Chereads / Di goda Berondong / Chapter 2 - Chapter 2

Chapter 2 - Chapter 2

"Sebenarnya kalau boleh cuti, aku mau cuti hari ini. ngajar di kelas bocah itu buat emosiku kurang stabil, Kemarin seharian dia sudah membuatku naik darah, ck, sekarang harus ketemu dia lagi," Keluh Dea pada Ryan sahabatnya yang sedang menyiapkan materi untuk mengajar nanti.

"Santai Dea, jangan di bikin galau gitu lah. Kalau kesel, jangan terlalu. Nanti timbulnya jadi cinta," Goda Ryan pada gadis dengan rambut ekor kuda itu.

"Aku bogem juga,nih!" Aku mengepallkan tanganku di depan wajahnya. Ryan nyengir membayangkan ia benar-benar kena tonjok pagi itu.

"Semenjak kenal Devano, kamu jadi makin galak. Ngeri aku satu tim sama cewek bar-bar sepertimu," Keluh Ryan. Dia memang menyadari perubahan karakter Dea semenjak kenal dengan Anak cowok bernama Devano itu.

"Pagi," Sapa Devano yang sengaja menunggu kedatangan dea dengqn bersandar pada sebuah tiang dengan tangan disilangkan ke dada.

Ryan memilih berjalan lebih dulu. Ia yakin Dea mampu menghadapi Devano seorang diri.Tubuh Ryan yang gempal memang tidak segempal nyalinya. Ia tidak pernah sekalipun melibatkan diri dalam perkelahian.

"Pagi, ada apa?" Tanya Dea tanpa ekspreksi. Ia tentu tidak lupa dengan semua tingkah usil dan konyol pria muda yang ada di hadapannya itu.

"Ada apa? Ck. Kamu tidak lihat, luka lebamku jadi biru seperti ini? kadar ketampananku turun gara-gara ini, kamu harus bertanggung jawab," Sungut Devano kesal. Dea melihat wajah Devano yang membiru, sekilas ia merasa bersalah.

"Soal itu, aku minta maaf. Tapi semua terjadi karena kesalahanmu sendiri, kalau saja hari itu kamu tidak menggangguku, wajahmu pasti tidak akan seperti ini." Dea coba minta maaf dan membela diri. Karena memang benar, dia tidak sepenuhnya bersalah dalam kejadian ini.

"Tapi aku mau kamu bertanggung jawab. Sengaja ataupun tidak. Kesalahanmu ataupun bukan. Kamu harus tetap bertanggung jawab." Devano tetap pada pendiriannya. Menuntut Dea untuk bertanggung jawab atas lebam di wajahnya. Dea hanya tersenyum.

"Baiklah, kalau kamu memaksaku bertanggung jawab, aku akan tanggung jawab. Sekarang kamu diam, jangan banyak gerak," Ujar Dea, Devano menuruti instruksinya dan diam mematung. Dea mengambil dua plester bermotif hati dan menempelnya menyilang di pipi Devano yang lebam. Remaja itu sampai terpana dengan perlakuan Dea. Ternyata dia juga bisa lembut, batin Devano. Ia lalu pergi meninggalkan Devano yang masih berada di bawah alam sadarnya.

"Semoga cepat sembuh," Ucap Dea sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menuju kantor. Devano memandang Dea sampai gadis itu tak terlihat lagi.

"Bro! Ngapain matung disini? Nongkrong dulu ke tempat biasa ..." Arga tiba-tiba merangkul dan menyeret Devano berlalu dari tempat ia berdiri sekarang. Sesaat kemudian, Arga gagal fokus melihat plester yang menempel di pipi Sahabatnya itu.

"Dev, sejak kapan kamu suka pake plester imut begitu?" Goda Arga saat menyadari plester itu bermotif love, parahnya lagi warnanya pink. Spontan Devano meraba pipinya. Ia tampak sedikit gugup, lalu cepat-cepat menormalkan tingkahnya kembali.

"Oh, ini? Ini plesternya mamaku, tadi pagi mama yang nempel plester ini ke wajahku," Sekali lagi, Devano berbohong tentang Dea. Tapi tidak mungkin ia bilang sekarang kalau plester itu di tempel oleh Dea. Bisa-bisa Arga jadi bahan cengan teman-temannya.

"Yakin? Setau aku emak-emak jarang yang pake plester motif begitu. Mama kamu apa pacar? Sejak kapan punya pacar? Kok aku nggak pernah tahu?" Arga menyelidik curiga. Devano memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat untuk sahabatnya itu.

"Memangnya kalau mamaku suka plester motif itu nggak boleh? Ayolah jalan. bisa sampai sore cuma bahas plester saja," Devano mendengus kesal. Pertama, karena Arga mencurigai asal plester itu darimana. Kedua ia kesal karena mendapat plester itu dari Dea.

Di kantor...

Dea sedang mengerjakan tugas harian, karena terlalu semangat dan kuat, pensil yang di pakainya ujungnya patah. Tangannya merogoh ke dalam tas, mencari-cari rautan pensil, tapi ia tidak menemukannya. Di atas meja aku menemukan silet, terpaksa ia meraut pensilnya dengan silet itu.

"Aw.." Silet itu mengenai jarinya. Setelah membersihkan lukanya dengan tisu, Dea mencari plester yang sama ia pakaikan ke Devano.

"Kenapa tangan kamu De?" Ryan ingin tahu apa yang menyebabkan jari Dea terluka.

"Ini lo Yan. Aku mau ngeraut pensil ini tapi nggak ada alatnya, makanya aku pakai silet itu, eh malah kena jariku," Cerita Dea sambil membenarkan letak plester di jari telunjuknya itu.

"Harusnya kita KKN di tempat terapi gitu ya, bukannya di sekolahan terus ngajar. Nggak jelas bangetlah konsep dosen kita. Sama sekali nggak nyambung dengan jurusan kuliah kita," Gerutu Ryan kesal. Sejujurnya dia juga sama dengan Dea. Tidak suka dengan tema KKN yang aneh.

"Entahlah, Ryan. Kamu tahu sendiri aku bahkan tidak suka dengan jurusan kuliahku. Aku senang, dengan mengajar ini mengingatkanku pada ibu," Ujar Dea lesu. Dasarnya memang Dea tidak menyukai kuliah psikolog. Jadi nyambung atau tidaknya KKN ini ia tidak perduli.

Untuk orang yang selalu di atur seperti Dea, ia sama sekali tidak bisa memilih. Ayahnya yang otoriter tidak mau mendengarkan apa yang ia inginkan. Sebaliknya, apa yang ayahnya inginkan harus di penuhi.

Sejak dulu, ia ingin menjadi pengajar seperti ibunya. Tapi sang ayah tidak mengmyetujui cita-cita Dea. Ayahnya hanya ingin Dea menjadi psikiater. Dengan terpaksa, ia pun harus mengikuti apa yang dititahkan oleh ayahnya. Tiada yang membelanya, karena sang ibu telah tiada.

"Kamu udah pernah cerita itu, saat pertama kita kenal di awal ngampus dulu. Kenapa de, kamu nggak coba berontak aja? Bukannya menjalani apa yang kita nggak nyaman itu bikin nggak enak ya?" Saran Ryan. Andai semua semudah itu. Ayahnya mengancam akan mengusirnya jika dirinya tidak patuh dengan peraturannya.

"Aku tidak punya pilihan Ryan," Dea menjawab singkat. Ia menyusun buku yang akan dia bawa mengajar nanti.

Ryan mendongak melihat ke arah jam dinding. Guru-guru lain sudah bergegas ke ruang kelasnya masing-masing. Waktunya mereka untuk mengajar. Karena keberhasilan Dea menghadapi Devano, ia lagi-lagi di tugaskan ke kelas 12 A.

Setiap hari kalau berhubungan dengan murid seperti Devano, bisa bikin stres. Untung cuma ada satu di kelas, Batin Dea. Ia melangkahkan kakinya gontai ke koridor yang ia lewati sebelum sampai ke kelas 12 A. Ia sedang tidak ingin emosi hari ini. Semoga Devano bersikap manis kali ini.

Beda dengan kemarin. Hari itu tidak ada keributan di kelas. Hanya terdengar suara mereka saling berbicara. Dea melangkah pasti masuk ke kelas. Ia berusaha untuk tidak melihat ke arah Devano.

"Selamat pagi. Hari ini saya akan mengadakan ulangan mendadak. Saya tahu dari guru yabg lain, kalian semua yang ada di kelas ini adalah murid istimewa. Saya akan menulisnya di papan tulis soalnya," Dea mengambil Spidol dan menuliskan soal yang akan di kerjakan oleh semua murid.

Arga memperhatikan plester yang menempel di telunjuk Dea. Sama persis dengan yang di pakai Devano. Ia sangat yakin kalau plester Devano sebenarnya ia dapat dari Dea. Ia ingin membahas ini tapi sayangnya ulangan mendadak ini tidak memberinya kesempatan untuk berbicara pada Devano.

40 menit kemudian, seluruh soal di kumpulkan termasuk milik Devano. Ia begitu jeli mengoreksi setiap jawaban satu per satu. Entah kenapa ia sangat mendalami perannya dalam menjadi guru yang seharusnya tidak di sukai.

Ia tertegun saat membaca nama Devano Artama. Hampir semua soal ia jawab salah. Tidak sesuai dengan instingnya, menurutnya Devano termasuk orang yang cerdas. Kali ini ia melirik ke arah Devano, yang ia lihat justru anak itu tengah tertidur pulas. Sepertinya dia sengaja melakukan ini. Balas dendam secara diam-diam ini membuat perasaan Dea yang tadinya baik-baik saja menjadi sedikit emosi.

Ia mendatangi Devano, menempelkan jari telunjuknya di atas hidung dan bibir mengisyaratkan yang lain untuk diam. Ia menatap Devano yang tertidur, sesaat ia terpesona ddngan wajah Devano yang tampan tqpi sesaat kemudian ia sadar, dan menarik telinga anak cowok itu.

"Kamu sengaja tidur di jam pelajaran saya?" Dea menatap Devano tajam. Anak itu membalasnya dengan senyum. Sebenarnya ia tidak benar-benar tidur. Ia sengaja menarik perhatian Dea. Dia tidak ingin seharipun damai dengan guru barunya itu.

Devano berdiri dari tempat duduknya, membuat ia sejajar dengan Dea, bahkan ia jauh lebih tinggi. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan tentu saja Dea beringsut mundur untuk menghindari sentuhan dengan cowok tengil itu.

"Sehari saja, tidak menyentuhku, apa itu membuatmu rindu? Kemarin pipi, hari ini telinga, besok apalagi?" Kata devano meledek dengan suara pelan. Dea hanya mengepalkan tangan.

"Devano, tolong, sehari saja jangan membuatku emosi. Aku ingin mengajar dengan tenang, bisakah kamu bersikap normal?" Dea setengah memohon pada Devano dengan suara pelan juga.

Arga semakin yakin. Ada sesuatu antara Devano dan Dea yang dia tidak ketahui. Lain keaempatan ia pasti akan mengungkap semua yang ia saksikan ini. Dia juga senang melihat sahabatnya yang mulai mengenal seorang wanita, meskipun usianya lebih tua.

"Baik, aku setuju. Aku bisa bersikap seolah menjadi siswa yang baik, asalkan pulang nanti, aku yang mengantarmu,"Devano mulai melancarkan rencana liciknya, menarik Dea pelan-pelan ke dalam perangkapnya. Dea tampak mempertimbangkan.

"Baik," Jawabnya singkat. Lalu kembali ke tempat duduknya. Memijat jidatnya tanpa alasan. Dia menyesal telah mengiyakan syarat yang diajukan oleh Devano. Bagaimana mungkin ia harus pulang bersama seorang anak SMA?

Sepulang Sekolah...

Dea menemui Ryan, ia akan bilang kepada sahabatnya itu untuk meninggalkannya karena ia akan pulang dengan Devano.

"What? ngapain kamu pulang sama dia? ini baru hari kedua kalian kenal, kalau dia macam-macam bagaimana?," Ryan mengkhawatirkan keselamatan Dea.

"Kenal aku kan? kalau dia berani macam-macam, aku akan membuat biru pipinya yang sebelah lagi," Dea meyakinkan Ryan untuk meninggalkannya. Akhirnya Ryan memutuskan untuk meninggalkannya sendiri. tak berapa lama seorang laki-laki berhelm dengan motor sport menghampirinya.

"Ayo naik," Devano membuka kaca helmnya. Tanpa banyak tanya Dea langsung mengikuti instruksi Devian.

"Rumah kamu di mana?" Tanya Devano saat mereka jalan beberapa meter.

"Perumahan Asri blok G," Jawab Dea singkat. Semoga saja si tengil ini tidak berbuat macam-macam di jalan, harap Dea dalam hati.

Devano mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.Sebenarnya Dea merasa tidak nyaman. Ia setiap hari bersama Ryan selalu melakukan perjalanan dengan santai.

Dalam hati Devano kesal, karena Dea sama sekali tidak takut dengan aksinya ngebut. Gadis itu maalah terlihat tenang dan santai. Pelan-pelan ia mengurangi kecepatannya, dan akhirnya berhenti.

"Turun!" Perintah Devano. Dea turuti perintahnya. Dia sudah bersiap, seandainya Devano berani menyakitinya.

"Aku berubah pikiran, turun dan jalan kakilah, aku tidak jadi mengantarmu pulang,"Devano membuka helmnya, ia menatap Dea dengan senyuman licik.

"Jadi ini, tujuanmu mengajakku pulang bersama? Kekanakan banget ya, sesuailah, remaja sepertimu mana mungkin bisa bertindak dewasa, seharusnya aku sadar sejak awal," Dea berkata dengan tenang. Kemudian gadis cantik itu berjalan cepat meninggalkan Devano. Devano tersenyum puas karena berhasil mengerjai Dea.

Ia menyetarter lagi motornya dan mengejar Dea. Rasanya ia tidak tega membiarkan guru galaknya itu berjalan seorang diri. Di pepetnya wanita itu sampai ke pinggir.

"Ayo, naik. Aku cuma bercanda," Devano menampilkan senyum tulusnya.

"Aku tidak suka pada orang yang suka menjilat ludah sendiri," Dea berkata dengan tetap tenang. Hari itu ia berusaha keras untuk tidak marah pada remaja tampan itu.

"Ayolah, perumahan asri masih jauh, nanti kakimu jadi besar.Aku serius hanya bercanda," Devano tetap mengikuti langkah Dea dengan sepeda motornya. Gadis itu sama sekali tidak menggubrisnya.

"Dea... Dea Amanda... hei... kamu dengerin aku ngomong nggak sih? Oh, jadi ngambek? Jadi orang yang katanya sudah dewasa bisa ngambek juga? ayolah... sikapmu kekanakan... mana Dea yang kemarin?" Devano terus nyerocos sambil mengejar Dea yang jalannya di percepat. Entah pura-pura atau tidak, tapi Dea sama sekali tidak bergeming.

"Dea...!" Panggil Ryan yang ternyata diam-diam mengikuti mereka.

"Ryan, syukurlah ada kamu, ayo pulang bareng," Dea langsung menghampiri Ryan yang menghentikan motor vespanya di depan Dea. Ryan yang kesal pada Devano, menganggap bocah itu tidak ada. Dea naik ke jok belakang motor Ryan dan mengajak dia segera berlalu, tanpa perduli pada Devano.

"Aku fikir, akan senang kalau mempermainkannya, tapi nyatanya malah jadi merasa bersalah. Haish, sejak kapan seorang Devano berhati lembut? Ayolah!" Devano mengumpat dirinya sendiri.

Sementara itu...

"Kamu kenapa sih, diem aja di gituin sama Devano? dia keterlaluan sama kamu," Omel Ryan tidak rela sahabatnya itu diperlakukan seperti itu oleh Devano.

"Mulai hari ini, aku nggak mau meladeninya lagi, sepertinya dia punya kejiwaan yang tidak normal. Aku akan menyelidikinya Ryan. Aku hanya tidak ingin kelepasan seperti kemarin. Luka lebam di pipinya membuatku bersalah pada anak itu," Curhat Dea, Ryan mengerti, Dea pasti punya alasan untuk melakukan semua itu. Terpenting keadaan Dea baik-baik saja sekarang.

Dea, meskipun banyak dari mereka yang mencintaimu karena kelebihanmu, akulah yang lebih mengerti segala kekuranganmu, karena aku sahabatmu, Batin Ryan.