lagian, mana kita tau dia ke sini, kan nggak di undang," sahut kak Rico berusaha membela pacarnya agar tidak menyalahkan diri sendiri.

"Mel, sebenernya Jayden nanya lokasimu ke Brian," timpal kak Bella. Secara tidak langsung menjelaskan alasan Jayden bisa berada di sini.

"Maaf Mel," lanjut kak Bella sambil memelukku, wajahnya juga sedih.

Awalnya kak Bela tidak paham apa yang sedang terjadi karena mengira selama ini yang berusaha aku dekati adalah Jayden. Sewaktu di Paris beberapa hari yang lalu juga aku tidak menceritakan padanya apabila aku salah nenyatakan perasaan pada Jayden. Karena dulu aku sudah jatuh cinta pada Jayden serta berniat untuk tidak mengungkap hal tersebut. Maka dari itu aku tidak menceritakannya pada kak Bella. Aku menganggap masalah itu sudah tidak penting dan hubunganku dengan Jayden akan baik-baik saja.

Namun ternyata, ada beberapa hal yang tidak dapat kita prediksi. Untuk itu aku hanya bisa minta maaf karena tidak menceritakan secara detail tentang hal ini pada kak Bella. Memang dasar kak Bella yang baik hati dan tidak pernah memandang permasalahan dari satu sisi saja, ia mengerti keadaanku.

"Brian lagi otw ke sini," tambahnya.

Aku tidak ingin memikirkan reaksi kakakku ketika melihat keadaan kacauku sekarang karena membuat keributan di pesta ulang tahun Karina. Aku hanya akan menjalaninya apabila seandainya kakak akan membentak atau bahkan memarahiku seperti tadi malam karena memalukan. Aku tidak akan berusaha membantah atau menangis. Aku hanya akan diam mendengarkan segala macam omelannya.

Akan tetapi ketika kakakku datang, ia malah memelukku sangat erat, wajahnya sedih melebihi semalam saat minta maaf padaku. Kak Brian juga tidak berusaha menanyaiku ten-tang apa yang sedang terjadi. Mungkin, saat mengantar kak Bella pulang, kak Bella sudah menceritakannya ketika di depan rumah, sebab aku menunggu di mobil sedikit lama.

Jakarta, 10 Januari

20.30 p.m

"Istirahat ya Dek," tukas kak Brian sambil tersenyum setibanya di rumah.

Aku mengangguk sambil berkata, "jangan ceritain ke daddy ya Kak, gue cuma nggak mau daddy khawatir. Dan jangan hajar Jayden." Menyebut namanyapun tenggoroknku rasanya tercekat. Seperti menelan bongkahan pahit.

"Asal lo janji nggak nangis dan nggak galau," jawab Kak Brian lagi-lagi sambil tersenyum seraya mengangguk kemudian kembali ke kamarnya.

Aku baru akan naik ke kamarku, namun langkahku terhenti di depan dapur karena mendapati daddy bersama Amanda. Sejenak, aku mengamati Amanda yang sedang memasak sedangkan daddy berusaha menjahilinya. Wajah daddy sangat bahagia.

Aku semakin tersenyum hambar karena malu pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku hanya memikirkan diriku sendiri saat wajah mereka berdua sama-sama bahagia seperti ini?

Mel, just accept her. Maybe she doesn't like Gamelita. Batinku.

Jakarta, 13 Januari

19.03 p.m

Sudah beberapa hari berlalu semenjak insident ulang tahun Karina. Aku menepati janji kak Brian untuk tidak menangis lagi sejak saat itu. Meskpun hatiku masih sangat sakit dan galau, aku hanya berusaha untuk tidak memperlihatkannya seperti yang selalu laki-laki itu lakukan. Hanya berusaha menjalani hidup dengan hati yang kosong. Bagai robot, melakukan hal yang sepatutnya kulakukan layaknya orang normal lainnya. Ajaibnya aku tidak lagi menggigiti kukuku.

Sudah beberapa hari berlalu juga semenjak daddy selalu mengajak Amanda ke rumah. Beliau selalu berusaha mendekatkan kami. Beliau bahkan melamarnya terang-terangan di depan kami saat makan malam di La Vue at the Hermitage malam ini. Sesuai kesepakatanaku dengan kak Brian yang akan mencoba mengenal Amanda lebih dekat, kami hanya diam saat akan mendengar jawaban beliau.

"Aku tidak bisa memutuskan jawabannya kalau Brian dan Melody tidak ikut mela-marku sebagai ibu mereka," jawab Amanda sambil melihatku dan kakak secara bergantian.

Aku dan kakak reflek saling berpandangan. Kak Brian menggenggam tanganku. Mungkin khawatir aku akan menolaknya mentah-mentah dan mengacaukan lamaran roman-tis daddy.

Sebelum menjawab, aku melihat wajah daddy yang seolah meletakkan harapan besar padaku agar menerima Amanda sebagai ibu. Selewat beberapa detik, aku memasang senyum sambil menjawab, "tentu saya akan senang kalau Anda mendampingi daddy."

Jawaban itulah yang membuat suasana makan malam kami menjadi hangat.

Apa lagi yang bisa kulakukan selain menerima Amanda agar daddy tidak kesepian sewaktu tidur? Mengingat seberapa sering aku tidak sengaja melihat daddy memandangi po-tret mommy di ruang keluarga dalam diam. Tatapan mata sipit beliau mengisyaratkan kerinduan yang sangat. Tak bisa menjangkau kecuali dengan doa.

Akan tetapi semenjak sosok Amanda muncul, aku sudah tidak pernah melihat beliau begitu lagi. Jadi saat ini hanya itulah yang dapat kulakukan.

Beberapa menit kemudian semua menu yang kami pesan telah habis. Kami mulai sa-ling melontarkan candaan. Sedangkan aku lebih banyak diam. Sesekali menanggapi seperlunya.

Rasanya akhir-akhir ini aku jadi pendiam dan lebih banyak melamun memikirkan bagaimana perasaan Jayden. Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia makan dan hidup dengan baik setelah hari itu? Aku bahkan tidak sadar jika hanya berdua dengan Amanda di meja makan. Daddy dan kakak entah pergi ke mana.

"Melody," sapa beliau. Secara praktis membuyarkan lamunanku.

"Ya?"

"Aku paham perasaanmu. Kamu pasti takut daddy nggak perhatian lagi sama kamu. Kalau kamu pikir aku akan merebut perhatian daddy padamu, kamu salah sangka Mel. Aku hanya ingin membangun keluarga baru sama kalian. Aku nggak akan berusaha menggantikan posisi mommy. Itu pasti nggak akan bisa. Aku juga nggak akan memaksamu manggil aku de-ngan sebutan ibu. Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin. Karena aku juga ingin merasakan mempunyai anak," jelas Amanda panjang lebar dengan bahasa agak baku karena baru belajar bahasa Indonesia beberapa bulan lalu namun sudah sangat lancar.

Kalimat-kalimat Amanda sungguh membuatku sangat terkejut karena seolah berhasil membaca pikiranku.

"Ingin punya anak? Maksudnya?" tanyaku tidak paham.

"Aku tidak bisa punya anak, karena itu suamiku dulu menceraikanku. Tapi daddy kalian mau nerima aku apa adanya," jawabnya yang malah membuat hatiku tidak enak. Ada pera-saan menyesal telah bertanya.

"M-maaf saya harusnya nggak nanya," ucapku tulus.

Nggak apa-apa," jawab Amanda di selingi senyum. Jadi bisa kita mulai berteman?

Aku tersenyum lemah serta mengangguk kaku kala telah menyadari kekonyolanku. Mungkin aku hanya paranoid. Mungkin kakak Benar, Amanda orang yang baik.

Tidak lama kemudian kakak dan daddy kembali ke kursi kami dan mengajakku pu-lang dahulu untuk memberi ruang pada daddy dan Amanda.

Jakarta, 13 Januari

20.45 p.m.

"Dek,?" panggil kak Brian. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang naik mobilnya.

"Hm?" gumamku.

"Gue nggak yangka lo bakal nerima Amanda. Kirain lo bakalan teriak-teriak sambil mencak-mencak sampek naik meja kek orang kesurupan gitu hahaha."

Aku tidak merespon lawakan kakakku. Saat ia merasa aku diam saja, kak Brian meng-hembuskan napas beratnya.

"Mel, kalau lo emang cinta Jayden, ngomong gih ke Jayden."

Kepalaku kontan menoleh ke kakakku. Kenapa Kakak malah bahas itu?

"Gue beneran nggak tega liat lo kayak robot. Cuman satu aja yang bisa di ambil segi positive dari hasil kegalauan lo. Sekarang lo nggak ngunyah kuku lagi."

Aku mengibaskan tangan. "Lo ngomong apaan sih Kak? Mending fokus nyetir deh," responku mulai kesal.

Demi neptunus! Bisakah kakak tidak membahas laki-aki itu?

"Sebulan lagi Jayden pindah kuliah di Cambridge University lho, dia ketrima beasiswa di sana. Mending lo ngomong sebelum telat."

Aku tercekat mendengarnya. Satu napas berat yang panjang lolos dari paru-paruku. Tanpa semangat mengatakan, "dia udah punya cewek Kak."

Ha? Nggak mungkinlah Dek. Dia itu emang sering banget di kejar cewek-cewek pecinta bad boy tapi nggak pernah ada yang di respon. Dari dulu, dari jaman gue masih jadi mahasiswa baru ama dia. Dari jaman dia belom kenal lo."

Aku berdecak. Sekali lagi menghembuskan napas berat dan menghembuskannya perlahan. Pada akhirnya mulai menceritakan seluruh kejadian tersebut pada kakakku. Tapi respon apa yang kudapat darinya?

"Nggak mungkinlah, lo salah kali. Nggak mungkin Jayden kek gitu, gue kenal dia."

"Jadi lo lebih percaya sahabat lo dari pada adek kandung lo sendiri?" tanyaku tidak terima karena tersinggung.

Aku yakin tidak salah lihat, bahkan aku melihat wanita sexy itu dua kali.

"Ya nggak gitu maksudnya."

Aku hanya melirik kak Brian yang mengambil ponsel dan menelpon seseorang. Mungkin kak Bella. Tapi kenapa nadanya tidak lembut seperti biasa yang di gunakan kakak untuk bicara dengan pacarnya? Ah, tapi itu bukan urusanku.

"Halo, di mane lo?" Sebentar kakakku menunggu jawaban di seberang. "Oke," katanya seraya menutup telepon lalu beralih melirikku sebentar.

Beberapa menit kemudian kami saling diam. Aku pikir kakak sudah tidak akan mem-bahas laki-laki itu lagi. Tapi yang ada, mataku terbelalak ketika mobil kakak malah terparkir di basement apartment Jayden.

"Ngapain ke sini Kak?" Aku protes.

"Ayo ikut aja, kelarin masalah lo sama Jayden."

"Apaan sih Kak? Gue nggak mau. Lagian kami udah kelar kok," protesku sekali lagi saat kakak menarik tanganku untuk turun. Aku berusaha menyentaknya.

"Ck, Mel dengerin kakak sekali ini aja, silahkan lo ngomong ke Jayden yang sebenernya terjadi. Kelarin apa yang di rasa kurang clear. Gimana hasilnya entar, itu urusan be-lakang, yang penting lo ngomong jujur dulu."

"Tapi kami udah kelar kok. Nggak ada yang perlu di jelasin lagi."

"Jangan bikin gue nyesel seumur hidup karena nggak ngelakuin hal ini, Mel," kata kak Brian tegas.

Setelah meyakinkanku cukup lama, akhirnya aku menuruti kakak untuk melangkahkan kaki menuju depan apartement laki-laki itu.

"Kelarin urusan lo, Kakak tunggu di mobil. Kalau ada apa-apa telpon aja. Dan Mel, good luck!"

Aku hanya diam seperti idiot. Tidak tahu harus melakukan atau berbicara apa ketika kak Brian memencet bel apartement laki-laki itu dan meninggalkanku sendirian.

Mulai dari minta maaf Mel, mulai dari minta maaf, rapalku untuk menyemangati diri sendiri. Tapi ketika pintu apartement-nya terbuka dan wanita sexy itu lagi yang muncul. Semangatku kontan luntur.