apa yang kini kau anggap berharga itu tidak berarti apa apa. ketika kau hilang ditelan dataran tak berujung. tahulah kau bahwa yang tak pernah kau hargai itu yang sebenar penting.
****
Sera membuka matanya pelan palan. Secercah cahaya terang menyilaukan mata hijaunya yang mengerjap ngerjap resah menyesuaikan keadaan. Kepalanya pusing, perutnya mual dan telinganya berdenging kuat saat sebelum ia sadar, ia merasa bahwa dirinya tersedot kedalam lubang gelap tak berujung dan mengguncang jiwa raganya hingga ia merasa rohnya keluar dari dalam tubuh.
Mata sera membelalak, dadanya naik turun, bibirnya pucat ketika ia mendapati dirinya kini tengah berada dalam lautan manusia yang tengah berjalan kesatu arah yang tidak ia ketahui ujungnya. Dia panik, karena dia tidak mengetahui dimana dirinya berada. Sejauh matanya memandang, dia tidak menemukan satu bangunan atau satu makhluk hidup lain yang ia tahu bentuknya disana.
Dia hanya bisa melihat hamparan tanah kosong yang teramat sangat luas, dengan sinar terik matahari yang anehnya terasa banyak sebab sera tidak dapat menentukan titiknya dimana, dan membuat ia merasa amat sangat kepanasan.
Tanah yang ia pijak tidak tampak, karena ditutupi oleh hal semacam asap pekat yang menenggelamkan bagian mata kakinya.
Dan, sera tidak bisa tidak terkejut lagi ketika ia menyadari bahwa dirinya berpakaian sama persis dengan orang orang yang menatap lurus kedepan sambil terus berjalan satu arah tersebut. sera merasa malu, bingung dan terkejut karena pakaian yang ia gunakan hanyalah kain panjang berwarna putih yang membalut tubuhnya dari bahu hingga ke bagian pinggang dan jatuh pada batas betis nya.
Tidak ada kaus nyaman yang biasa ia pakai, tidak ada celana jins ripped yang ia gilai. Tidak ada rok katun selutut yang biasanya ia lihat pada anak anak remaja yang melenggak lenggok saat memakainya. Dan ia bertambah ingin menangis lagi saat tahu dirinya tidak menggunaka alas kaki.
Sera ingin menangis sejadi jadinya. Kesadaranya benar benar telah pulih, dan ia sudah bisa berfikir tentang hal aneh yang kini tengah ia alami. Dia pastilah sudah mati karena kecelakaan naas yang menimpanya.
"Aku tidak percaya bahwa aku benar benar mati hari ini," ujarnya getir. "Padahal masih banyak hal yang belum kulakukan didunia." Lanjutnya.
Disapunya pandangan semampu matanya melihat. Matanya berlinang, bibirnya tersenyum getir karena keyakinannya bahwa ia benar benar telah mati. Sebab bumi yang ia kenal tidak tandus begini. Dan zaman ketika ia hidup tidak semembosankan ini. Sera tidak tahu harus apa, dan bagaimana. Dia tahu apakah dirinya harus mengikuti orang orang yang berjalan tanpa memeperdulikan dia yang panik sejak tadi? Atau berdiri saja ditempat ia kini hingga malaikat turun untuk menjemputnya ke surga? Atau neraka?
Dia tidak tahu dan dia tidak mengerti. Sera ingin sekali bertanya pada orang orang ini. namun, mereka tampak tidak ramah dan tidak peduli kepada siapapun. Mereka semua hampir terlihat sama dengan raut wajah datar tanpa ekspresi tersebut. Mereka terlihat tenang dan terus berjalan. Terfikir oleh sera apakah hanya dirinya yang tidak tahu perihal kehidupan setelah mati? Dia mengingat ingat tentang yang ia ketahui tentang kematian. Dan menyesalah dirinya karena dia memang tidak tahu apa apa.
Cukup lama sera berdiri ditempatnya itu, namun dia tidak tahu persis berapa lama sebab matahari terlihat sama teriknya dengan saat pertama kali sera terdampar dipadang tandus tersebut. karena kepanikannya, sera bahkan tidak menyadari bahwa dirinya tidak merasa lelah atau pegal mengingat dirinya yang tidak duduk untuk beristirahat sejak ia membuka mata.
Sebuah suara yang memenuhi langit langit terdengar menggema. Sera baru saja akan melangkahkan kakinya untuk berjalan mengikuti manusia manusia lain kembali diam. Sera merasa bingung terhadap suara yang ia tidak tahu berasal dari mana. Dia sampai menjulurkan kepalanya untuk melihat apakah ada seseorang diujung sana yang berbicara menggunakan pengeras suara? Namun dia kembali menormalkan diri karena ditempat seperti ini, sesuatu yang tidak masuk akal didunia adalah wajar.
"Selamat datang, selamat datang selamat datang wahai para murid baru," suara seorang wanita yang indah nan anggun menyapu pendengarnya. "Teruslah berjalan lurus kedepan sampai kalian tiba di gerbang emas besar nan agung. Kami akan tetap menunggu sampai kalian semua terkumpul untuk dapat melakukan pendataan. Selamat berjalan, dan sampai jumpa didepan gerbang emas" ujar suara diseberang sana.
Keheningan kembali menyapu tempat antah berantah tersebut. Sera mengernyit tidak mengerti. Kepalanya berfikir mengenai hal yang dikatakan oleh wanita diseberang sana tadi.
"Gerbang emas? Pendataan? Murid? Siapa yang wanita itu maksud murid? Aku? Oh bukan, kami?" Gumamnya kepada diri sendiri.
Sera akhirnya mengikut perintah suara tersebut. Dia berjalan kearah yang sama dengan orang orang yang ada disekelilingnya. Dia berjalan lurus, beriringan dengan segala manusia lain yang ada disana.
Sinar matahari tak kunjung meredup. Mungkin, jika ia masih hidup. Dia akan bersembunyi dibalik bayang bayang agar tak tersentuh matahari karena dia terlalu takut kulitnya akan berubah warna menjadi lebih gelap jika ia terus berada dibawah sinar seperti sekarang ini. Teman temannya akan mengejeknya hitam dengan kata kata kasar. Ibunya akan mengoceh panjang lebar menasehatinya tentang bagaimana pentingnya menjaga kulit.
Padahal, dia tidak masalah jika kulitnya benar benar hitam. Dia tidak memperdulikan itu. Sera tersenyum geli saat ia tak sengaja mengingat salah temanya, dara. Dia merupakan teman kelas sera yang teramat sangat centil. Sikapnya terlampau dewasa untuk anak seusianya. Dia sering kali mengomentari sera tentang setelan yang ia kenakan, atau tentang bagaimana buruknya kaca mata minus yang melekat diwajah sera.
"Aku ingin sekali menarik dara kesini. Mungkin dia akan menangis sejadi jadinya saat tahu bahwa dirinya berada dibawah sinar matahari dengan kain yang tidak bisa dikatakan pakaian dan yah, tanpa alas kaki" ujarnya geli.
Sera terus berjalan mengikut arus manusia. Matanya menyipit silau ketika menengadah keatas. Sadar dengan satu hal, ia terperanjat memeriksa wajahnya, terutama bagian mata. Tidak ada kaca matanya disana. Tidak ada kaca mata tebalnya. Tapi dia bisa melihat dengan jelas.
Namun lagi lagi, sera menormalkan keterkejutannya.
"Yah, semua hal yang tidak masuk akal didunia akan sangat wajar disini. Bahkan mungkin, sebentar lagi aku akan melihat kuda berkepala manusia. Atau, ular berkaki lima belas. Seperti yang ada di buku magic yang kubaca- ah.. buku magic itu" ujarnya kembali bersedih.
Sera memutar ingatanya saat hari terakhir dia didunia. Dia menyesali hari itu. Andai saja dia tidak keluar rumah dan tetap diatas tempat tidurnya. Atau andai saja dia pulang lebih awal. Atau andai saja dia menerima ajakan pustkawati itu. Mungkin, dia tidak berada ditempat ini sekarang. Mungkin dia tengah tidur siang dengan bonek beruang kesukaannya.
Sera terus berjalan, Hingga ia menatap kesatu arah didepan dengan terkagum kagum dari tempatnya ketika matanya menangkap sebuah gerbang emas berkilauan yang teramat sangat memukau.
Gerbang tersebut begitu indah dan berkilauan karena benar benar terbuat dari emas. Gerbang tersebut sangat tinggi, sampai sampai sera tidak bisa melihat ujungnya mesti kepalanya telah menengadah dan matanya perih karena silau.
Sera juga tidak bisa melihat sampai mana batasan gerbang yang panjangnya bukan main.
Sera tiba didepan gerbang agung tersebut. Matanya berbinar takjub, saat menyentuh logam mahal yang kemilau didepan matanya. dia memalingkan kepalanya kesegala arah untuk memastikan bahwa orang orang tidak akan memperhatikanya. Karena dia selanjutnya melakukan tindakan memalukan untuk memastikan rasa penasarannya terhadap gerbang tersebut.
Sera memang gila. dia benar benar melakukan hal yang biasanya manusia manusia yang masih hidup lakukan untuk memastikan kemurnian emas. Ya, dia mengigitnya. Sera mengigit salah satu garis tiang yang ada didepan wajahnya dengan muka yang terlihat rakus. Dia benar benar mengigitnya bahkan ketika semua orang yang ada disana akhirnya bereaksi dan melihat tingkah konyolnya.
Sera menyadari tatapan tatapan tersebut. Masih dengan mengigit gerbang, dia tersenyum canggung dan melepaskan gigitanya. Dan bertambah malu lah ia ketika ada bagian emas menyangkut diantara sela sela giginya.
"Ah, itu.. aku hanya memastikan ucapan wanita tadi. Ternyata gerbang ini benar benar terbuat dari emas. Dia tidak bohong" ucap sera terbata bata ketika salah seorang pria disampingnya menatap ia aneh.
Gerbang besi nan agung tadi menggema terbuka. Diam diam sera mengelus bagian gerbang yang tadi ia gigit disertai bisikan terimakasih. Karena semua orang yang tadi melihatnya kini kembali melihat kearah dibalik gerbang.
"Selamat datang di gerbang agung. harap sekalian semua melihat kearah tanah. Dan ikuti jalur berwarna hijau yang ada dibawah kaki masing masing dari kalian. Ikuti terus hingga kalian bertemu dengan daratan tingkat pertama. Pastikan kalian sampai kesana. Terimakasih" ujar suara tadi.
Satu persatu orang orang yang ada disana berjalan kearah berbeda. Mereka berpencar, berjalan mengikuti tanda masing masing yang ada dibawah kakinya. sera menunggu tanda yang dikatakan wanita tadi. Namun, setelah hampir seluruh orang pergi. Tanda tersebut tidak juga muncul dibawah kakinya.
Sera panik. Karena kini hanya tersisa dirinya didepan gerbang yang masih terbuka. Tidak ada orang disana melainkan dirinya. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Dia takut tersesat dan berakhir ditempat yang lebih buruk dari ini. Matanya berlinang, dia terus saja menunduk dan mengutuk tanah dibawah kakinya. Beberapa kali dia menggeserkan kakinya ke samping kanan atau kari, berharap jika tanda tersebut segera muncul jika dia berpindah.
"Tanda sialan.. kenapa tidak muncul juga.." ujarnya panik.
Sera merasa benar benar sial akan dirinya. Dia merasa bahwa dirinya benar benar tidak dianggap bahkan ketika sudah mati. Sewaktu dia dari lahir dan sampai dia menjelang ajal, sera memanglah tipe anak yang lebih memilih untuk tidur siang dari pada harus mengejarkan tugas sekolahnya. Dia juga tipe yang cengeng karena sejak tadi dirinya selalu hampir menangis. Dia juga tidak berpendirian terhadap sesuatu. Tapi sisi baiknya, dia selalu optimis pada apa yang dia usahakan.
Tapi sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu tempat apa sebenarnya ini. Dia tidak tahu akan kemana. Dia rindu ibunya, dia rindu ayahnya. Dia rindu hidupnya. Dia menangis sejadi jadinya. Suaranya menggema dipenjuru dataran. Dia meraung sembari terduduk. Kaki nya menghentak hentak. Dia menunduk, sehingga rambutnya menutup hampir seluruh wajahnya yang memerah.
"Tolong.. siapapun.. tandanya tidak ada..," ujarnya meraung.
"Aku sendiri.. tolong.. aku bisa mati dua kali disini.."
"Tanda tak hijau pun tidak apa apa.."
"Siapapun.. aku sekarat.."
Dia terus mengoceh dengan tangis yang mengiringi. Sera benar benar merasa mati dua kali.
****
jangan lupa vote dan comment untuk tinggalkan jejak.
salam, Alfa