PEPROMENO
CHAP 4
•
•
•
•
Juna menggerakan tubuhnya perlahan, merasa terusik dengan suara tangis Tita sejak tadi. Belum ada sejam ia tertidur setelah puas dengan kegiatan mereka, Juna sudah harus memaksakan diri membuka matanya lebar untuk berbalik menatap punggung telanjang Tita.
Tubuh gadis itu bergetar hebat seiring dengan isak tangisnya yang keluar.
Juna sudah berusaha menulikan diri dari suara tangisan Tita. Tapi sulit. Setiap ia mendengar itu, membuat dada Juna semakin berdenyut nyeri.
"Ta, jangan nangis. Gue gak bisa tidur."
Tita semakin menyembunyikan dirinya pada balik selimut. Demi apapun, Juna juga menyesal telah melakukan hal brengsek itu pada Tita, tapi tidak bisakah ia mendapatkan waktu tidur sebentar saja. Kepalanya benar-benar sakit.
"Ta ...," sentuhan di punggungnya membuat Tita bergerak menjauh ketakutan. Juna menarik tangannya kembali. "Jangan nangis ... gue minta maaf, okay?"
Tangisan itu semakin keras terdengar, dan kepala Juna rasanya semakin terasa berat. Juna masih mencoba mengendalikan emosinya agar tidak terpancing, karena sepertinya efek obat itu masih bekerja pada tubuhnya.
Butuh beberapa menit untuk Juna mengendalikan diri. Hingga perlahan ia mengacak rambutnya kasar dan bangkit dari tidur. Ia terduduk. Mengamati tubuh Tita yang terus bergetar.
"Elo mau gue apain, Ta? Udah kejadian, gue gak bisa balikin semuanya kayak semula. Kepala gue sakit banget denger lo nangis dari tadi! Please, berhenti!"
Tersentak. Mendengar bentakan itu membuat bahu Tita semakin bergetar dan batinnya terguncang hebat. Isak tangis itupun semakin membuat kepalanya berdenyut berkali-kali lipat. Juna mendesah frustasi. Bukan hanya Tita, pergumulan ini juga yang pertama kali untuk Juna. Maka itu, ia bingung harus berbuat apa.
"Oke, gue minta maaf! Sekarang pake baju lo, gue anter pulang." Juna lantas beranjak, memungut pakaiannya di lantai dan memakainya.
Tita terus menyembunyikan wajahnya yang sudah sangat berantakan. Seluruh tubuhnya remuk, sakit. Apalagi hatinya. Sungguh, Juna tidak akan tahu bagaimana rasanya jadi Tita saat ini.
"Ta.." Juna menghampiri sisi ranjang Tita, mengambil semua pakaian gadis itu yang berserakan di lantai, lalu menyerahkannya. "Pake baju lo."
Tita masih bergeming. Semakin menutupi wajahnya dari Juna. Ia sama sekali tidak berani menatap cowok itu.
"Gue minta maaf." Ujarnya lagi seraya menyentuh puncak kepala Tita.
Gadis itu kembali menjauh.
"Jangan sentuh Tita."
"Gue gak tahu harus gimana, Ta." Ia menghela napas kasar. "Semua di luar kendali gue."
"Kak Juna jahat."
"Iya gue tahu ... elo boleh maki-maki gue, boleh pukul gue. Tapi please, maafin gue. Gue gak pernah berniat ngerusak lo. Kejadian ini murni kecelakaan."
Perlahan selimut yang menutupi kepala Tita tersibak. Hal pertama yang dapat Juna lihat adalah dua bola mata gadis itu yang menatapnya dengan linangan air mata. Dada Juna kembali berdesir ngilu.
"Kenapa Kak Juna lakuin itu ke Tita?"
"Gue gak sadar, Ta, ini bukan kemauan gue. Semuanya ulah temen-temen gue yang sengaja nyampurin obat itu ke dalam minuman gue!"
Juna sadar apa yang sudah ia lakukan pada Tita semua di luar kendalinya. Maka itu, pasti ada seseorang yang sengaja memasukan obat perangsang ke dalam minumannya dan membuat Juna melakukan hal itu pada Tita.
Siapa lagi kalau bukan Bobby, si manusia keparat!
"Terus Tita gimana?" Bibir Tita bergetar saat mengatakan itu. Rasa malu, hancur, takut, semua menjadi satu di dalam dirinya. Ia kotor. Ternodai. Dan yang lebih parah, Tita merasa ada yang hilang dari dirinya.
She lose her crown!
"Kita bahas nanti ya." Juna sendiri terlalu bingung untuk menyikapinya, yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba membuat Tita merasa tenang saat ini. "Sekarang lo pake baju dulu, nanti gue anter pulang."
"Nggak mau pulang," mata bening itu menatapnya tanpa binar. "Tita takut kalo papi tahu."
Juna terpejam sesaat, meraup udara sebanyak-banyaknya untuk memasok oksigen ke dalam rongga dada. "Iya, gak pulang. Tapi pake baju lo dulu."
Tita beranjak duduk sembari tetap berusaha menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Lalu ringisan kecil terdengar saat rasa sakit pada pangkal pahanya kembali terasa. Detik itu juga suara tangis Tita kembali pecah. Sungguh, Juna tidak akan pernah tau bagaimana rasanya hymen yang dirobek secara paksa.
"Kenapa nangis lagi?" Juna mengatakan itu dengan nada penuh keputusasaan. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Tita saat ini.
"Sakit," rengeknya. "Sakit banget."
Juna mendesah pasrah, bahkan bahunya sampai merosot lemas. "Mau gue pakein?"
Tita menggeleng sembari menghapus air matanya. Kemudian mencebik, bagaimana bisa ia membiarkan Juna melihat tubuhnya lagi. Yang semalam saja Tita sudah merasa sangat malu.
"Ya udah buruan pake."
"Kak Juna jangan lihat." Tita segera meraih semua pakaiannya yang berada di tangan Juna. Mendekapnya menjadi satu. Wajah Tita tiba-tiba merona saat menyadari Juna sedang memegang dalamannya. Tita segera merampas itu. "Kak Juna balik badan."
Juna menggeleng samar seraya menghela napas. Ia sudah tidak punya kekuatan lagi untuk berdebat kali ini. Apapun itu, asal Tita tidak merengek, Juna pasti akan menuruti.
Lantas yang ia lakukan selanjutnya adalah membalikan badannya, lalu memunggungi Tita dengan cepat. Juna hampir saja menyemburkan tawanya ketika melihat pantulan kaca meja rias di depan sana. Ia bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan Tita di belakang punggungnya.
Gadis itu tidak menyadari kalau segala pergerakannya diamati oleh Juna dari sana.
Juna tersenyum lalu menggelengkan kepalanya gemas. Tita benar-benar sangat polos. Bagaimana bisa gadis itu menyuruhnya berbalik sedangkan di depan sana Juna masih bisa melihatnya dengan jelas.
Lalu ketika secara tiba-tiba Tita membuka selimut yang melilit di tubuhnya, Juna dengan cepat memalingkan wajahnya dengan kedua mata terpejam erat. Juna masih memiliki akal untuk tidak berlaku jahat pada gadis itu. Lagi.
Cukup lama Juna memejamkan matanya hingga kemudian suara Tita yang mengizinkannya berbalik, terdengar.
"Udah selesai?" Tita mengangguk. Hidungnya memerah dan matanya sembab. Bibir Tita yang mencebik juga terlihat lucu. Sungguh perpaduan yang sangat menggemaskan bagi Juna dari wajah Tita.
"Mau makan dulu gak?" tanyanya hati-hati.
Gadis itu mengangguk. "Mau, tapi Tita gak mau makan di sini." Jawaban itu terdengar sangat polos.
Perut Juna rasanya menggelitik. Lucu dan menggemaskan menjadi satu. Gadis mana yang masih bisa sepolos ini setelah keperawanannya direnggut paksa oleh seorang lelaki.
Tita itu aneh.
"Iya, kita cari makan di luar."
Ini masih pukul tiga malam atau menjelang pagi, paling hanya ada restoran cepat saji yang buka 24 jam. Juna sebenarnya tidak terlalu lapar, ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah ini dengan Tita.
Gadis itu membuntutinya keluar dari kamar hingga turun sampai ke lantai satu.
Keadaan rumah saat itu benar-benar berantakan. Botol alkohol dimana-mana, sampah makanan dan camilan berserakan, dan Juna juga bisa melihat ada beberapa kondom bekas yang berceceran di lantai.
Tapi Juna tidak peduli, yang ia pikirkan saat ini adalah membawa Tita keluar dari sana secepat mungkin sebelum Bobby melihatnya. Bisa gawat kalau cowok itu melihat Tita.
Bobby itu predator, tidak bisa melihat gadis cantik sebentar saja. Mau ataupun tidak mau, gadis-gadis itu pasti akan ia ajak ke atas ranjangnya.
Pokoknya tidak boleh.
Tapi ternyata, ketakutannya itu terjadi. Di langkahnya yang hampir mencapai pintu keluar, sebuah suara membuat kaki Juna tiba-tiba berhenti.
"Buru-buru amat lo?"
Juna melihat Bobby yang sudah mabuk menghampirinya. Lalu ia menggengam tangan Tita erat. "Gue mau anter temen adek gue pulang dulu."
Cowok itu melirik ke arah Tita yang berada di sebelah Juna. Ia tersenyum miring, menjilat bibirnya seolah Tita adalah santapan lezat.
"Serius temen adek lo? Bolehlah kalo gitu."
Juna langsung menyembunyikan Tita pada balik punggungnya. "Jangan dia."
"Pelit banget, Jun."
"Gue gak ada waktu, Bob." Ia masih mencoba menjawab dengan santai. Juna tidak suka keributan, apalagi dengan orang yang sudah ia anggap sebagai teman.
"Bekas lo, kan?" Bobby mendekat. "Bagi-bagilah, Jun. Gue gak masalah kok kalo nih cewek bekas lo."
"Gue gak mau ribut."
"Gak ada yang ngajakin lo ribut."
Pening yang bersarang di kepala Juna belum sepenuhnya hilang. Ia masih mencoba mengatur emosinya, namun perkataan Bobby seolah menyulut bara api di dalam dirinya berkobar semakin besar.
"Mending elo diem! Gue gak mau mukul siapapun saat ini, walaupun sebenernya gue kepengen banget mukul elo!"
Bobby tertawa sarkas, seakan meledek ucapan Juna barusan. Ia lantas bergerak mendekati Tita, membuat gadis itu semakin ketakutan dan menyembunyikan wajahnya di punggung Juna.
"Takut, Kak ...."
"Jangan takut, sayang—"
"Bob," Juna menahan tangan Bobby saat cowok itu hendak menyentuh Tita. "Sekali lo sentuh dia, gue pastiin pertemanan kita hancur."
****