Pagi itu dea seperti biasa, berangkat mengajar di sekolah Devano. Hari itu hati Dea sedang di liputi kebahagiaan. Karena semalam, ia baru saja jadian dengan Irvan, kakak tingkatnya di kampus. Setelah lama ia mengagumi Irvan, akhirnya cowok tampan blasteran cina itu menembaknya.
"Lepasin, Kak! Jangan buang barang-barang saya...!" Dea mendengar teriakan perempuan. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Akhirnya ia menangkap pemandangan di mana Devano membully seorang adik tingkat di tengah lapangan. Ia geram sekali melihat ini, segera ia menemui mereka berdua.
"Devan...!" Tegurnya sambil menjewer telinga Devano, membuat remaja itu meringis kesakitan. Ia melirik Dea dengan tatapan nakal, lalu menyeringai. Dipengangnya tangan Dea dengan lembut, membuat Dea sedikit terkesan. Lalu ia sadar dan menepis tangan Devano secepat kilat. Sementara siswi yang tadi di ganggu Devano, pergi melarikan diri.
"Dea, kenapa kamu selalu mengganggu kegiatan menyenangkanku?" Devano melangkahkan kakinya mendekat ke arah Dea. Tentu saja gadis itu beringsut mundur, tapi Devano terus maju.
Kesal dengan tingkah cowok tengil itu, Dea berhenti dan mereka kini sangat dekat. Tatapan elang yang di miliki Devano membuat Dea sedikit panik. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Tentu saja di masa KKNnya yang terbilang singkat itu, tidak ingin ia isi dengan catatan skandal.
Devano memajukan wajahnya ke wajah Dea. Jantung gadis itu berdetak cepat. Ia membayangkan Devano menciumnya.
"Kamu pikir aku akan menciummu?" Devano melihat kedua bola mata Dea bergantian. Lalu ia tersenyum menghina.
"Jangan mimpi, memohonlah dulu padaku, aku akan memberikannya dengan sukarela," Devano meneruskan dengan gaya sok angkuh. Dea mendorong Devano keras dan meninggalkan pemuda yang terus menatapnya dengan senyum misterius di wajahnya.
"Arrgh! Berondong gila, Beraninya dia menggodaku seperti itu!" Umpat Dea dalam hati. Ia sangat kesal dengan Prilaku Devano barusan.
"Kamu kenapa, De. Tadi berangkat hepi, cerita baru jadian sama Irvan. Kenapa sekarang muka kamu di tekuk, lecek kayak kertas bekas, gitu?" Komentar Ryan saat melihat Dea masuk ke dalam kantor dengan wajah emosi.
"Kesel maksimal sama Devano. Kebangetan banget tau nggak, tuh anak. Bikin sakit kepala lama-lama!" Dea emosi, meletakkan tasnya kasar ke atas meja.
"Aduduh, Kenapa lagi sih itu bocah, ikut emosi... deh aku mendengarnya, ayo cerita cin sama aku," Keluarlah logat terpendam Ryan. Dea hampir saja tertawa, tapi teringat perlakuan Devano barusan membuatnyaurung melakukannya.
"Tadi aku nyamperin dia kan, lagi nge-bully adik kelasnya di tengah lapangan. Aku jewer dong dia otomatis. Eh, dia malah melangkeh mendekat ke arahku. Aku terus mundur, dia terus maju. Lama-lama aku capek berhenti. Sedangkan dia tetep maju, jadi posisi kita tuh, dempet banget. Dia gayanya mau nyium, eh abis itu dia bilang, jangan mimpi untuk di cium sama dia, harus mohon dulu. Kepedean banget kan tuh bocah," Oceh Dea kesal dengan tingkah Devano.
"What? Kamu di php cium sama si Devano itu?" Ryan tertawa terbahak-bahak membuat Dea mendengus kesal.
"Terus aja, ketawain aku sampai puas," Ujar Dea ketus.
"Habisnya ada-ada aja, tapi jangan terlalu benci deh sama tu berondong, bisa jatuh cinta kalau kelewat," Ucap Ryan seperti sedang mengutuk Dea.
"Ish, amit-amit, jangan sampe naksir dia," Dea mengetuk meja kerjanya tiga kali. Ryan hanya tersenyum geli melihat tingkah jenaka sahabatnya itu.
"Sono gih, masuk kelas. Udah di tunggu sama pangeran Devano," Goda Ryan sambil terkekeh.
"Ryan...!" Dea melotot ke arah Ryan, bocah gembul itu segera kabur membawa bahan materi menuju kelas tempatnya mengajar.
Dengan terpaksa Dea mengambil berkas mengajarnya dan melangkahkan kakinya gontai menuju kelas 12 A. Setiap kelas yang di lewatinya memang selalu hening. Mereka semua tampak serius belajar. Beda dengan kelas 12 A yang dalam belajarpun masih ada yang berisik.
Dea menghela nafas panjang saat langkahnya sampai di depan kelas tempatnya mengajar. Kalau saja bisa tukar posisi, Dea ingin mengajar di kelas lain saja. Rasanya terlalu lelah setiap hari harus berhadapan dengan murid songong seperti Devano. Sehari baik, hari berikutnya sudah kembali lagi pada tabiat buruknya. Frustasinya dalam keluarga membuat efek buruk pada dirinya.
Aku masuk ke dalam kelas. Suasana hening. Devano yang biasanya berulah, dia hanya diam tanpa memperdulikan kehadiranku. Ia hanya duduk diam dan membaca sebuah buku.
Baguslah, anak itu tidak membuat ulah, batin Dea senang. Ia lelah setiap hari harus berurusan dengan Devano denga masalah kejahilan dan isengnya yang membuatnya naik darah. terkadang sampai lepas kontrol dan menghilangkan auranya sebagai anak Psikolog.
"Buka halaman 45," Perintah Dea singkat. Seluruh siswa menurut dengan instruksinya. Kecuali Devano. Dia masih membaca buku yang sama seperti awal Dea datang.
Mau tidak mau Dea harus mendatangi Devano lagi. Ia sampai habis akal menghadapi anak cowok satu itu.
Ia kasar ya responnya begitu, ia sabar malah semakin menjadi.
"Devano, maumu apa? kamu tidak mau mengikuti mata pelajaran yang aku ajarkan?" Dea berkata dengan lembut, beruaaha menahan emosinya yang mulai membara.
"Kalau iya, kenapa?" Tanyanya, masih dengan mwngabaikan Dea.
"Silahkan keluar," Dea menunjuk pintu kelas yang terbuka. Tapi Devano tidak bergeming.
"Kalau aku tidak mau?" Tanyanya lagi.
"Aku akan berhenti mengajar di rumahmu. Terserah, itu pilihanmu. Mau di sini belajar, atau mau main-main, aku tidak memaksa," Dea meninggalkan Devano.
Pria muda itu lebih memilih untuk membuka bukunya dan mengikuti pelajaran dengan baik. Daripada harus menggantikan Dea dengan guru privat yang lain.
Dea tersenyum simpul saat menghadap papan tulis untuk menulis soal. Dia sangat suka dengan sikap Devano yang manis. Ia merasa istimewa karena Devano lebih memilih patuh belajar daripada merelakan Dea untuk tidak mengajar di rumahnya lagi.
Sebaliknya, Devano merasa senang mendapat perhatian dari Dea. Sejak guru muda itu datang, ia merasa lebih bersemangat untuk berangkat kesekolah dan belajar.
Sepulang sekolah...
Dea berjalan dengan cepat. Ia merasa kalau Devano akan mengganggunya saat jam pulang seperti ini. Benar saja, cowok ganteng itu sudah menunggu Dea di tiang biasanya.
"Dea.."
"Aku harus pulang sekarang, Dev." Dea sengaja mengabaikan Devano, tapi Dev berhasil menarik tangan Dea, sampai gadis itu terperangkap dalam dekapan Devano. Ia cepat-cepat beringsut.
"Apa sih maumu sebenarnya?!" Tanya Dea ketus. Ia lelah berlembut-lembut dengan Devano.
"Jangan pernah berpikir untuk berhenti jadi guru privatku, aku akan melakukan apapun, yang penting kamu tetap mengajar di rumahku," Rayu Devano. Dea mendengus keras. Ia sebenarnya sudah lelah berhadapan dengan Devano, tapi dia juga butuh pekerjaan ini.
"Baiklah, deal. Aku akan tetap mengajar di rumahmu, tapi perbaiki semua keburukanmu,"Pesan Dea sambil berlalu meninggalkan Devano, sementara yang di tinggalkan memandang Dea dengan senyum bahagia.