Selamat datang di chapter 11
Buat diri teman teman senyaman mungkin saat membacanya
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
________________________________________
She denies it,
But the truth is, she's falling in love with him
•Anonim•
________________________________________
Paris, 3 Januari
07.03 a.m.
Jayden Wilder menciumku, menempelkan bibirnya sebentar lalu melepasnya. Aku pikir itulah yang di sebut sebagai ciuman, hanya saling menempelkan bibir, jadi aku juga menarik kesimpulan jika sekarang ia sudah selesai. Aku pun membuka mata tapi ia malah berbisik, "open you mouth," dengan suara nyaris tidak terdengar, dengan matanya yang menggelap, alis tebalnya yang serius dan tangan hangatnya yang memegang daguku.
Kenapa dia nyuruh gue buka mulut?
Jika ia sedang mengecek seberapa bau busuknya mulutku, maka selamat, Jayden berhasil. Mengingat tadi malam usai minum hot chocolate, aku lupa menggosok gigi karena ketiduran.
Aku pun reflek menutup mulut dengan kedua tangan sambil menjawab dengan suara sangat lirih, "belum gosok gigi. K-kenapa harus buka mulut?"
"No problem," katanya sambil menyingkirkan tanganku lalu menggenggamnya. "Open your mouth when I'm kissing you."
Menjawab semua pertanyaanku, dan ia mengatakannya tepat depan di wajahku, hidungnya bahkan sudah menempel di hidungku. Tatapan matanya menuntut, kali ini aku hanya bisa menurut. Membiarkan Jayden menempelkan bibirnya dan memasukkan lidahnya yang kenyal di dalam rongga mulutku. Sedangkan aku hanya mampu memejamkan mata, menikamti setiap cecapan bibirnya yang manis. Aroma mint tubuhnya membuatku limbung, hanyut dengan semua perlakuannya.
Ia menciumku dalam dengan lembut. Lama. Rasanya seperti ada ratusan kupu - kupu yang terbang di dalam perutku. Badanku juga rasanya panas, padahal aku yakin suhu kota Paris sekarang sedang minus. Aku bahkan tidak sadar ia sudah menggendongku ala bridal style menuju kamar mandi.
Tanganku otomatis melingkar pada lehernya, berpegangan agar tidak jatuh. Beberapa saat kurasakan Jayden mendudukkanku di atas washtafel. Saat kami sama - sama kehabisan nafas ia perlahan menarik diri. Entah kenapa, rasanya aku sedikit tidak rela.
"Mandi, gue tunggu di rooftop, kita sarapan," bisiknya bersamaan dengan usapan ibu jarinya di bibirku kemudian beralih mengusap puncak kepalaku sambil tersenyum dan pergi meninggalkanku yang masih terengah, berusaha menghirup oksigen sebanyak - banyaknya.
Setelah yakin Jayden pergi aku reflek tersenyum malu, blushing, menutup wajahku yang panas dengan kedua tangan dan berteriak tidak jelas serta jingkrak - jingkrak dalam kamar mandi.
"Kkkkyyyyaaaaa he have been stolen my first kiss!"
~~~
Paris, 3 Januari
08.00 a.m.
Jam delapan tepat aku sudah siap menuju rooftop tapi sekali lagi kembali melihat diriku di cermin. Berjalan ke arah pintu keluar lalu ke cermin lagi. Mondar - mandir mirip setrika sambil menggigiti kuku.
Duh, tenang Mel, tenang Mel, stay cool. Rapalku dalam hati, menyuntikkan kata - kata positif untuk otakku. Namun semua kata - kata positif itu seakan sia - sia ketika bayangan ciuman kami terlintas kembali, aku reflek memekik, "stay cool? Satu cool your head!"
Tentu saja diriku masih blushing karena hal tersebut.
Beberapa saat kemudian ponselku berbunyi. Kala kulihat layar ponsel, jantungku berpacu kembali. Yeah, it's his messagge.
From Wilder 😈 :
Buruan. Laper.
Singkat, padat, dan jelas seperti biasanya tapi sanggup membuatku gugup lagi.
Aku harus bagaimana jika bertemu dengannya?
Berkali - kali kuyakinkan diriku sendiri dengan segala bentuk penenangan diri yang semua berakhir sia - sia, akhirnya kuputuskan berjalan keluar kamar menuju elevator dan naik ke rooftop yang sudah ramai dengan orang - orang yang sedang sarapan.
Aku melihat kakakku dan kak Bella duduk satu meja bersama Jayden. Dan Jayden? Tentu saja sedang merokok. Huh dasar laki - laki itu!
"Hai Mel, duduk sini sebelahku," sapa kak Bella seraya menepuk kursi sebelahnya mengisyaratkan agar aku duduk di sana.
"Pipi lo merah banget dek?" tanya kak Brian, aku reflek melirik Jayden yang sedang memperhatikanku. Wajahnya datar - datar saja sambil mengembuskan nafas untuk mengeluarkan asap rokok.
Kok Jayden bisa sesantai itu sih? Seperti tidak terjadi apa - apa, malah menikmati rokoknya.
"Blush on ini kak," jawabku ngeles.
"Ya nggak usah menor gitu dong."
Sumpah ya mulut kakak ingin kukuncir, karet dua jika perlu!
"Ya uda gue bersihin nih," kataku yang langsung mengambil serbet putih di atas meja dan mengusap wajahku sendiri, tapi nihil, itu bukan blash on, itu wajahku yang memerah karena efek ciuman tadi.
Kak Bella yang duduk di sebelahku langsung tersenyum, seperti dapat membaca pikiranku. Ia menghentikanku dan menyuruh pesan makanan.
Thank you kak Bella yang baik hati.
~~~
Paris, 3 Januari
09.20 a.m.
Kau tahu, hari ini Jayden tidak menciumku sekali. Tapi dua kali. Pertama di kamarku, lalu kedua di dalam elevator yang hanya berisi kami berdua.
"Mulut kakak bau rokok," protesku ketika Jayden mengecup bibirku. Melingkarkar satu lengannya pada pinggangku agar menempel pada tubuhnya, sedangkan tangan kanannya memegang daguku. Dan, aku tidak bisa melawan dengan gerakan, hanya bisa menolaknya secara verbal.
"Biasain," jawabnya lalu menundukkan wajahnya lagi untuk menciumku. Ciuman yang sama seperti saat ia menggendongku ke kamar mandi. Tapi kali ini aku menemukan perbedaan dalam rasanya. Ada sensasi manis dan aroma rokok.
"Bales," perintahnya.
Seketika aku langsung cengo. "G-gimana caranya?"
Aku melihat sedikit senyum dari wajah garang Jayden, hanya sedikit. Malah, nyaris tidak terlihat seperti sebuah senyuman.
"Lain kali belajar lagi," tukasnya, bersamaan dengan dentingan elevator. Kontan saja aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku da aku salah tingkah namun berusaha bersikap seperti tidak terjadi apa - apa walaupun aku yakin wajahku masih semerah tadi pagi.
Kulirik Jayden melalui pantulan cerminan dirinya di dalam elevator ini. Lagi - lagi ia tersenyum, kali ini lebih jelas. Dan aku bisa mengartikan dirinya seperti sedang bangga. Lalu menggandengku keluar elevator.
Malam harinya kami pulang ke Indonesia naik private jet daddy. Aku mengambil duduk pada kursi tunggal di tengah - tengah antara kursi tunggal depan yang kak kak Bella duduki dan daddy yang duduk di kursi belakangku, sengaja menghindari Jayden yang duduk di belakang kursi Kak Brian yang duduk di seberangku.
Saat semuanya sedang tidur aku mengambil cermin mini mirip punya Karina yang selalu di bawa kemana - mana—pura - pura membenarkan rambut—padahal ingin melirik Jayden melalui cermin tersebut.
Benar dugaanku, ia sedang tidur, wajahnya menunduk, memakai headphone besar warna hitam kombinasi merah seperti penyiar radio dan kepalanya ditutup hoodie jumper hitamnya sambil menyilangkan kedua tangan di dada.
Let me guest, Jayden pasti mengendarkan lagu - lagu metal seperti di mobil hummernya waktu itu.
Di rasa cukup mengamatinya aku meluruskan kaki dan menarik selimut ikut tidur karena perjalanan masih lama, apa lagi di tambah cuaca yang bersalju, mungkin penerbangan akan lebih lama lagi.
~~~
Jakarta, 7 Januari
14.35 p.m
Sejak saat itu hubunganku dengan Jayden sangat lancar seperti jalan tol. Mulus tanpa macet dan tanpa hambatan. Ia bahkan setiap hari mengajakku kencan karena masih liburan sekolah. Kadang naik mobil hummernya, kadang juga naik motor duccati scrambler kesayangannya. Pernah suatu saat aku mengusulkan naik mobil mini cooper kuningku tapi ia menggeleng cepat sambil menatap alat transportasi itu dengan ngeri.
Memangnya kenapa?
Menghiraukan itu sejenak, selepas mandi Jayden mengirimiku pesan.
From Wilder 😈:
Naik motor. Pakek jeans panjang
Oh ya saat ini kami rencananya akan menenonton film. Seperti yang Jayden katakan di pesan tersebut, kami akan naik motor. Jadi aku hanya memakai pakaian casual. Skinny jeans panjang warna hitam dan sweeter YSL gambar macan warna abu tua serta sepatu kets. Bahkan aku hanya memakai ransel mini Louis Vuitton yang sengaja kubeli beberapa hari yang lalu khusus untuk naik motor seperti ini.
Berada di atad motor tidak serta merta membuatku tenang ketika tangan kiri Jayden menarik tangan kiriku, kepalanya menoleh ke samping kiri namun pandangannya fokus ke jalan. "Mel," panggilnya.
"Ya?"
"Cium!"
Aku menganga. Mengerjab bebedapa kali kemudian menjawab, "Ih! mesum! Inget ya kita lagi naik motor, nggak bisa, jangan mentang - mentang ini jalan sepi."
"Nggak mau gara - gara bau rokok? Gue belom ngerokok hari ini," ujarnya sambil menarik - narik tanganku yang berada di genggamannya. Mirip balita yang sedang merajuk.
"Nggak, itu cuma alibi kakak."
"Kuylah."
"Nggak bisa," jawabku tegas.
"Tapi mau kan? Nggak bisa itu cuma buat orang yang nggak mau," tukasanya kemudian melepas genggaman tangannnya untuk melepas helm teropong dan melambatkan laju motor. Jayden menolehku sambil menyetir.
"Cium!"
Ujung - ujungnya aku menciumnya juga. Walau pun hanya sebuah kecupan dibibirnya singkat—karena tidak tahu cara menciumnya seperti saat Jayden menciumku. Dan aku melihatnya tersenyum.
"Bisa kan? Nggak bisa itu cuma buat orang yang nggak mau," ulangnya lagi lalu memakai helm teropongnya kembali.
"Gara - gara kakak! Gue jadi ikutan mesum nih!" pekikku sambil memukul punggungnya pelan. Ia tidak menjawab, tapi aku dapat merasakan punggungnya yang naik turun karena tertawa.
Tiba - tiba ponsel Jayden bunyi, ia mengambilnya dari kantung ripped jeans dan tanpa ragu memberikannya padaku.
"Tolong bacain," titahnya masih fokus menyetir. "Passwordnya tanggal jadian kita," tambahnya lagi.
Sebenarnya aku ingin tertawa kencang karena menurutku Jayden mugkin akan memilih password triple six simbol satanic seperti auranya, bukannya memilih tanggal jadian kami. Tapi kutahan.
Btw tanggal jadian? Jangan - jangan waktu pesta topeng itu.
Segera kucoba dan ternyata benar.
From Tito :
Bos, di tunggu, tempat biasanya.
Aku mengernyit, tidak mengerti pesan yang baru saja kubaca. Merasa lama, Jayden pun bertanya, "dari sapa? Tolong bacain."
"Dari Tito, bos, di tunggu, tempat biasanya. Maksudnya apa ini?" tanyaku penasaran. Sedangkan Jayden hanya ber-oh ria.
Padahal biokop kurang beberapa meter lagi di depan tapi ia malah berbalik arah dan melajukan motornya lebih cepat.
"Lho nggak jadi nonton?" tanyaku masih bingung karena hanya sebuah pesan dari temannya, Jayden membatalkan acara nonton. Maksudku, aku tidak apa - apa, aku tidak akan marah atau ngambek. Hanya bingung dan penasaran. Itu membuatku menggigiti kuku.
"Kapan - kapan aja," jawab Jayden.
Kami menuju sebuah bangunan tua yang sudah penuh corat coretan pilok di pinggiran kota. Ada banyak motor dan mobil modifan yang terparkir di sana. Juga suara bising dari mesin -mesin mereka. Oleh karena itu Jayden sengaja memarkir motornya sedikit jauh dari gedung tua tersebut.
"Turun," taitahnya setelah melepas helm. Aku pun turun sambil memperhatikan gedung tua ini dan itu membuatku bergindik ngeri.
Masih siang, tapi suasana gedung tua ini cukup menyeramkan dan bising.
Mau ngapain dia bawa gue ke sini? Tempat janjian ama temennya?
Berkutat dengan pikiranku, Jayden seperti dapat membacanya. "Jangan takut, ayo." Kemudian menggandeng tanganku possessive. Sedangkan aku hanya mampu bersembunyi di balik punggung kekarnya seperti anak kecil yang takut badut pennywise.
Samar - samar aku mendengar beberapa orang berbicara.
"Eh liat tuh si bos dateng, tumben bawa cewek."
"Gila imut banget, tipe gue banget."
"Manis pisan oi."
"Sssttt diem lo, kalo bos denger dikremasi idup - idup lo."
Ada juga beberapa suara wanita.
"Si bos punya cewek? Aduh ancur udah harapan gue."
"Cewek pendek, kurus kerempeng itu pacaranya bos? Masih tinggian dan cantikan gue."
"Itu adeknya kali, nggak mungkin ceweknya."
Aku dapat mendengar bisikan - bisikan di sekitarku ketika kami melewati gerombolan laki - laki dan perempuan yang dandanannya seperti preman. Aku bahkan menahan diri untuk tidak menutup hidung atau mengibaskan asap rokok agar tidak di hujat.
Jayden yang berhenti mendadak membuatku menabrak punggungnya karena sedari tadi berjalan aku hanya menunduk. Ia berdecak lalu merangkulku possessive sambil mengobrol dengan laki - laki yang namanya Tito—yang mengirimi pesan tadi.
"Si Agra tuh nantangin," tata Tito sambil berusaha melirikku.
"Mata lo masih pengen bisa liat kan?" tanya Jayden santai dan datar tapi kok seram ya?
"Ampun bos," ucap Tito takut - takut.
Jangankan Tito yang mungkin sudah biasa melihat Jayden seperti ini, masih saja takut, apa lagi aku yang baru melihat dan mendengarnya berbicara seperti itu dengan gaya santai.
"Siapin semuanya," perintah Jayden lagi pada Tito lalu mengajakku masuk gedung dan memasukkanku dalam mobil mustang klasik hitam mirip mobil Hardin Scott yang sudah di modif.
"Can you tell me what's going on?" tanyaku akhirnya setelah suasananya tidak sebising di luar gedung tua ini.
"Cuma balapan," jawabnya enteng.
"Kakak balapan?"
________________________________________
Thanks for reading this chapter
Terima kasih juga yang uda sempetin baca, komen dan vote
See you next chapter teman temin
With Love
Chacha Nobili
👻👻👻
Post : 27 Juli 2019
Revisi : 31 Maret 2020