Chereads / Bad Boy in the Mask / Chapter 17 - Chapter 16

Chapter 17 - Chapter 16

Selamat datang di chapter 16

Buat dirimu senyaman mungkin saat membacanya

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (maklum jarinya jempol semua)

Happy reading everyone

Mohon di baca pelan - pelan yq, biar pebih paham

Hope you kike it

❤❤❤

_____________________________________________

Tell me all of you correctly, then let me choose, I will leave or stay with you

•Olivia•

_____________________________________________

Jakarta, 8 Januari

15.07 p.m.

Rasanya hari ini sangat panjang. Banyak kejadian dan moment penting yang kami lalui. Termasuk setelah adu mulut dan sedikit baku hantam dengan kak Brian, akhirnya Jayden berhasil mengajakku pergi ke gedung tua pinggiran kota alias basecamp—tempat orang - orang balapan yang kemarin baru saja kukunjungi. Katanya, ia memang sering kesana. Karena Jayden menganggap gedung itu sebagai rumah kedua baginya. Maka Jayden seperti ingin menunjukkan dunianya padaku. Dan aku? Tentu saja merasa sangat senang, karena pada akhirnya laki - laki yang kusukai itu sedikit demi sedikit mulai terbuka padaku. Terlebih untuk soal yang satu ini. Hal yang menurutku sangat pribadi bagi Jayden.

"Tau Rosaline Putri kerajaan Alperazo?" tanya Jayden ketika dalam perjalanan menuju basecamp. Suara beratnya terdengar di antara lagu - lagu metal—entah apa judulnya.

Memikirkan sejenak perkataan Jayden, rasanya aku pernah mendengar kisah kerajaan Alperazo walau sepintas. Untuk itu aku menjawabnya dengan jujur. "Iya tau. Emang kenapa ama putri Rosaline?"

Seakan tidak cukup puas dengan jawaban yang kuberikan, Jayden  memberi pertanyaan lebih detail untuk memastikan pengetahuanku tentang kerajaan tersebut. "Tau sejarahnya?"

Aku mengubah posisi menghadap Jayden dengan kernyitan alis yang membingkai wajah. Sangat jelas terlihat tidak begitu memahami sejarah kerajaan Alperazo. Dan gantian diriku yang bertanya lebih detail. "Sejarah yang mana?" Mungkin saja itu termasuk pengetahuan sepintasku.

Fokus melihat jalan, sesekali Jayden melirikku untuk menjawab, "sama Pangeran Raizel."

"Nggak tau," jawabku jujur. Tapi respon yang Jayden berikan malah sebuah decakan. Tidak hanya itu, ia juga menowel kepalaku menggunakan tulunjuk tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih fokus menyetir.

"Ck, oon, oneng!" ejeknya.

"Aw, apa sih! Ya emang nggak tau." protesku jujur sambil mengusap kepala bekas towelannya.

"Jangan oon oon! Ya kali pacar gue oon!" hardiknya, yang langsung kuhadiahi cemberut dan kembali memposisikan diri duduk dengan benar menghadap depan dan fokus ke jalan.

"Ya udah, kasih tau kenapa?! Nggak usah nowel - nowel kek gini!" gerutuku.

"Dulu sebelum Pangeran Raizel nikah sama Putri Roseline, beliau pacaran sama salah satu anak bangsawan. Namanya Nathea," kata Jayden mulai menjelaskan.

Kembali menghadap Jayden—masih dengan wajah cemberut—aku menyimak apa yang sedang ia jelaskan sambil mengamati wajahnya.

"Entah udah putus apa belum sama Pangeran Raizel, Nethea nikah duluan sama Duke Elejart karena dijodohin ayahanya. Beberapa taun berikutnya gantian Pangeran Raizel dan Putri Rosaline yang nikah. Tapi Nethea masih jalin hubungan baik sama pasangan kerajaan itu. Setelah dua pangeran lahir, karena suatu hal mereka malah cerai. Nggak selang lama, Putri Rosaline kecelakaan dan akhirnya wafat."

"Gue taunya yang itu, putri Rosaline kecelakaan terus wafat," tanggapku.

Jayden mengangguk paham kemudian melanjutkan ceritanya. "Sebenernya nggak banyak yang tau alasan pasangan kerajaan cerai waktu itu. Tapi karena mungkin nggak sampe setaun setelah Putri Rosaline wafat, Pangeran Raizel malah nikah sama Nethea yang ternyata udah cerai juga sama Duke Elejart, tanggapan publik jadi buruk. Nethea di cap jadi pelakor. Acara nikahan mereka juga nggak di adain secara formal, beda ama acara nikahan Pangeran Raizel ama Putri Rosaline dulu yang di siarin semua stasiun TV di dunia," lanjutnya.

Jika Tuhan sudah menjodohkan mereka, bagaimana pun keadaannya pasti akan tetap bersatu bukan? Itu menurut pendapatku. Tapi kenapa semua orang seolah menganggap Nathea adalah wanita pencuri suami orang?

"Terus?" tanyaku.

"Tamu tadi, my father's Nethea."

Bagai di sambar petir, aku saat ini tidak bisa berkata - kata. Speechless. Rasanya seperti menghakimi salah satu pihak. Aku hanya mampu memandang wajah datarnya yang sedang fokus menyetir. Padahal dalam hatiku rasanya ada ribuan jarum yang menancap erat ketika mendengar pengakuan Jayden. Yang tidak lain seperti pangeran—putra dari pasangan kerajaan Alperazo.

"Namanya Gamelita," lanjutnya.

Ya. Aku tahu namanya Gamelita karena tadi Jayden menyebut dengan jelas saat mengusir beliau dari apartement. Tapi maksudku, aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini.

Wajah cemberutku yang semula masih kupasang, kini mendadak luntur di gantikan rasa iba serta beribu pertanyaan yang terlintas di otakku.

Apa yang di rasakan Jayden saat ini? Aku mencoba memposisikan diriku seperti kedua putra Pangeran Raizel dan mediang Putri Rosaline. Mungkin mereka merasa ibunya dikhianati seperti Jayden. Tapi aku juga berpikir, mungkin pemikiranku salah. Mungkin Gamelita bukan tokoh jahat dalam kisah Jayden. Mengingat cara penuturan wanita itu yang begitu lembut dengan bahasa yang tertata. Ya. Sepertinya memang begitu. Aku tidak ingin langsung menyimpulkan sesuatu yang tidak kuketahui secara detailnya. Apa lagi itu bukan orang yang kukenal.

Untuk beberapa saat kemudian, kami saling diam. Larut dalam pikiran masing - masing. Selain itu aku juga menunggu apa yang selanjutnya akan di katakan Jayden. Mungkin butuh proses untuk menjelaskan keadaan selanjutnya. Aku hanya ingin memberinya ruang. Tidak ingin tergesa - gesa memberondonginya dengan pertanyaan keingintauanku yang tinggi. Tapi untuk memecah keheningan, aku harus mengatakan sesuatu, seperti, "are you oke?"

Saat kuperhatikan wajah datarnya, Jayden tersenyum sumbang dan dengan santainya menjawab, "ya, cerita lama."

Aku jadi heran, kenapa Jayden bisa sesantai ini? Sedangkan aku malah sedih mendengarnya?

Sekitar lima menit kemudian, kami sama - sama dalam mode silent. Tidak ada yang saling bicara kecuali suara lagu - lagu metal yang memenuhi mobil. Hingga tidak terasa kami telah tiba di pinggiran kota.

Jayden memarkir mobil hummernya dengan rapi, namun tidak ada tanda - tanda akan mematikan mesin atau turun. Laki - laki itu malah menatap kosong ke arah depan, memandang matahari yang lambat laun menjadi orange diiringi alunan lagu - lagu metal kesukaannya. Sama sekali tidak cocok dengan suasana hati kami.

"Lo tau? Dulu gue nggak berandalan kayak gini, bahkan anak baik - baik," tukas Jayden yang kini memulai lagi menceritakan dirinya sendiri.

Sedangkan pandanganku yang semula terarah pada kilauan cahaya orange, sudah berpindah ke Jayden yang masih menatap ke depan dengan tatapan menerawang.

"Dari dulu gue berusaha keras mati - matian jadi jenius, biar dapet hati bokap gue, but its nothing," lanjutnya.

"Semua orang ngeremehin gue. Mereka bilang wajar kalo gue dapet nilai bagus di kelas karena anak CEO Heratl Company yang punya kekuasan dan nggak ada yang berani ngelawan. Dan di tuduh nyosok sekolah karena donatur terbesar itu bokap gue." Jayden menghantikan kalimat untuk mengambil napas dalam - dalam serta mengeluarkannya secara perlahan sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya kembali.

"Padahal mereka nggak tau usaha gue buat dapetin nilai sempurna kayak gitu. Termasuk bokap gue sendiri. Selalu ragu dan nanya gue nyontek apa enggak. Bahkan maksa ngasih tau guru yang ngasih nilai seratus."

Kok gitu sih? Batinku.

"Itu nggak seberapa, puncaknya, persis kayak sejarah kerajaan Alperazo. Tiga bulan setelah nyokap gue meninggal, bokap gue kawin sama Gamelita yang udah punya satu anak cowok dan sifatnya ambisius. Awalnya gue nggak masalah. Cuman mikir positive-nya aja. Mungkin bokap kesepian waktu tidur. Tapi rasanya kedatangan Gamelita malah bikin bokap yang semula udah jauh sama gue malah semakin jauh. Sampe suatu hari gue di usir dari rumah," ucapnya sambil tersenyum getir.

Kali ini mampu membuatku tidak tahan untuk menggigiti kuku dan bertanya, "jadi itu alasan lo tinggal sendirian di apartement?"

"Iya."

"Bukan karena deket ama kampus?" lanjutku.

Jayden menatapku sekilas sebelum memandang cahaya orange yang terbentuk oleh matahari terbenam lagi. "Itu juga termasuk, tapi alasan utamanya karena di usir bokap. Lagi - lagi mirip banget kayak sejarah kerajaan Alperazo. Gue nemu fakta kalau selama ini, selama bokap gue nikah ama nyokap gue, tua bangka itu masih hubungan sama Gamelita. Gue nyoba nanya dan mastiin, tapi bukannya di jawab, bokap malah marah dan langsung ngusir gue."

Astaga...

Tanpa sadar kugigiti kukuku kian giat.

"Ya udah gue anggap itu bener dan lebih baik pergi dari rumah sekalian. Selain jijik sama mereka juga ngerasa dikhianati. Terserah mereka mau ngapain, gue nggak peduli. Gue juga nggak sudi pake nama belakangnya lagi. Gue nggak mau ngungkap identitas gue ke orang - orang karena nggak mau di anggap remeh. Sejak saat itu gue mulai jalani hidup lontang luntung kayak gembel dan jadi perokok berat, sampe ketemu Tito, terus nyabotase balapan liar kayak kemaren. Duit dapet dari balapan gue beliin apartement, mobil ini, moge, bahkan kuliah pun itu hasil beasiswa. Tanpa campur tangan bokap dan tanpa embel - embel anak CEO Heratl Company. Dan gue mutusin ganti nama belakang gue jadi Wilder."

Jayden anak CEO Heralt Company? Itu kan salah satu perusahan ternama di dunia. Tapi gimana bisa dia malah hidup kayak gini?

Aku tidak kuat, aku sudah menggigit bibir bawahku erat - erat setelah menurunkan kuku - kukuku dari mulut, tapi air mata sialan ini dengan kurang ajarannya mengalir sendiri. Aku segera mengelapnya kasar sambil terus memperhatikan raut wajahnya yang tampak datar - datar saja. Padahal aku penasaran sekali tentang nama belakang Jayden yang sebenarnya, tapi juga tidak smapai hati untuk menanyakan hal tersebut. Akhirnya hanya bisa mengutuk dalam hati.

Tolong ingatkan aku untuk searching nama CEO Heratl Company, dan pergi menemuinya. Biar kulempar kepalanya dengan panci mak Rami. Aku hanya tidak rela Jayden di perlakukan seperti ini.

"Lo tau, kenapa waktu jalan kemarin dapet WA dari Tito motornya langsung gue bawa kesini?" Jayden melihatku menggeleng. "Karena kalau nggak balapan, gue nggak bisa dapet duit. Nggak bisa makan dan nggak bisa jajanin lo."

Padahal gue nggak masalah di jajanin atau enggak.

Tapi betapa ia sudah berusaha jadi aku menghargainya.

"Tapi gimana kalo sampe sabotase lo ketauan? Gue takut lo di keroyok," kataku dengan suara bindeng.

"Nggak usah khawatir, nggak ada yang berani sama gue," jawabnya enteng tanpa rasa takut sedikit pun.

"Gimana kalo ketahuan polisi gara - gara balapan liar ini?"

"Tenang aja, nggak bakalan."

Baiklah, tampaknya aku tidak perlu mengkhawatirkan yang satu ini. Bagaimana pun Jayden tidak jadi si pengendara motor yang balapan saja aku sudah bersyukur.

Sekaan masih belum menumpahkan segalanya, Jayden melanjutkan ceritanya. "Entah dari mana Gamelita tau keberadaan gue. Ngasih tau bokap rada kurang sehat dan minta dateng ke pesta topeng akhir taun kemaren buat ngewakilin pidato dan nyapa tamu. Karena gue ngerasa khawatir ama bokap dan mungkin aja ada kesempatan buat baikan, gue putusin buat dateng. Tapi yang ada malah si tua bangka nunjuk anaknya Gamelita yang ambisius itu. Sedangkan gue? di tinggal gitu aja. Jadi, gue mikir kalau Gamelita emang sengaja."

Aku tidak akan menggurui untuk mencegah Jayden memangggil papanya dengan sebutan tua bangka atau sebutan yang lain. Karena mungkin saja dengan begitu rasa sesak di dadanya akan berkurang.

Tapi bukankah wanita itu—maksudku Gamelita sepertinya orang baik? Tutur bahasanya seperti penyayang. Nathea juga demikian bukan?

"Dan gue bersyukur ketemu lo yang nembak gue waktu itu, semacam energy bagi gue buat lebih semangat jalani hidup," kata Jayden lagi.

Untuk yang satu ini. Aku tidak bisa menahan air mata lebih lama lagi. Membiarkan butiran bening itu jatuh membasahi pipiku. Mengalir deras. Seolah dengan demikian fakta jika aku salah menyatakan perasaan bisa tergantikan dengan aku memang benar menyatakan perasaan pada Jayden. Aku juga tidak kuasa lagi untuk berdiam diri. Jadi kuputuskan untuk memeluknya erat - erat. Menenggelamkan kepala pada dada bidang laki - laki itu yang sedang berdebar keras.

How can you handle this alone, Jayden?

"Hei, kenapa lo yang nangis? Kan harusnya gue," katanya heran, masih dengan suara datar seakan tanpa beban.

Biarkan saja jika ia tidak bisa menangis karena hal ini, aku yang akan mewakilinya.

"Diem oon!" hardikku.

Ya Tuhan, kenapa hari ini jadi cengeng seperti ini? Padahal biasanya aku tidak.

Untuk beberapa saat, kenyamanan pelukan serta usapan tangan besar dan hangat milik laki - laki itu membungkusku. Sehingga lambat laun aku mulai tenang dan berhenti menangis.

"Kak, gue seneng lo cerita semua beban lo ke gue. Ya meski gue nggak bisa bantu apa - apa," ucapku masih dalam pelukannya.

"Just stay. it's enough."

Entah kenapa mendengar jawaban Jayden membuat rongga dadaku menghangat.

Without your asking. With my pleasure, Jayden...

Jadi aku mengangguk keras, menyanggupi permintaannya.

"Terus apa rencana lo? Bukannya Gamelita dateng nyuruh lo pulang?"

Ups keceplosan!

"Dasar tukang nguping," katanya malah mengeratkan pelukannya.

"Maaf," kataku pelan.

"Gue uda nggak pengen pulang, bagi gue rumah itu ya apartement, basecamp ini, dan lo."

Gue? Aku mencoba mendongak padanya dengan pipi bersemu merah. Untuk menutupinya aku bertanya, "apa lo nggak pernah mikir kalo bokap lo khawatir sama lo? Buktinya beliau nggak suka lo balapan kan?"

"Dulu sempet mikir iya, abis pesta topeng itu, udah nggak lagi."

"Kenapa?"

"Karena lo kebanyakan nanya oneng," katanya sambil menjitak kepalaku dalam pelukannya.

Menyebalkan! Dalam keadaan seperti ini pun bisa - bisanya Jayden bersikap seperti ini. Berlainan denganku. Walau pun sudah tidak menangis, kenapa aku jadi tambah sedih?

"Ayo turun, gue kenalin sama Tito secara resmi, mumpung nggak ada balapan hari ini," katanya.

"Secara resmi?" Aku mengulang kata - kata Jayden karena lucu. Kali ini membuatku sedikit lebih terhibur.

"Harus ya ngomong dua kali? Untung gemesin, kalo nggak uda gue jadiin guling."

"Nyebelin," ucapku dengan tersenyum sambil menyesap aroma mint tubuhnya, sedikit demi sedikit membuatku rileks.

Semenit kemudian ia mengajakku turun, berjalan memasuki basecamp.

Saat pertama kali ke sini, aku menganggap gedung tua ini semacam bangunan terlantar yang hanya di jadikan sebagai tempat balapan liar. Namun ketika Jayden menggandengku melewati pintu utama yang di corat - coret pilok—seperti kamuflase—ternyata dalam gedung ini di sulap jadi beberapa ruangan layak huni. Kata Jayden, semacam tempat tinggal bagi mereka yang broken home sama sepertinya.

Melewati beberapa ruangan, sebelum akhirnya menemukan pintu kamar Tito, Jayden membukanya tanpa niat mengetuk. Dan betapa kami terkejut ketika melihat Tito sedang having sex dengan seseorang. Jayden yang melihatnya langsung berbalik badan dan memelukku, lalu menggiringku ke tempat lain.

"Sorry, lupa kalo kelakuan berandalan kayak gitu," katanya ketika kami di suatu ruangan mirip dengan ruang keluarga karena ada TV besar dan sofa.

Mendengar penuturannya otakku langsung tegang. Jayden juga berandalan, apa ia juga melakukannya? Apa masih ada hal lain yang belum ia ceritakan padaku? Tentang hal ini misalnya?

Aku baru membuka mulut untuk menanyakan hal tersebut pada Jayden saat tiba - tiba seorang wanita sexy masuk tanpa permisi dan berlari memeluk Jayden—membenarkan asumsiku.

"Jay, gue kangen, lo kemana aja sih?!" ucap wanita itu tanpa menghiraukan keberadaanku sedikit pun seolah aku hanyalah hiasan ruangan yang sudah semestinya bediri di situ.

It's hurt.

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah nyempetin baca plus komen

See you next chapter

With LLove

©®Chacha Prima

👻👻👻

Revisi : 7 Mei 2020