Devano pulang ke rumah dengan wajah lesu karena gagal mengantarkan Dea pulang ke rumahnya. Ia sedikit menyesal karena bertindak sekonyol itu. Seharusnya ia tidak sembarangan menurunkan Dea di jalanan.
Ia masuk ke kamarnya. Menaruh tas di gantungan belakang pintu dan mengganti seragamnya dengan baju santai. Ia lalu ke luar kamar untuk makan siang.
"Dev, sini dulu. Mama mau ngomong sama kamu," Mama sudah duduk di kursi keluarga menunggu kedatangan Devano.
"Ada apa ma?" Tanya Devano heran dengan sikap mamanya. Tidak biasanya mamanya bersikap dingin dan serius.
Mamanya meletakkan tumpukan kertas. Devano tahu, itu kertas ulangannya akhir-akhir ini yang buruk nilainya dan ia simpan di bawah lemari. Mungkin saat pembantunya menyapu, ia menemukan kertas itu.
"Apa ini? Kenapa semua nilai kamu menurun? Mama kecewa sama kamu," Tante Dewi merengut. Selama ini ia sangat membanggakan putranya yang jadi salah satu siswa unggulan dengan nilai yang bagus.
"Maafkan Dev ma, Dev akan berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan nilai bagus lagi," Devano menunduk. Ia merasa bersalah. Menurunnya nilai yang ia alami saat ini adalah bentuk dari kecemasannya terhadap sikap papanya yang mulai acuh belakangan ini. Ia sangat merindukan ayahnya yang biasanya. Ayah yang selalu memperhatikan dan menemaninya belajar di saat waktu senggang. Sekarang, pulang ke rumahpun jarang beliau lakukan.
"Maafkan mama, Dev. Kali ini kamu harus mama sewakan guru privat. Mama akan cari guru privat secepatnya dengan memasang iklan di internet. Kamu harus setuju," Kali ini mamanya tegas. Tentu saja Devano tidak senang. Selama ini dia belajar dengan keras karena ia tidak ingin di ajari oleh orang asing.
"Tidak ma, Jika memang Dev harus di ajari oleh seorang guru privat, biarkan Dev yang mencarinya sendiri," Usulnya. Dia sendiri juga tidak tahu, siapa yang akan ia tarik menjadi guru privatnya. Yang penting mamanya menyetujui usulnya terlebih dahulu.
"Baik. Mama kasih waktu kamu satu minggu. Mama harap kamu tidak mengecewakan mama lagi, Dev. Ayo kita makan, mama tau, kamu pasti lapar kan? Mama udah masakin makanan kesukaan kamu.." Mamanya lebih dulu berjalan ke meja makan. Ia memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan iba.
Sampai kapan, mama akan menutupi semuanya dari Dev,ma. Mama pasti juga merasakan hal yang sama kan? Mama pasti juga merindukan papa, Dev tau itu,Batin Devano trenyuh. Ia kemudian bangkit dan menyusul mamanya ke meja makan.
Sementara itu...
"Setelah aku membaca arsip nilai Devano sekilas di kantor tadi, nilainya semuanya bagus. Kecuali satu bulan terakhir ini. Nilainya mulai menurun, bahkan ada yang sangat drastis di beberapa pelajaran. Ini pasti ada yang tidak beres," Dea berkata seorang diri sambil mondar-mandir di dalam kamarnya yang bernuansa pink itu.
"Tepat seperti dugaanku, sebenarnya Devano anak yang pintar, seharusnya ia bisa dengan mudah menyelesaikan soal yang ku berikan padanya tadi. Apa mungkin, ada sesuatu yang membuat dia seperti itu? lalu faktor apa? Teman-temannya yang nakal? Sepertinya bukan. Atau aku perlu menyarankan pihak sekolah untuk menemui orangtuanya? Aku kan hanya guru pembantu, belum tentu di izinkan," Dea masih berbicara seorang diri, dengan wajah penuh kebingungan. Ia memukulkan pena ke pipinya berulang kali sambil mencari ide.
"Mungkin sebaiknya, besok aku musyawarah dulu dengan Ryan. Siapa tahu dia punya solusinya." Putusnya, Dea akhirnya keluar kamar karena perutnya yang lapar dan ingin segera memakan sesuatu.
Keesokan harinya...
"Tin..tin.." Suara klakson motor Ryan berkali-kali terdengar. Dea segera berpamitan pada ayahnya dan segera berhambur ke luar.
"Tumben pagian, Yan?" Tanyanya pada sahabatnya yang gempal itu seraya naik ke jok belakang motornya.
"Kan kamu semalem bilang, mau curhat. Jadi aku ajak kamu berangkat pagi supaya kita bisa sambil rumpi di jalan. Jadi apa yang kamu mau omongin sama aku?" Tanya Ryan yang gaya bicaranya kadang mirip dengan seorang perempuan.
"Aku mencurigai sesuatu tentang Devano," Kalimat pembukaku sengaja aku ucapkan dengan nada seperti di film horror.
"Anak itu lagi? haduh, pusing deh. Setiap hari selalu bahas dia." Omel Ryan yang masih kesal dengan perlakuan Devano kemarin pada sahabatnya itu.
"Aku serius Ryan. Aku kemarin sempat lihat arsip nilai dia, anehnya.. nilai dia menurun sejak satu bulan terakhir," Kataku serius.
"Terus memangnya kenapa kalau nilainya buruk? itu bukan urusan kita. Lagipula tugas kita hanya mengajar," Sahut Ryan sedikit ketus.
"Ini peluang untuk kita. Tugas kita kan menyelidiki paikologis seseorang dan harus ada kasus yang kita pecahkan. Ini kesempatan kita." Aku mengingatkan kembali tema skripsi yang akan kami kaji.
"Betul juga sih, lalu apa yang harus kita lakukan?" Ryan tampak mulai tertarik pada pokok pembicaraanku.
"Aku ada ide, Yan. Gimana kalau kita menemui orangtua Devano?" Aku mencetuskan ideku.
"Ngeri nih. Gimana kalau orangtua Devano galak kaya macan tutul? Aku bisa ngompol De," Mulai timbul perasaan minder Ryan. Sejujurnya ini sifat Ryan yang paling Dea benci. Dea suka cowok yang tegas, sedikit jahil dan cerdas, seperti Devano. Tapi tentu saja orang itu bukan dia.
"Alasanmu itu tidak masuk akal. Kalau kamu tidak mau membantuku, biarlah aku saja yang menemui orang tua Devano," Kata Dea tegas. Ia menemukan masalah Devano sebagai bahan tugas final KKN nanti.
Sesampainya di sekolah...
Dea kembali melihat Devano di tiang yang sama saat ia memasangkan plester ke wajahnya yang lebam. Devano memang sengaja menunggu Dea. Ia ingin minta maaf soal mempermainkan Dea kemarin. Ini pertama kalinya ia meminta maaf setelah berbuat jahil kepada seseorang.
"Dea, aku mau bicara padamu. Kamu ada waktu?" Tanya Devano saat jaraknya dan Dea kurang dari dua meter. Tentu saja Dea akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Siapa tahu akan ada peluang untuknya masuk dalam permasalahan Devano.
"Baiklah, jadi apa yang ingin kamu bicarakan padaku?" Dea berjalan ke arahbtaman dengan santai diikuti oleh Devano.
"Aku.. Aku minta maaf tentang keisenganku kemarin, Sebenarnya aku hanya bercanda," Devano lega akhirnya bisa mengungkapkan perasaan bersalahnya. Tentang jawaban Dea apa, ia tidak perduli.
"Soal itu? lupakan saja. Aku bukan tipe orang pendendam. Kalau tidak ada yang di bicarakan lagi, aku mau masuk kantor dulu," Dea berlalu dari hadapan Devano.
"Tunggu!" Devano menghentikan langkahnya, lalu Dea balik badan ke arah remaja itu.
"Apa lagi?" Tanyanya dengan senyum tulus, seolah-olah tidak pernah ada apapun di antara mereka.
"Maukah kamu jadi guru privatku? Aku butuh seorang guru, mamaku yang minta. Beliau akan menggajimu, empat juta per bulan." Kata Devano sopan. Ia sangat berusaha agar tidak menyinggung perasaan Dea.
Dea tentu saja sangat tertarik. Selain mendapat gaji, tentu saja ia mendapat jalan untuk menyelidiki masalah yang sedang di alami Devano saat ini.
"Baik. Aku bersedia. Berapa nomor hapemu?" Dea mengeluarkan smarthphonenya dan menyerahkan pada Devano untuk mencatatkan nomornya. Dengan sigap cowok tampan itu mencatatkan nomornya di handphone gurunya itu dan menyerahkannya kembali.
"Ini. Segera chat, agar aku bisa memberitahumu alamatku. Mulai siang ini." Devano meninggalkan Dea yang masih termangu. Ia terbelalak saat melihat nama kontak Devano di numberlistnya 'Si Manis'
"Manis apanya, Tengil gitu," Gumamnya sambil tersenyum dan melangkahkan kaki pasti menuju ruang kantornya.
Siang harinya...
"Ini pasti Bu Dea ya? guru privat Devano?" Tante Dewi menyambut Dea secara langsung.
"Iya, Tante. Saya Dea. Tidak perlu memanggil dengan sebutan ibu. Sebenarnya saya hanya seorang mahasiswa yang sedang KKN dan menjadi guru pembantu di sekolah Devano," Dea menjelaskan jati dirinya dengan jujur di depan Tante Dewi.
"Iya, saya sudah tahu, Devano sudah bercerita banyak tentang kamu. Kata dia, meskipun kamu hanya guru pembantu, tapi kamu sangat pandai dan tegas, makanya Devano merekomendasikan kamu untuk menjadi gurunya," Cerita Tante Dewi. Benarkah Devano hanya cerita itu? Apa dia tidak cerita yang lain? Batin Dea berkecamuk.
"Itu terlalu berlebihan tante. Saya tidak sepandai itu," Aku merendah. Semoga saja aku bisa membantu Devano memperbaiki nilainya.
"Ya sudah, kalian bisa mulai belajarnya. Biar tante panggil dia keluar," Tante Dewi meninggalkan Dea di ruang keluarga rumah Devano yang sangat luas. Lebar ruang keluarganya saja tiga kali lipat dari luas ruang tamunya di rumah.
"Hai, sudah datang..." Devano turun dari tangga. Penampilannya yang sederhanana begitu memukau Dea. Devano tersenyum dengan senyuman yang berbeda. Ia seperti terhipnotis beberapa saat.
"H-hai, Dev." Dea gugup. Aish, biasanya aku tidak pernah seperti ini, gumam dea dalam hati.