PEPROMENO
CHAP 10
•
•
•
•
Setelah Papi berangkat kerja, Tita beranjak dari ranjangnya. Hari ini ia akan keluar untuk membeli testpack di apotek. Berbekal kaca mata hitam, masker, dan juga topi, Tita keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga hingga berhenti tepat di depan pintu rumah. Tangan Tita baru saja akan menyentuh handel pintu saat suara mbok Iyem memanggilnya.
"Mbak."
Tita mengerjap kaget. Mbok Iyem? Kapan wanita tua itu ada di rumahnya? Biasanya Mbok Iyem datang ke rumah setiap jam sebelas pagi, tapi ini baru jam sepuluh. Tita panik, ia dalam bahaya.
"Mbak Tita mau kemana?" Pertanyaan itu sukses membuat jantung Tita berdebar kencang. Ia mencoba tenang dengan menarik napasnya dalam-dalam, lalu berbalik setelah melepas kaca mata hitamnya.
"Oh ... Mbok udah di rumah?"
Mbok Iyem mengernyit dalam, seolah terkejut dengan penampilan sang majikan yang terlihat aneh. Mbok Iyem lantas menghampirinya. "Iya, tadi disuruh bapak datang lebih pagi, katanya Mbak Tita sakit."
"Oh ...," Tita menyengir kaku dari balik maskernya. "Iya, ini Tita mau ke apotek, mau beli obat."
"Owalah ... kalo gitu biar Mbok aja yang beli. Mbak Tita istirahat aja di rumah."
Tubuh Tita begerak gelisah. Duh ... masa iya Tita menyuruh Mbok Iyem beli testpack, bisa bahaya kalau Papi tahu. "En—nggak usah, Mbok. Tita aja, sekalian mau beli sesuatu."
"Memang Mbak Tita kuat?"
"Kuat kok. Tita udah mendingan, tadi juga udah tidur lama. Mbok Iyem di rumah aja jagain rumah, sama ...," Tita terdiam sebentar. "Tita mau makan sup ayam. Bikinin yaaa ...."
"Oke." Mbok Iyem mengacungkan ibu jarinya ke arah Tita.
Syukurlah, Tita bisa bernapas lega sekarang.
Sepeninggalan Mbok iyem yang kembali masuk ke dalam dapur, Tita kemudian melanjutkan langkahnya keluar rumah. Kembali memakai kaca mata hitamnya, dan memesan ojek online untuk mengantarnya menuju apotek yang terletak sangat jauh dari rumahnya. Tita melakukan itu untuk menghindari kecurigaan orang-orang yang ia kenal.
"Cari apa ya, Mbak?" Penjaga wanita itu menatap Tita takut-takut. Orang aneh mana yang datang ke apotek menggunakan kaca mata hitam dan topi? Tita memang terlihat sangat konyol saat ini.
"I—ituuu ... hmm." Tenggorokan Tita rasanya tercekat dan lidahnya mendadak sangat keluh. Padahal Tita sudah lancar berbicara sejak TK, kenapa tiba-tiba ia sulit mengungkapkan maksudnya saat ini.
"Mbak mau beli obat?" tanya sang penjaga yang mungkin sedikit mulai kesal. "Atau mau beli susu? Di sini juga jual susu."
"Bukan, Mbak." Duh, Tita jadi malu. Ia lantas memajukan tubuhnya, dan berbisik pelan ke arah penjaga toko tersebut. "Aku mau beli testpack, Mbak."
"Ohhh ... bilang dong, Mbak." Penjaga wanita itu langsung berdecak. "Udah banyak kok anak muda yang beli testpack di sini," ia memutar badan, mengambil beberapa macam testpack yang dijual di sana. "Yang masih pake seragam SMA juga banyak kok, jadi Mbaknya gak usah malu gitu. Lagian saya heran deh Mbak, anak-anak SMA kayak gitu kok gak mikir apa kalo mau berbuat mesum." dan meletakan seluruh testpack yang berbeda merk itu di depan Tita. "Harusnya mereka pake pengaman. Nanti kalo pacar mereka gak mau tanggung jawab gimana?"
Tita melongo takjub. Alih-alih bingung memilih testpack yang tersebar di atas meja etalase, ia malah tercengan dengan apa yang baru saja diucapkan oleh sang penjaga apotek.
Kalau dipikir-pikir, memang benar. Gimana kalo Kak Juna gak mau tanggung jawab?
"Mau yang mana, Mbak?"
Tita tersentak, membetulkan letak maskernya sembari mengamati deretan bungkus testpack yang berceceran di atas meja etalase. "Nghh ... Semuanya."
"Yakin, Mbak? Beli satu juga hasilnya pasti sama. Ini nih, Mbak, yang paling akurat." Satu bungkus testpack dengan merk clearblue tergeletak di depannya. "Beli yang itu aja."
Menghela napasnya, Tita berdecak dalam hati. Ribet banget sih, Mbaknya!
Tidak pernah ia merasa sejengkel ini pada orang asing. Ia hanya ingin membeli testpack, dan pergi dari sana secepat mungkin.
"Aku beli lima," ia menjumput asal bungkusan testpack di atas etalase, dan memberikannya pada sang penjaga apotek untuk dibungkus. "Sekalian sama yang merk ini." Lalu mendorong satu bungkus lagi yang telah direkomendasikan padanya.
Setelah membayar semua testpack yang ia beli, Tita kembali ke rumah. Sebelum masuk, Tita sudah menyembunyikan barang berbahaya itu ke dalam tasnya. Bisa ia lihat Mbok Iyem yang sedang menata masakan di atas meja makan menoleh saat pintu rumah terbuka.
"Udah pulang, Mbak? Kok lama?"
"Iya, Mbok, tadi Tita beli obatnya bukan di apotek deket sini." Ia melangkah semakin maju mendekati meja makan. "Wah ... sup ayam."
"Udah jadi nih, Mbak, ayo buru dimakan."
Tita mengangguk penuh antusias. Kedua matanya bahkan berbinar senang. Entah kenapa hanya melihat sup ayam saja Tita bisa sebahagia ini. Dari kemarin malam ia ingin sekali memakan sup ayam, tapi tidak ada yang membuatkannya.
Secepat senyumannya terbit, secepat itu pula menghilang saat Tita mengingat tentang testpack yang ia beli beserta alasannya.
Bibirnya merengut ke depan. "Nanti Tita makan deh, Mbok. Sekarang Tita mau ke kamar dulu ya. Ada yang mau dikerjain."
"Yowes, nanti kalo mau makan bilang Mbok aja, biar Mbok angetin lagi supnya."
Tita mengangguk sembari tersenyum tipis, ia lalu beranjak dari meja makan menuju kamarnya. Setelah masuk dan mengunci pintu rapat-rapat, Tita langsung mengeluarkan seluruh bungkusan testpack yang sudah ia beli.
Membaca petunjuk yang berada di belakang bungkusan, Tita merasakan jantungnya berdebar semakin tidak beraturan. Perasaan cemas terus melandanya, takut kalau ternyata ia benar-benar sedang mengandung anak Juna.
Tita masuk ke dalam kamar mandi, berdiri di depan cermin wastafel. Di tangannya sudah ada lima bungkus alat uji tes kehamilan dengan merk yang berbeda. Bersama hembusan napas berat, Tita merobek bungkusan itu membuat lima benda pipih tersebut berada di tangannya.
Hanya butuh beberapa menit setelah lima benda itu digunakan. Tita menunggu dengan cemas dan takut. Napasnya mulai terasa berat dan rasa mulas menyerang dirinya secara tiba-tiba. Ia berjalan kesana-kemari dengan kaki terseok-seok. Di dalam hati, Tita berdoa semoga hasil yang ia dapat dari kelima testpack itu adalah negatif.
"Tita mohon, ya Tuhan ...."
Dengan tangan bergetar hebat dan mata terpejam erat, Tita mengangkat satu testpack dari gelas urine. Sembari berhitung, lantas Tita membuka matanya, menatap benda pipih itu untuk mengetahui hasilnya.
Saat itu juga Tita merasakan dunianya hancur berkeping-keping. Tubuhnya linglung ke belakang hingga kemudian merosot jatuh ke atas lantai kamar mandi. Tidak bisa ia cegah, air mata Tita luruh begitu saja bersamaan dengan jatuhnya satu buah testpack bergaris dua dari tangannya.
Positif?
Ia hamil?
***
Hal pertama yang Juna temui begitu sampai di apartemen Arin adalah pintu apartemen yang tidak terkunci, lalu ruang tengah yang berantakan dengan pecahan kaca berserakan di mana-mana.
Juna membuka pintu kamar Arin dan mendapati tubuh gadis itu yang terduduk dengan kaki terlipat dan kepala meringkuk pada tangan. Juna mendekat, berjongkok di depannya.
"Rin ...," panggilnya sembari menyentuh lengan gadis itu.
Tubuh Arin seketika berjengit takut, dan dengan cepat ia bergerak mundur, membuat hati Juna meringis sakit.
"Hei ... ini aku Juna," katanya lagi dengan lembut dan mencoba menjangkau tubuh Arin. Perlahan getaran di tubuh gadis itu menghilang, dan kepalanya terangkat membuat Juna dapat melihat wajah gadis itu dengan luka lebam di pipi dan juga bibirnya.
"Ini aku, kamu udah aman."
"Juna ...," lirih Arin dengan air matanya yang menetes di pipi, lalu ia menghambur memeluk Juna erat. "Aku takut banget, Jun."
"Sstt ... udah ada aku, kamu jangan takut." Juna merengkuh tubuh Arin, mendekapnya lembut sembari memberi usapan di punggung dan belakang kepala gadis itu.
Emosi Juna tiba-tiba berkobar. Ia sudah melepaskan Arin untuk Jerry, berusaha membuat gadis yang ia cintai bahagia. Tapi ternyata apa yang ia lakukan itu sia-sia saat melihat wajah Arin penuh luka dan babak belur seperti itu.
Juna tidak akan membiarkan Jerry begitu saja.
"Aku takut banget tadi. Jerry dateng ke sini sambil mabuk, dia nampar aku, Jun. Aku gak tahu salah aku apa. Jerry kayak monster yang mau bunuh aku. Aku takut banget." Arin bercerita dengan air mata yang berlinang di pipinya.
Juna sudah membawa gadis itu untuk duduk di tepi ranjang. Mendengarkan semua ceritanya, dan terus menggenggam tangan Arin, berusaha untuk menenangkannya dari trauma yang Jerry buat.
"Jerry bukan hanya sekali lakuin ini ke aku. Ini udah yang ketiga kalinya."
"Kenapa masih pacaran sama dia kalo gitu."
"Aku cuma mau kasih dia kesempatan." Wajah Arin terangkat, memandang mata Juna yang juga sedang menatapnya. "Tapi ternyata aku salah ... mungkin ini karma karena aku udah nyakitin kamu, Jun ... aku banyak salah sama kamu—"
Juna menyentuh bibir Arin dengan jari telunjuknya. "Hei ... bukan itu, kamu gak salah."
"Ini balasan karena aku selingkuh dari kamu."
"Rin, udahlah jangan diinget lagi."
Gadis itu menggeleng lemah. "Maafin aku, Juna. Aku baru sadar sekarang kalo cuma kamu cowok yang bisa ngelindungin aku. Kalo cuma kamu cowok terbaik yang aku punya. Aku nyesel udah nyakitin kamu. Maaf ... aku minta maaf."
"Iya aku maafin kamu."
Coba bayangkan apa yang akan Bima katakan kalau mengetahui ini? Bima tidak salah memanggilnya tolol. Juna memang pantas dengan sebutan itu.
"Juna," kedua mata mereka saling bertatap, menyiratkan kerinduan yang mendalam pada diri masing-masing. "Makasih ya ...."
Lalu, seiring dengan jarum jam yang berputar di kamar itu, jarak di antara mereka pun semakin menipis. Juna menangkup kedua sisi wajah Arin, mengusap bibir gadis itu dengan ibu jarinya. Hidung mereka saling bersentuhan, hingga kemudian Juna menempelkan bibirnya di atas bibir Arin dengan lembut dan penuh perasaan.
"Sekarang aku milik kamu, Jun."
Juna menutup matanya. Menikmati detik demi detik dari pangutan mesra bibir itu. Ia ingin menghapus semuanya. Melupakan apa yang ia katakan pada Bima tadi.
Maaf, Ta. Maafin gue.
****
cerita ini sudah tersedia dalam bentuk buku dan ebook.
bisa di pesan melalui
whatsapp : 08978173802