"Hai, sudah datang..." Devano turun dari tangga. Penampilannya yang sederhanana begitu memukau Dea. Devano tersenyum dengan senyuman yang berbeda. Ia seperti terhipnotis beberapa saat.
"H-hai, Dev." Dea gugup. Aish, biasanya aku tidak pernah seperti ini, gumam dea dalam hati. Ia merasa penampilan Devano saat ini menggoda perhatiannya. Tapi dengan cepat Dea menepis perasaannya agar tidak berlanjut.
"Sudah siap untuk belajar?" Devano mengerling nakal ke arah Dea yang duduk di hadapannya. Mereka belajar di atas karpet dengan bantal sofa sebagai mejanya.
"Pelajaran apa yang paling sulit untukmu?"Tanya Dea datar. Berusaha tidak memperhatikan godaan dari Devano. Dea menanyakan itu pada Devano agar dia mengakui dimana letak lelemahannya pada sebuah mata pelajaran.
"matematika," Jawab Devano singkat sambil mengabaikan Dea dengan mengotak-atik telepon pintarnya. Tingkah Devano membuat Dea sedikit kesal.
"Devano, kamu mau belajar atau mau main HP? Aku nggak ada waktu untuk bermain-main," Dea menatap Devano dengan tatapan tajam. Sementara yang di tatap hanya tersenyum aneh lalu meletakkan HPnya di atas karpet.
Dea mulai memberikan soal latihan untuk di kerjakan oleh Devano. Anak itu tidak terlalu fokus, sebentar-sebentar menggoda Dea. Sampai gadis itu mengancam akan pulang kalau ia tidak serius mengerjakan soalnya. Barulah Devano tampak sepenuh hati mengerjakannya.
Sementara itu..
Tante Dewi tersenyum melihat mereka berdua belajar. Dea bukan hanya terlihat seperti guru di mata tante Dewi, tapi juga sumber keceriaan yang mulai surut dari Devano. Semenjak ayahnya jarang pulang, Devano berubah menjadi sedikit berbeda. Banyak diam dan merenung. Bahkan, Ia mengalami penurunan prestasi.
"Mereka berdua sepertinya punya hubungan yang lain, selain guru dan murid. Dea bisa mengembalikan keceriaan Dev seperti dulu. Bahkan kepala sekolah Dev bilang, kalau Dea berhasil mengatasi kenakalan Dev di dalam kelas. Meskipun umur mereka terpaut beberapa tahun, aku tidak akan keberatan kalau Dev memiliki kekasih seperti Dea." Gumamnya dalam hati.
"Seandainya Dev Tau, kalau papanya sudah menikah lagi, pasti dia akan lebih hancur dari ini. Sekarang aku hanya bisa pura-pura bahagia di depan Dev. Aku ingin dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mandiri, meskipun tanpa figur seorang ayah." Tanpa sadar Tante Dewi menitikkan airmatanya. Ia sesungguhnya sama seperti Devano, hanya saja ia tidak ingin terlihat rapuh di depan anaknya.
Di ruang keluarga...
"De, aku penasaran. Kenapa kamu baik dengan teman sekelasku, tapi kamu hanya galak padaku?" Tanya Decvano di selacsela belajar.
"Karena kamu nyebelin. Kamu suka bikin ulah di kelas," Jawab Dea dengan Nada sedikit sewot sambil terus mwmperhatikan Devano mengerjakan soal darinya.
"Emang nggak ada gitu, niat kamu buat baik dan nggak galak lagi sama aku?" Tanya Devano menyelidik. Ia sambil membolak-balik buku cetak matematika miliknya untuk mencocokkan rumus yang tepa untuk soal yang sedang ia garap.
"Tergantung, kalau kamu berubah jadi anak baik dan fokus belajar di kelas, aku juga akan berubah sikap padamu menjadi lebih manis, " Ungkap Dea jujur. Ia memang berharap Devano menyudahi sikap jahilnya itu.
"Kamu jago taekwondo?" Devano mengajukan pertanhaan lagi. Dea merasa Devano sedang mengorek informasi tentang dirinya dengan diam-diam.
"Kenapa kamu mau tahu?" Dea justru memberikan Devano pertanyaan, bukan jawaban.
"Tamparanmu saat itu, sangat keras seperti batu. Bahkan sampai membiru. Sekarang pun masih ada kan?" Devano memegang bagian pipinya yang pernah untuk mendarat tangan Dea.
"Memang, aku bisa taekwondo. Bukan untuk gaya, tapi untuk jaga-jaga kalau ada laki-laki yang suka mengganggu sepertimu." Dea mengakui keahlian yang dia miliki. Seketika Devano merasa kecil. Biasanya yang ia ganggu hanya wanita biasa yang membosankan. Hanya bisa menangis ataupun menyerah. Tapi Dea tidak. Gadis itu berbeda.
"Keren. sepertinya aku harus berguru padamu. Aku kagum sama cewek yang suka belajar bela diri," Pujinya, tapi Dea yang si puji tidak bergeming. Seperti tidak perduli dengan apa yang ia ucapkan.
"Jangan coba merayuku. Rayuan receh seperti itu tidak akan bisa meluluhkanku," Dea berkata datar. Dalam hatinya, ia tidak menolak untuk mengakui ketampanan yang Devano miliki. Kulit yang putih dan badan yang tinggi, tentu saja ia sangat terkesan. Tapi masalahnya Devano itu adalah Adik kelasnya. Tentu saja ia gengsi untuk meengakui perasaannya.
"Tanpa merayumu, nanti kamu juga bisa jatuh hati dengan sendirinya padaku," Kata Devano dengan sedikit sombonng. Ia memang berniat untuk membuat Dea jatuh hati padanya. Meskipun ia akui itu akan sedikit sulit. Ia sadar diri kalau yang ia taksir adalah anak kuliahan, tapi bukan itu alasannya ia mendekati Dea. Alasan yang utama adalah, gadis itu menarik.
"jangan terlalu percaya diri. Bukan mudah untuk membuat Dea Amanda jatuh cinta," Dea membalas menyombongkan dirinya di depan Devano. Ia pun saat ini yakin, tidak akan pernah mencintai orang seperti Devano.
"Benarkah?" Devano menyondongkan dirinya ke arah Dea. Ia yang kesal dengan sikap cowok tengil itu langsung mendorong Devano menjauh dengan secepat kilat hingga cowok itu terjerembab.
"Kenapa panik? Aku nggak mau ngapa-ngapain kamu kok, emang kamu pikir aku mau apa? Sampai di dorong sekuat itu?" Devano meledek Dea yang di nilainya merespon terlalu berlebihan. Padahal tujuannya hanya ingin meledek, tidak ada maksud lainnya. Dea jadi sedikit salah tingkah karena responnya sendiri.
"Sori, aku refleks aja tadi," Mau tidak mau Dea harus minta maaf pada Devano. Ah, kesal! umpatnya dalam hati.
"Kenapa gugup gitu? Jangan bilang kalau kamu terpesona padaku," Devano tersenyum jahat, ia berhasil membuat suasana hati Dea jadi canggung.
"Sudah selesai tugasnya?" Dea mengalihkan pembicaraan dengan membahas hal lain.
"Udah, nih." Devano menyodorkan kertas hasil keerjanya, Dea lalu memeriksanya dengan teliti. Ia terkejut saat mendapati semua soal di jawab dengan benar. Padahal soal yang ia berikan hari ini lebih sulit dari yang ia berikan saat di kelas. Jangan_jangan, Devano hanya pura-pura bodoh? itu yang Dea pikirkan saat ini.
"Kamu hanya pura-pura bodoh? Atau sengaja biar aku jadi guru privat kamu?" Dea menunjukkan rasa curiganya pada Devano. Tapi cowok itu dengan santainya tiduran di atas karpet tanpa perduli ada Dea di sana.
"Aku untuk ulangan yang kemarin memang sengaja jawab salah. Tapi untuk les privat ini, aku nggak bohong, ini mau mamaku. Alasannya, karena nilaiku menurun dalam sebulan terakhir ini. Jadi, aku minta tolong padamu, banti aku supaya setelah ini nilaiku naik lagi. Aku nggak mau mamaku sedih," Curhat Devano. Satu puzzle sudah terbuka. yang membuat Devano seperti ini, jelas saja faktor keluarga.