Chereads / Pepromeno / Chapter 8 - Bukan Sebuah Solusi

Chapter 8 - Bukan Sebuah Solusi

PEPROMENO

CHAP 7

Bima tidak perlu terkejut saat mendapati pintu rumahnya sudah tidak lagi terkunci. Apalagi dengan kehadiran satu buah mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Bima yakin jika pemilik mobil itu sedang ada di dalam kamarnya saat ini.

Dengan langkah yang menggebu-gebu, Bima menaiki anak tangga dan membuka pintu kamarnya cepat. Ia langsung menemukan tubuh jangkung sedang berbaring terlentang di atas ranjangnya dengan satu tangan menutupi mata.

Tiba-tiba saja emosinya sedikit menguar ketika melihat penampilan sang sahabat yang sangat acak-acakan. Bima tahu baju yang Juna gunakan saat ini adalah baju yang sama dengan malam tahun baru saat terakhir kali mereka bertemu.

Padahal pagi tadi cowok itu sempat mengabari kalau ia tidak bisa ke kampus karena tidak enak badan.

"Bangun lo!" sentak Bima sembari melemparkan kunci motornya ke atas ranjang, mencoba membuat Juna terusik. "Elo harus ngejelasin sesuatu sama gue!"

Juna tampak tidak merubah posisi tidurnya sama sekali. Ia seakan tidak terusik dengan suara Bima yang menjadi satu-satunya pengisi kekosongan sejak tadi. Bersama decakan keras, Bima melempar tasnya ke atas ranjang hingga menyentuh tangan Juna.

"Gue pusing, Bim." Terdengar helaan napas lelah saat Juna mengatakan itu. "Biarin gue tidur sebentar aja, kepala gue pusing banget," ujarnya lemah.

"Lo kira rumah gue tempat penampungan cowok-cowok brengsek!" Bima berdecak. Membuka jaketnya dan menggantungnya pada balik pintu. "Elo belom pulang?"

"Gue udah bilang bunda bakalan nginep di rumah lo sampe bokap nyokap lo pulang."

"Dua hari ini lo tidur dimana?"

"Arin."

Bima mendengkus. "Tayiii!"

Salah satu yang membuat ia membenci Bobby adalah Arin. Kalau saja Bobby tidak mengenalkan Arin pada Juna saat cowok itu sedang ada masalah, pasti Juna masih bisa berpikir waras sampai saat ini.

Bima tidak menyukai Arin. Bukan karena gadis itu pernah mematahkan hati sahabatnya. Hanya saja Arin selalu membawa dampak buruk untuk Juna, seperti mabuk-mabukan dan keluar masuk klub malam.

"Elo kenapa gak cerita langsung sama gue sih? Kenapa gue harus tahu masalah ini dari si manusia kampret itu!?"

"Gue ... bingung," ujar Juna lagi. Ia masih menutupi matanya dengan tangan berharap mengurangi rasa sakit di kepalanya.

"Ini Tita, Jun, Tita!! Lo gila apa!?"

Akhirnya ia beranjak, memijat dahinya untuk mengurangi rasa sakit di kepala. "Gue gak bisa ngendaliin diri gue waktu itu, Bim! Semua terjadi gitu aja. Gue mabuk, dan gue tergoda! Lo harus tahu, gue di bawah pengaruh obat saat itu!"

"Nah bego kan! Bego lo, Jun. Tolol!" Dengan masih terus mengumpat pada Juna, Bima lalu melangkah dan duduk di kursi meja belajarnya "Gue udah bilang sama lo berkali-kali, kalo Bobby sama temen-temennya itu bahaya! Elo lihat sendiri sekarang akibatnya!"

Juna tertohok. Harusnya ia mendengarkan semua perkataan Bima waktu itu. Harusnya ia menjauhi Bobby dan tidak perlu masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka. Juna masih ingat dengan jelas awal dirinya dan Bobby berteman. Waktu itu ayah meminta Juna untuk masuk ke Akademi Militer, tapi ia menolak dan dari situlah terjadi pertengkaran hebat antara dirinya dan ayah.

Bobby saat itu mengajaknya untuk berkumpul bersama teman-temannya, membuat Juna melupakan masalahnya dengan sang ayah. Lalu membawanya masuk pada kehidupan malam, Bobby jugalah yang mengenalkan Juna pada Arin. Hingga sampai saat ini Arin seolah menjadi dunianya.

"Terus gimana si Tita?" Bima bertanya, tanpa mengurangi rasa kesalnya.

"Menurut lo gimana lagi? Ya nangis lah!"

"Dia gak minta lo tanggung jawab?"

Juna menggeleng. Satu yang membuat ia semakin merasa bersalah, Tita tidak pernah meminta apapun darinya, gadis itu juga tidak menunjukan rasa bencinya pada Juna sedikitpun. "Gue minta dia buat lupain itu."

Bima terdiam. "Maksud lo?"

Butuh beberapa detik baginya untuk bisa bercerita pada Bima. Juna seperti kehilangan kalimatnya. Awalnya, ia berniat untuk menutupi ini dari Bima, tapi ternyata Juna membutuhkan seorang teman untuk berbagi.

"Gue jahat banget, Bim. Gue minta Tita buat lupain kejadian itu, gue juga minta dia buat gak dateng ke rumah—"

"Brengsek lo, Jun!" teriak Bima begitu saja bersama tinju yang melayang ke wajahnya. "Gue tahu Tita anak polos dan gampang dibegoin! Tapi bukan berarti elo bisa ngomong sejahat itu sama dia!"

Juna mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ia tertawa hambar mengejek dirinya sendiri. "Gue terpaksa! Elo pikir dong gimana rasanya jadi gue, Bim?? Gue udah nidurin cewek yang seumuran sama adek gue, sedangkan gue? Gue masih 21 tahun! Apa yang bisa gue lakuin??"

"Seenggaknya elo gak perlu ngomong itu!"

"Gue kalut, Bima! Gue takut!" Juna mengusap wajahnya, merasa frustrasi dan tertekan. Ia hanya butuh seseorang yang mengerti keadaanya saat ini. Karena jujur, rasa bersalah membuatnya hidup seperti orang mati.

Kepala Juna terasa sangat berat, dan rasa sakitnya bertambah menjadi dua kali lipat saat Bima kembali bertanya, "Lo pake pengaman kan?"

Ingin rasanya Juna menenggelamkan kepalanya pada rawa-rawa saat ini. Pertanyaan itu sebenarnya tidak patut untuk ditanyakan.

"Elo tau orang mabok gak? Mana adanya gue mikir make kondom dulu buat hiya-hiya sama Tita!?"

"Kacau lo, Jun! Kacau!"

Juna berusaha untuk tenang. "Terus gue harus apa? Gue bingung!"

"Mati! Nyemplung aja lo ke laut sana!"

"Ide bagus."

"Elo berdoa aja semoga cacing-cacing sperma lo gak berhasil membuahi sel telurnya Tita. Atau lo berdoa, semoga karena lo kebanyakan coli, sperma lo jadi busuk!"

"Kalo gue tendang pala lo aja, gimana Bim?"

****