Chereads / Pepromeno / Chapter 7 - Sebuah Rencana

Chapter 7 - Sebuah Rencana

PEPROMENO

CHAP 6

"Lo yakin, Bob?" Dengan rokok yang terselip di jari tangannya, Dery bertanya pada Bobby untuk memastikan seorang gadis yang keluar bersama Juna pada malam tahun baru kemarin.

Bobby mengangguk seraya menghembuskan asap mengepul dari bibirnya. "Yakin gue ... walaupun gue mabok, gue masih bisa ngelihat dengan jelas cewek yang Juna bawa keluar dari kamar ... sexy banget, bray."

"Temen adeknya kan itu, ya?" sambar Marcell.

"Yup ... gak nyangka gue kalo si Juna bakalan melepas keperjakaannya sama itu cewek. Harusnya dia berterima kasih sama gue, gara-gara tuh obat dia bisa ngejebol perawan." Seringai tipis tercetak jelas di bibir Bobby saat mengatakan itu. "Padahal gue gak masalah kalo dia mau kasih tuh cewek ke gue. Bekas, baru dipake sekali."

"Rapet banget pasti, Bob," ledek Dery yang menyulut gelak tawa di antara mereka.

"Ya iyalah Juna gak bakalan ngasih tuh cewek ke elo, dia mau make sendirian. Yakali barang segel mau dibagi-bagi," timpal Marcell.

Bobby kembali menghisap batang rokok itu, lalu menghembuskan asapnya menjauh. Pikirannya melalang jauh pada tubuh molek Tita yang ia lihat kemarin malam di dalam rumah. Gadis itu benar-benar menggoda.

"Brengsek emang si Juna, kalo aja selama ini bukan dia yang suka traktir kita makan, gak masalah deh gue berantem sama dia. Seharusnya udah gue tarik tuh cewek ke kamar." Dilemparnya batang rokok yang tinggal sedikit itu ke tanah, lalu menginjaknya kesal.

Juna bagi mereka adalah tambang emas. Pesta tahun baru kemarin tidak akan semewah itu kalau bukan sumbangan dari uang Juna.

"Gue jadi penasaran kayak gimana sih bentuk ceweknya. Sebohay apa sampe si Bobby ngebet banget sama dia," celetuk Marcell sambil menguyah keripik kentangnya.

"Emang cantik, Bob?" tanya Dery penasaran.

Bobby tersenyum miring, menggusar rambutnya kebelakang. "Biasa aja."

"Biasa tapi bisa bikin lo horny? Basi lo, Bob!" sahut Dery.

"Yaaa, gue cuma penasaran aja."

"Kalo gitu, kenapa gak lo samperin ke sekolahannya? Jemput dia, terus lo ajak jalan. Maen halus lah." Dery kembali berujar untuk memberi usul.

Marcell lalu menambahi. "Tahu, Bob. Usaha dong. Siapa sih cewek yang bisa nolak lo."

Niat Bobby mengajak tidur Tita semakin besar rasanya, apalagi setelah kedua temannya berhasil memanas-manasinya. "Lo berdua tahu dimana dia sekolah?"

Dery menggeleng. "Tanya Bima coba, dia kan tahu segalanya tentang Juna."

"Nah bener tuh," timpal Marcell.

Bobby tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Sejak kapan ia jadi senang bersusah payah untuk mengajak tidur seorang perempuan. Semenjak melihat Tita berdiri di dalam rumahnya, Bobby seperti ingin sekali memiliki tubuh gadis itu.

"Elo tahu dimana Bima sekarang?"

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Memang panjang umur cowok itu. Belum lama dibicarakan, motor Bima sudah melintas tepat di depan mata mereka. Cowok itu berhenti dan memarkirkan motornya di dalam parkiran kampus.

Tak lama kemudian Bima berjalan menghampiri Bobby dan kedua teman lainnya.

"Udah pada lama di sini?" tanya Bima seraya memberikan tos pada teman-temannya.

"Gak lama banget. Sekalian nunggu lo." Marcell menjawab.

Dery membuang putung rokoknya. "Juna mana, Bim? Gak ngampus?"

"Sakit katanya."

Dery dan Marcell menganggukan kepala mereka, lalu melirik Bobby memberikan isyarat untuk segera bertanya tentang gadis yang bersama Juna pada malam tahun baru itu.

"Bim," Bima berdehem sembari membuka chat obrolan di hapenya. "Kemaren elo pergi sama adeknya Juna?"

"Iya."

"Oh pantes gue cariin gak ada."

Masih sibuk dengan hapenya, lalu Bima menyahut. "Kenapa emangnya?"

"Gak." Bobby menegakan tubuhnya dari sandaran kursi. "Sekolah dimana dia?"

Awalnya Bima tidak tertarik saat menjawab pertanyaan Bobby. Tapi entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. "Kenapa lo nanyain sekolahaan adeknya Juna?"

Bobby tahu, Bima bukanlah orang yang suka berbasa-basi. Semenjak Juna mengenalkan mereka pada Bima, sikap cowok itu terkesan dingin.

"Cewek yang kemarin sama Juna, gue pengen kenalan sama dia," kata Bobby diiringi seringai tipis.

"Tita maksud lo?"

"Ohhhh namanya Tita." Marcell menyeletuk.

"Tunggu-tunggu, ini maksudnya apa sih?" Wajah Bima mulai tidak santai, ia menegakan tubuhnya sembari memasukan hapenya ke dalam kantong jaket.

"Gini deh, Bim, gue gak mau basa basi sama lo. Gue yakin elo juga gak suka sama hal itu—"

"Buru deh, Bob, maksud lo apa!?" Bima memotong ucapan Bobby.

"Oke," membasahi bibirnya, Bobby lalu menatap Bima dengan yakin. "Gue mau Tita!"

Tentu saja Bima tercengang. Apa yang Bobby maksud dengan kata 'mau' ia memahaminya. Bobby bukan tipe cowok yang akan mengencani perempuan selain untuk sex. Di sinilah emosinya mulai tersulut. "Jangan gila! Tita gak kayak cewek-cewek yang sering elo tidurin, Bob! Jaga omongan lo."

Bobby berdecak. "Yakin dia enggak kayak gitu?"

"Gue kenal dia!"

"Mungkin sekarang gak lagi." Dery menyahut.

"Apaan sih lo bertiga?" Emosi Bima sudah tidak terkontrol.

Bobby mengedik santai, memutar-mutar bungkus rokoknya tanpa takut pada tatapan Bima yang menyorotinya tajam. "Kemaren Juna nidurin tuh cewek."

Kening Bima menyerngit. Omong kosong apa lagi yang mereka katakan di sini. Juna tidak mungkin sebodoh itu untuk meniduri seorang gadis, apalagi itu Tita.

"Jangan ngomong yang enggak-enggak deh lo semua! Gue dari kemarin diem aja ya, tapi sekarang becanda lo udah pada kelewatan!"

"Gue becanda tapi omongan gue selalu bener." Bobby menyahuti.

Dengan amarah yang sudah menggebu-gebu. Bima beranjak dengan cepat, menarik kerah kemeja Bobby dan bersiap memukul wajah cowok itu. "Anjing! Maksud lo apa?"

"Bim ... woi, kampus nih. Santai dong." Marcell mencoba menengahi dengan menahan tangan Bima.

"Tahu lo, gak enak dilihat yang laen. Lo mau dilaporin?" timpal Dery. "Lepas buruan."

"Gue gak peduli!"

Tenaga Bima menjadi dua kali lebih kuat saat emosinya terpancing oleh Bobby. Dery dan Marcell sampai tidak bisa menariknya menjauh.

"Gue bilangin sama lo." Bobby menyeringai, menatapnya penuh ledek. "Kemarin ... gue sengaja masukin obat perangsang ke dalam min—"

Bugh

Tanpa menunggu Bobby menyelesaikan kalimatnya, Bima melayangkan pukulan ke wajah cowok itu. Bobby tersungkur dari bangkunya dengan darah segar keluar dari sudut bibir.

"Bangsat!"

Para mahasiswa yang baru saja keluar dari parkiran langsung melihat itu, dan mengerubungi tempat mereka. Dery dan Marcell sibuk memegangi Bima.

"Lepas anjing! Biar gue kasih dia pelajaran!" Bima meronta, amarahnya benar-benar sudah terpancing. Ia ingin sekali membuat babak belur wajah Bobby. Sudah sejak lama Bima menginginkan itu. "Sini lo, banci! Gak tau diri!"

"Bim ... udah, ini kampus. Elo mau kena skorsing?" Dery memperingati.

Marcell lalu membantu Bobby berdiri. Cowok itu masih saja terus menyeringai, berusaha untuk memancing emosi Bima agar semakin berkobar.

"Udah-udah ... malu, Bim, udah banyak anak-anak yang kumpul! Lo mau jadi tontonan mereka dan pihak kampus tahu semua ini," kata Dery masih dengan usaha menahan tubuhnya.

Kepalan tangan Bima terlepas, dan tubuhnya tidak lagi meronta seperti tadi. Ia melihat ke sekeliling, dan memang benar. Ada banyak pasang mata yang sedang melihat ke arah mereka, lebih tepatnya ke arah dirinya.

Bima berdecak, menyingkrikan cekalan Dery di bahunya. "Gue belom selesai sama lo, Bob!" katanya seraya berlalu memasuki parkiran, mengambil motornya dan melaju menuju ke tempat dimana Juna berada saat ini

****