PEPROMENO
CHAP 9
•
•
•
•
Tita terbangun dengan rasa nyeri di kepala. Perutnya terasa sakit sekali, seperti ada yang mengaduk-aduk di dalam sana. Tita juga merasakan mual yang begitu hebat. Ia mencoba bangkit dan terduduk di atas ranjang. Keningnya tidak panas, dan tenggorokannya juga tidak sakit. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya?
Kemarin setelah Juna mengantarnya pulang, Tita berencana untuk membeli testpack. Tapi ternyata papi pulang kerja lebih awal, jadi Tita mengurungkan niatnya. Sebenarnya Tita takut, ia takut kalau apa yang ada di pikirannya menjadi kenyataan. Tita tidak ingin membuat papi kecewa. Di hidupnya, hanya papi lah yang Tita punya.
"Ta ... Tita." Suara papi terdengar dari depan pintu bersama ketukan halus. "Sudah bangun, sayang?"
"Udah, pih."
"Kalau gitu buruan mandi, nanti papi anter ke sekolah."
Tita tidak ingin sekolah hari ini. Ia merasa sangat lemas, dan kepalanya berdenyut nyeri. Terlebih, Tita merasa tidak tenang sejak kemarin. Sejak ia mengetahui satu fakta yang terlewati. Ia telah melewatkan periode menstruasinya.
"Pih," panggilnya lemah.
"Ya?" Tak lama pintu kamarnya terbuka. "Ada apa?"
"Tita gak sekolah ya, pih. Kepala Tita pusing." Ujarnya masih terduduk di atas kasur.
Papi mendekati, berjalan pelan ke sisi ranjang. "Kamu sakit?" Tangannya menyentuh kening Tita.
"Tita gak enak badan, pih. Pusing, mual. Tita gak kuat ke sekolah."
Papi melihat jarum jam di tembok. "Papi gak temenin gak apa-apa? Papi ada meeting sama bos besar."
Tita tersenyum mengangguk. "Gak apa-apa. Papi kerja aja."
"Tapi jangan lupa minum obat ya? Nanti papi izinin ke sekolah."
"Iya, pih."
Papi mencium kening Tita. "Cepet sembuh sayang."
Tita membalasnya dengan anggukan sendu. Melihat senyum papi membuat rasa bersalah di hati Tita semakin besar. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pikiran-pikiran buruk terus bersarang di kepalanya. Tita mencoba tenang di tengah perang batin, berusaha untuk menahan tangisnya.
Membuat papi sedih adalah hal yang paling Tita hindari. Masih jelas di ingatannya ketika papi harus kehilangan mami, untuk pertama kalinya Tita melihat papi menangis. Tita tidak ingin membuat papi kecewa dan malu.
***
"Jadi elo mau gimana?" Bima bertanya demikian saat mereka sedang berada di kantin kampus. Di depannya ada Juna yang sedang menyesap sebotol minuman bersoda. "Lo mau macarin Tita?"
Juna mengedik, meletakan minumannya ke atas meja. "Gak tau."
"Deh ... bocah goblok! Tau goblok kayak gini kaga gue temenin deh dulu-dulu!"
"Bukan gitu, Bim!" Juna merubah duduknya menjadi condong ke depan. "Elo bilang kan gue harus tanggung jawab. Setelah gue pikir-pikir, ada benernya juga. Kenapa gak gue pacarin ajah si Tita, kan lumayan buat ganti status, daripada jomblo! Senggaknya kalo gue pacaran sama Tita, jadi ada yang nemenin gue malem mingguan. Yaaa ... untung-untung gue bisa move on dari Arin."
"Jadi Tita cuma pelarian!?"
Juna mengedik, lalu berpikir sebentar. "Hmm ... Gak ngerti gue. Yang jelas, yaaa ... coba aja dulu."
"Tayiiii!" Bima mendengus, menatap Juna dengan wajah masam. "Anak kampret emang lo!"
"Lah, kenapa? Gue gak salah dong, setiap hubungan emang awalnya coba-coba dulu kan? Mencari yang terbaik, cocok atau enggak."
"Elo udah nidurin dia kampret! Masih aja dicoba-coba, emang yang kemaren nyoba gimana?"
Juna berdecak, melempar roti yang ada di depannya ke arah Bima. "Setan lo, Bim!"
"Ngerti gak sih lo sama kata tanggung jawab yang gue maksud? Elo udah buat kesalahan sama Tita, ya lo harus tanggung jawab!"
"Ini gue tanggung jawab."
"Sekarang gue tanya, kalo Arin minta balik lagi sama lo gimana?"
"Ya gue terima." Jawab Juna langsung tanpa berpikir.
"Tuh kan, emang kambing lo! Ke neraka aja sono lu biar jadi manusia api!"
Juna menghela. "Elo emosian mulu sih, Bim, kalo ngomong sama gue!"
"Otak lo, Jun, otak lo yang pinter waktu SMA itu kemana? Kebanyakan maen sama manusia kampret sih lo!"
Ia lantas berdecak. Omong-omong soal manusia kampret, Juna sudah tidak lagi bermain atau ikut nongkrong dengan Bobby dan teman-temannya. Sejujurnya Juna sangat berterima kasih pada Bima karena telah memukul Bobby saat itu. Seperti mewakili apa yang ingin ia lakukan pada cowok itu.
"Jangan diingetin lagi lah, udah males gue sama mereka."
"Udah gini aja lo baru sadar!"
Juna kembali berdecak. "Jadi sebenernya kita ngomongin apa sih?"
"Ngomongin tai kambing!"
***
Juna tidak berbohong tentang ucapannya yang ingin memacari Tita. Walau terkesan main-main, tapi ia serius ingin mencoba menjalani hubungan dengan gadis itu. Buktinya, saat Nadia mengatakan kalau Tita sedang sakit dan tidak masuk ke sekolah, Juna langsung mengendarai mobilnya menuju rumah gadis itu.
Di sinilah ia sekarang, berhenti tidak jauh dari pagar rumah Tita dengan satu buket bunga mawar dan sekotak cokelat yang ia beli tadi saat di perjalanan. Juna sengaja membeli itu untuk Tita, agar gadis itu mau menerimanya.
Beberapa saat ketika Juna hendak turun, ia melihat Tita yang sedang berjalan keluar dari pagar rumahnya, lalu menaiki ojek online yang sudah menunggu gadis itu di depan.
Semua tampak biasa saja, sampai Juna menyadari ada yang aneh dari penampilan Tita saat ini. Gadis itu terlihat memakai masker dan kaca mata hitam, dan kepalanya ditutupi dengan sebuah topi yang membuat dirinya sulit sekali dikenali. Tita benar-benar tampak sangat konyol dengan semua itu, membuat Juna tergelak kencang di dalam mobilnya.
"Gue baru tau cewek polos kayak Tita bisa segitu anehnya."
Karena penasaran akan kemana Tita pergi dengan pakaian seperti itu, Juna berniat untuk mengikuti gadis itu. Begitu ia hendak menyalahkan mesin mobilnya, tiba-tiba ponsel Juna yang berada di atas dashboard berdering.
Nama Arin tertera di layar.
"Iya, Rin?"
"Jun...Tolongin aku." Dari suara sahutan Arin terdengar sekali kalau gadis itu sedang ketakutan saat ini.
Juna termanggu di belakang kemudi. "Juna..."
"Kamu kenapa, Rin?"
"Jerry, Jun."
Satu nama yang membuat Juna tidak tenang. Dan dalam sekejap jari-jari tangannya mengepal erat. "Kamu diapain lagi sama dia? Dimana kamu sekarang." Tanyanya dengan panik.
"Juna, aku di apartemen. Jerry pukulin aku lagi. Aku mohon tolongin aku."
Kepala Juna rasanya memanas. Emosinya tersulut begitu saja saat mengetahui itu. Ia memukul setir mobil dengan kesal. "Tunggu aku di sana! Sebentar lagi aku sampe ke apartemen kamu."
****