PEPROMENO
CHAP 8
•
•
•
•
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah hampir sebulan setelah insiden dirinya dan Juna di malam pergantian tahun terjadi. Tita seolah melupakan itu karena terlalu sibuk dengan persiapan Ujian Nasional yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi.
Tita merasa waktunya sudah tersita hanya untuk belajar tanpa memikirkan hal lain. Apalagi semenjak pihak sekolah memberikan mereka jam pelajaran tambahan yang membuat seluruh murid kelas 12 selalu pulang ketika hari sudah menjelang sore.
Itu juga yang menjadi alasan Tita setiap kali Nadia mengajaknya menginap.
Setelah Juna mengantarnya pulang pagi itu, Tita tidak pernah lagi bertemu dengan cowok itu. Setiap kali Nadia mengajaknya untuk main atau menginap di rumahnya, Tita akan menolak dengan alasan ingin belajar untuk Ujian nanti.
Padahal Tita hanya ingin menghindar agar tidak bertemu dengan Juna lagi. Benar apa kata cowok itu, dengan tidak bertemu, Tita perlahan bisa melupakannya.
Bel pulang berbunyi setelah jam pelajaran tambahan berakhir. Semua murid langsung merapihkan buku-buku mereka dan keluar kelas sebelum langit mulai menggelap.
Nadia mendesah lelah, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. "Capek, Ta," keluhnya.
"Iya, aku juga," jawab Tita sembari melakukan hal yang sama seperti Nadia. "Kepala aku pusing banget, Nad. Lemes rasanya."
Nadia menoleh cepat ke arah Tita. "Kamu sakit ya, Ta?"
Tita menggeleng. "Enggak."
"Beneran? Kok pucet gitu." Nadia menegakan tubuhnya, lalu salah satu tangannya terangkat menyentuh kening Tita. "Gak panas sih, tapi kok bisa pucet kayak gitu, ya?"
"Gak tahu juga, Nad. Kemarin seharian aku mual banget, terus badan aku juga lemes. Tidur aku jadi gak tenang. Apa mungkin aku stres karena mau ujian ya?"
"Masa sih kamu sampe segitunya. Gak mungkin lah, Ta. Aku yang otaknya di bawah kamu aja gak begitu." Nadia menjenda sebentar. "Atau itu tanda-tanda kamu mau menstruasi, bulan ini kamu belum dapet kan?"
Tita langsung terdiam, dan jantungnya berdebar secara abnormal. Ia tidak berkutik saat ditanya seperti itu oleh Nadia. Tubuhnya kaku dalam sekejap saat mengetahui satu fakta yang sudah ia lewatkan. Sudah hampir sebulan ini ia tidak mendapatkan periode menstruasinya. Sejak malam tahun baru itu.
"Ta, hei?"
"Nad ...," pandangan Tita kosong ke depan. Menatap papan tulis di kelas. Pikiran Tita berkecamuk, ia masih terlalu muda, baru berumur 17 tahun dan sebentar lagi akan menghadapi Ujian Akhir. Tidak mungkin kan kalau ia hamil?
"Ada apa sih, Ta, kamu abis lihat setan ya? Jangan bikin aku takut gitu dong." Nadia mengguncang bahu Tita pelan. "Udah yuk pulang aja, aku jadi takut."
Tita masih mencoba menyangkal pikiran-pikiran buruk yang berputar di kepalanya. Tidak, ia hanya kelelahan saja, karena sibuk mempersiapkan Ujian Nasional hingga membuatnya telat menstruasi. Ia hanya sedang stress saja.
"Tita!" Ia tersentak, buru-buru meyadarkan dirinya dari pikiran buruk dan kemudian menatap Nadia dengan senyum tipis. "Kamu ngelamun bikin aku takut tahu, Ta."
"Oh ... hehe, maaf ya."
"Pulang yuk," ajak Nadia lagi.
Tita lalu beranjak dari kursinya, merapihkan barang-barangnya dan keluar dari kelas bersama Nadia. Perasaan Tita masih belum tenang, ada rasa takut yang sangat besar melingkupi dirinya.
Bukan hamil, Ta, bukan. Kamu cuma kelelahan aja.
"Kamu dijemput, Ta?"
"Hah? Kenapa?" Jawab Tita gelagapan.
Nadia mendengkus. "Ngelamun mulu sih kamu ... aku tanya, kamu dijemput?"
"Enggak, aku naek ojol aja."
"Mau bareng gak? Aku dijemput abang nih."
"Hah?" Lagi-lagi Tita dibuat blingsatan mendengar itu. Gawat, Juna akan menjemput Nadia dan secara otomatis ia akan bertemu dengan cowok itu. "Emm ... gak usah, Nad, aku udah pesen ojol."
"Batalin aja."
"Gak bisa, Nad. Lagian aku mau beli sesuatu dulu."
"Nah ... karena mau beli sesuatu makanya bareng aku aja." Nadia memaksa.
Duh ... Tita jadi pusing. Rasa mual di perutnya kembali datang dan sekujur tubuh Tita langsung panas dingin, apalagi ketika matanya melihat tubuh Juna yang sedang bersandar pada badan mobil dengan rokok terselip di jari tangannya.
"Abang ...."
Juna menoleh saat mendengar panggilan Nadia. Dari raut wajah yang Tita lihat, tidak ada keterkejutan sama sekali di wajah Juna saat melihat dirinya. Sudah seharusnya memang seperti itu, mereka kan sudah sepakat untuk tidak mengingat kejadian yang terjadi di malam tahun baru itu.
"Tita ikut yak, Bang. Kasian dia gak dijemput."
"Gak usah, Nad." Tita menolak, matanya berpaling tidak ingin melihat Juna. "Aku naek ojol aja, nanti juga mau beli sesuatu."
"Gak pa-pa, nanti bang Juna anter. Iya kan, Bang?"
Juna mengangguk, sembari membuang putung rokoknya ke tanah. Ia menatap Tita yang menunduk. "Emang mau beli apa?"
Untuk pertama kali selama sebulan mereka tidak bertemu, suara Juna kembali terdengar di telinganya. Tita seketika menjadi salah tingkah.
Tita mau beli testpack, kak, testpack! Gara-gara kamu nih!
"Gak penting sih ... besok aja deh aku belinya."
"Bener?" Tanya Nadia memastikan.
"Iya, gak apa-apa kok, besok juga bisa," balas Tita meyakinkan.
***
Perjalanan dari sekolah ke rumah jadi terasa begitu lama. Entah kenapa, padahal biasanya Tita hanya membutuhkan waktu 30 menit saja untuk sampai ke rumah. Selama di mobil, baik Tita dan Juna tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar suara Nadia yang terus mengoceh sejak tadi.
Tita merasakan dadanya berdebar tidak karuan, dan tubuhnya mendadak gelisah. Sejak mereka bertiga masuk ke dalam mobil, Juna tidak lepas memandangi Tita dari balik kaca spion yang ada di dalam. Sesekali ia menatap ke arah jalan raya, lalu kembali memandangi Tita.
Tentu saja aksinya itu menyulut kegugupan pada diri gadis itu, hingga Tita hanya bisa menunduk sambil meremat tali tas sekolahnya dengan gelisah.
"Ta, kamu kenapa sih sekarang jadi gak pernah nginep di rumah aku?" Nadia bertanya, membuat Tita mengangkat wajahnya, lalu berpaling saat matanya tidak sengaja menatap mata Juna dari balik spion.
"Aku kan harus belajar, Nad."
Nadia mendengkus. "Kamu kan udah pinter, gak usah belajar terlalu keras, Ta."
"Tapi tetep harus belajar, Nad," balas Tita.
Lalu tiba-tiba Juna menyahut, "emangnya elo, gak pernah belajar."
"Gue belajar kok." Nadia mencebik tidak terima ke arah abangnya.
"Apaan gue lihat lo maenan hape mulu."
"Emang harus di depan lo kalo mau belajar!" balas Nadia nyolot. "Lagian, gak bagus belajar banyak-banyak, tuh kayak Tita."
"Kenapa aku?" tanya Tita bingung.
Nadia memiringkan tubuhnya. "Bang Juna tahu gak? Tita pucet banget tadi, terus dia bilang kalo kemarin dia mual-mual, itu gara-gara Tita kebanyakan belajar tau!"
Tita langsung menelan ludahnya dengan susah payah. Membicarakan ini di depan Juna mengapa rasanya berdebar sekali. Tita sampai bingung harus menjawab apa. "G—gak karena itu kok, Nad."
Nadia menoleh ke belakang. "Karena apa?"
Mata Tita tidak sengaja bertrubrukan dengan mata Juna dari balik kaca spion. "Itu—"
"Jangan bilang karena kamu kebanyakan pacaran sama Rama," sambar Nadia.
Kaki Juna sontak menginjak rem secara mendadak hingga tubuh Nadia dan Tita langsung terdorong ke depan. Suara decitan ban mobil yang beradu dengan aspal terdengar nyaring di sana.
"Apa sih, Bang!" sergah Nadia kesal karena kepalanya hampir menyentuh dashboard mobil.
Tita meringis, lalu memperbaiki duduknya sembari menyentuh keningnya yang terbentur jok penumpang tadi.
"Kamu gak apa-apa, Ta?" Tanya Nadia khawatir.
Tita menggeleng dengan tangan masih mengusap keningnya. "Gak apa-apa, Nad, cuma kejedot jok tadi."
Nadia meradang, memukul pundak sang kakak dengan keras. "Kenapa sih lo, Bang, kalo ngerem jangan dadakan gitu dong. Untung Tita gak kenapa-napa!"
Tidak memperdulikan kemarahan Nadia, Juna malah menoleh ke belakang, menatap Tita lalu bertanya, "elo punya pacar?"
"Hah?" Tita jadi melongo bingung. Tatapannya bahkan seperti ayam yang sebentar lagi akan mati.
"Iya, namanya Rama." Nadia yang menyahuti. "Lagian kenapa sih, Bang? Sampe ngerem mendadak kayak gitu cuma mau nanyain pacarnya Tita?"
"A—aku gak punya pacar kok," sela Tita meluruskan. "Rama cuma temen."
Juna mendengkus, lalu menatap Nadia tajam. "Lo jangan asal ngomong, dia bilang cuma temen."
"Ya kan gue lihatnya kayak pacaran, lagian bukan urusan lo! Kenapa jadi lo yang nyolot?" balas Nadia tidak terima.
"Itu namanya fitnah!"
"Gue gak fitnah, gue ngomong di depan orangnya kok. Iya gak, Ta?"
"Hah?" Tita kembali melongo bingung. Sebenarnya siapa yang sedang mereka perdebatkan?
"Ish! Kalo bukan adek udah gue turunin lo!" gerutu Juna kesal.
Ia kemudian kembali menjalankan mobilnya. Sedikit merutuki diri kenapa harus begitu terkejut mendengar Tita memiliki pacar. Memangnya ia siapa?
"Dasar aneh," cibir Nadia.
Suasana mobil kembali menjadi hening. Juna memilih untuk fokus pada jalanan di depannya sambil mentralkan denyut kepalanya yang tiba-tiba memanas ketika mendengar Tita memiliki pacar. Ralat, bukan pacar! Tapi teman.
Sedangkan Tita hanya menunduk bingung, mencoba menerka-nerka tentang perubahan sikap Juna barusan.
Dan Nadia? Gadis itu mulai sibuk memainkan handphone-nya dengan wajah berseri-seri tanpa menyadari keanehan pada dua orang lainnya di dalam sana. "Lo tahu rumahnya Tita kan, Bang?" tanyanya setelah setengah perjalanan terlewati.
"Iya." Hanya sahutan dingin yang keluar dari bibir Juna, tapi mata cowok itu tidak lepas memandangi Tita dari kaca spion.
Tita kembali menyadari itu.
Ini bahaya, bisa-bisa jantungnya terjun bebas ke dasar perut nanti. Dengan menguras akal di dalam otaknya, Tita secara perlahan menggeser duduknya ke kiri sedikit demi sedikit hingga kaca spion yang menggantung di atas sana tidak lagi terpantul ke arahnya.
Tanpa disadari, Juna tersenyum dari balik kemudi saat melihat itu. Tita benar-benar menggemaskan, enak untuk dijahilin. Lalu ide jahil muncul di kepalanya. Dengan perlahan Juna membetulkan kaca spion itu, merubahnya ke kiri hingga kemudian kembali memantulkan wajah Tita di dalamnya.
Duh ... Tita jadi ingin cepat-cepat sampai rumah.
"Ta ... Tita."
"Hah? Ya, Nad, kenapa?"
Kepala Nadia menyembul dari kursi depan. "Ngapain sih duduk mojok kayak gitu."
Tira menyengir kaku. "Gak apa-apa, enak aja."
Juna lalu terkekeh pelan. Tita bisa melihat itu. Ia malu ... benar-benar malu. Ada apa sih dengan Juna? Kenapa cowok itu tiba-tiba berubah seperti tidak terjadi apapun di antara mereka.
Tita harus bagaimana sekarang?
****